Saya dan tim mengunjungi tiga sekolah, tengah minggu lalu. Tepatnya, Rabu 22 Desember 2021. Ketiga sekolah itu terletak di Kota Padang Panjang. Sekolah pertama berasrama. Yang kedua sekolah hybrid. Setengah siswanya tinggal di asrama, setengah lainnya pulang ke rumah. Sekolah ketiga, sekolah lepas serupa yang kebanyakan: semua anak-anak hanya datang ke sekolah di jam belajar saja.
Pada kunjungan itu, kami memelototi keadaan sanitasi ketiga sekolah. Terutama toilet dan tempat cuci tangan (westafel). Asramanya juga. Tujuannya melihat fakta sanitasi di tiga sekolah itu, apakah sudah sejalan dengan salah satu program unggulan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat: menyediakan sanitasi layak di sekolah.
Faktanya begini. Toilet di sekolah pertama bersih. Baik toilet guru maupun toilet siswa. Air mengalir deras. Westafel tersedia di sepanjang koridor sekolah. Bersih-bersih. Airnya juga mengalir kencang. Namun, kondisi toilet dan kamar mandi di dalam asrama jauh berbeda: tidak bersih dan kelihatan tidak terawat. Ruangan asrama dipenuhi lemari, serupa gudang toko perabot saja. Di pintu masuk menumpuk sendal dan sepatu. Berantakan. Gantungan handuk juga bergelimpang di luar asrama. Sebagian besarnya kelihatan sudah rusak.
Toilet dan westafel di sekolah kedua juga bagus-bagus dan bersih. Airnya juga lancar. Sayangnya kami tidak bisa masuk ke dalam asrama. Terkunci. Kuncinya terbawa penjaga asrama yang sedang ada keperluan di tempat lain. Jadi, saya tidak bisa melihat fakta toilet dan kamar mandi di dalamnya.
Toilet sekolah ketiga sangat amburadulnya. Kotor. Lantainya coklat kehitaman, serupa sudah setengah tahun tidak pernah digundar. Westafel tersedia di lorong atau di depan ruang belajar. Tapi tidak terawat. Krannya banyak yang patah. Air tidak ada. Jangankan mengalir, menetes saja tidak. Kata kepala sekolahnya yang belum seminggu dilantik, air sengaja tidak dihidupkan. Sebabnya, sekolah sedang libur.
Dari fakta 2 sekolah pertama, saya bersimpul sementara: toilet dan westafel bersih karena kerja keras petugas kebersihan yang bekeraja di kedua sekolah itu. Bukan karena peran penghuni sekolah, terutama murid-murid. Jika peran penghuni sekolah ada, tentu toilet dan kamar mandi di dalam asrama kinclong serupa yang di luar juga.
Ketiga sekolah yang kami kunjungi memang mempekerjakan petugas kebersihan. Sekolah pertama punya 7 orang. Di sekolah kedua ada 8 orang. Sedangkan sekolah yang ketiga mempekerjakan 5 orang petugas kebersihan. Di sekolah yang berasrama, sebagian petugas bertanggung jawab menjaga asrama, tidak termasuk toilet dan kamar mandi dalam asrama. Sebagian lainnya menjaga kebersihan lingkungan sekolah, termasuk toilet, westafel dan taman.
Khusus sekolah ketiga, petugas kebersihan bertanggung jawab menjaga kebersihan lingkungan sekolah. Toilet dan westafel juga bagian dari tanggung jawabnya. Sama dengan lingkup kerja petugas kebersihan di dua sekolah lainnya. Dari fakta yang ada, nampaknya petugas kebersihan tidak menjalankan pekerjaan mereka dengan maksimal. Itu diakui oleh kepala sekolahnya. Katanya, evaluasi akan dilakukannya terhadap 5 petugas kebersihan yang sekarang bekerja.
1 BB
Ruang publik (termasuk toilet dan westafel) yang bersih karena kerja keras petugas boleh saja. Wajar. Tapi itu belum ideal. Kebersihan ruang publik mesti diletakkan sebagai tanggung jawab bersama. Di sekolah, para murid, guru dan tenaga kependidikan lainnya mesti bertanggung jawab menjaga kebersihan lingkungan mereka. Petugas kebersihan harusnya jadi suporter saja. Begitu konsep yang benar.
Di kita sekarang justeru terbalik. Tanggung jawab utama menjaga kebersihan diletakkan sebagai beban mutlak petugas kebersihan. Yang lainnya (murid, guru dan tenaga kependidikan lainnya) jadi suporter, terima bersih saja.
Disinilah letak salahnya: kebersihan ruang publik sebagai tanggung jawab mutlak petugas kebersihan. Kesalahan itu tergambar jelas di ruang publik kita secara umum. Pasar, tempat wisata, rumah ibadah, sungai dan tempat publik lainnya bersihnya sebentar saja. Disaat petugas tunggang-tunggik. Setelahnya, bersilemak lagi. Sebabnya, masyarakat tidak punya budaya hidup bersih dan tidak merasa bertanggung jawab.
Keadaan ini harus disetop. Mulai dari sekolah, selain dari rumah. Lembaga pendidikan harus ikut mengintervensinya. Sekolah harus berperan membangun budaya kebersihan semesta. Kepada para kepala sekolah yang berkumpul hari itu sudah saya sampaikan.
Kata saya, anak-anak mesti dilatih membangun budaya hidup bersih. Pada kesempatan itu saya memperkenalkan program 1 jam bersih-bersih. Biar gampang mengingatnya, sebut saja 1 BB. Teknisnya, setiap 1 jam pertama sebelum belajar formal, anak-anak (juga warga sekolah lainnya) membersihkan lingkungan sekolah mereka. Termasuk toilet, westafel dan taman sekolah.
Kata kunci program ini adalah latihan. Anak-anak dilatih hidup bersih. Sekaligus bertanggung jawab atas kebersihan ruang publik.
Lebih teknis lagi, saya mengusul. Agar program 1 BB tidak terlalu menyita waktu belajar formal, kegiatan dimulai setengah jam sebelum jadwal belajar dimulai. Misalnya, jadwal belajar resmi dimulai pada pukul 7.30. Anak-anak diminta datang pukul 7.00 yang langsung melakukan 1 BB sampai pukul 8.00. Dengan demikian, waktu belajar resmi yang tersita untuk 1 BB setengah saja.
Yang diharapkan dari program 1 BB ada 3: pembiasaan hidup bersih, membangun rasa tanggung jawab sosial atas kebersihan ruang publik dan memupuk empati kepada petugas kebersihan yang bergaji kecil. Sederhananya begini: dengan 1 BB, anak-anak dilatih hidup bersih, bertanggung jawab dan berempati. Bila itu dilakukan berulang-ulang dan konsisten, akan tertanam (embedded) dalam diri mereka bahwa hidup bersih dan kebersihan ruang publik adalah kebutuhan dan tanggung jawab bersama. Di samping juga mereka terlatih berempati kepada orang kecil serupa petugas kebersihan.
Jika intervensi perubahan perilaku serupa 1 BB tidak dilakukan, hingga ini ke atas, saya larang anda bermimpi terwujudnya destinasi wisata, pasar, sungai, dan rumah ibadah kita yang bersih dan nyaman.
Padang, 30/12/2021
Miko Kamal Legal Governance Specialist