{"id":224006,"date":"2025-03-16T06:35:14","date_gmt":"2025-03-15T23:35:14","guid":{"rendered":"https:\/\/langgam.id\/?p=224006"},"modified":"2025-03-16T06:35:19","modified_gmt":"2025-03-15T23:35:19","slug":"dari-sosialisasi-ke-partisipasi-ujian-kepemimpinan-sumbar","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/langgam.id\/dari-sosialisasi-ke-partisipasi-ujian-kepemimpinan-sumbar\/","title":{"rendered":"Dari Sosialisasi ke Partisipasi: Ujian Kepemimpinan Sumbar"},"content":{"rendered":"\n
Pembangunan<\/strong> di Sumatera Barat sering kali mengalami hambatan bukan hanya karena faktor teknis, tetapi juga karena kesalahan paradigma dalam kepemimpinan daerah. Salah satu kekeliruan yang terus berulang adalah menyamakan sosialisasi dengan partisipasi. Banyak kebijakan yang dijalankan tanpa keterlibatan nyata dari masyarakat, tetapi ketika muncul resistensi, jawaban yang diberikan adalah \"sosialisasi sudah dilakukan\".<\/p>\n\n\n\n Kepemimpinan yang efektif tidak cukup hanya dengan menginformasikan kebijakan, tetapi harus memastikan bahwa masyarakat benar-benar dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Inilah ujian besar bagi kepemimpinan di Sumbar: mampukah mereka menggeser pola pikir dari sekadar sosialisasi ke partisipasi yang sesungguhnya?<\/p>\n\n\n\n Sosialisasi Bukan Partisipasi<\/strong><\/p>\n\n\n\n Sosialisasi hanya bersifat satu arah, di mana pemerintah menyampaikan informasi kepada masyarakat tentang kebijakan yang telah mereka putuskan. Masyarakat hanya menjadi pendengar, bukan pengambil keputusan.<\/p>\n\n\n\n Sebaliknya, partisipasi adalah keterlibatan aktif masyarakat dalam proses perumusan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan. Ketika kebijakan disusun tanpa mempertimbangkan masukan dan kondisi nyata di lapangan, sering kali muncul penolakan dari masyarakat. Ini bukan sekadar bentuk perlawanan, tetapi akibat dari ketidakhadiran masyarakat dalam pengambilan keputusan sejak awal.<\/p>\n\n\n\n Di Sumbar, sudah banyak contoh kebijakan yang gagal karena kurangnya partisipasi masyarakat. Program pembangunan sering ditolak karena masyarakat merasa tidak pernah diajak berdiskusi. Sayangnya, ketika resistensi terjadi, pemerintah justru menyalahkan kurangnya pemahaman masyarakat tanpa mengevaluasi pendekatan mereka sendiri.<\/p>\n\n\n\n Dampak Buruk Sosialisasi Tanpa Partisipasi<\/strong><\/p>\n\n\n\n Mengandalkan sosialisasi saja tanpa partisipasi memiliki konsekuensi serius terhadap pembangunan daerah.<\/p>\n\n\n\n Bagaimana Kepemimpinan Sumbar Harus Berubah?<\/strong><\/p>\n\n\n\n Untuk mengatasi masalah ini, kepemimpinan di Sumbar harus mengubah pendekatan mereka dalam menjalankan pemerintahan.<\/p>\n\n\n\n Kesimpulan: Partisipasi adalah Kunci Keberhasilan Pembangunan<\/strong><\/p>\n\n\n\n Pembangunan di Sumbar tidak akan berhasil jika pemerintah terus mengandalkan sosialisasi tanpa membangun partisipasi yang nyata. Pemimpin daerah harus berani mengubah pola pikir mereka, dari sekadar memberi informasi menjadi benar-benar melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Sumbar membutuhkan pemimpin yang tidak hanya berbicara, tetapi juga mendengar. Tidak hanya mengajak, tetapi juga melibatkan. Jika kepemimpinan daerah benar-benar memahami dan menerapkan prinsip partisipasi, pembangunan di Sumbar akan lebih inklusif, lebih efisien, dan lebih berkelanjutan.<\/p>\n\n\n\n *Penulis: Prof. Dr. Syafruddin Karimi (Dosen Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas)<\/em><\/strong><\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":" Pembangunan di Sumatera Barat sering kali mengalami hambatan bukan hanya karena faktor teknis,...Lanjutkan Membaca<\/a><\/span>","protected":false},"author":34785,"featured_media":212486,"comment_status":"open","ping_status":"closed","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"_jetpack_memberships_contains_paid_content":false,"footnotes":"","jetpack_publicize_message":"","jetpack_publicize_feature_enabled":true,"jetpack_social_post_already_shared":true,"jetpack_social_options":{"image_generator_settings":{"template":"highway","enabled":false},"version":2}},"categories":[2242],"tags":[1339],"class_list":["post-224006","post","type-post","status-publish","format-standard","has-post-thumbnail","hentry","category-kolom","tag-opini"],"jetpack_publicize_connections":[],"yoast_head":"\n\n
Ketika masyarakat merasa kebijakan hanya dipaksakan kepada mereka tanpa keterlibatan langsung, reaksi yang muncul adalah penolakan. Ini tidak hanya memperlambat pembangunan, tetapi juga membuat masyarakat semakin skeptis terhadap pemerintah.<\/li>\n\n\n\n
Banyak kebijakan yang dibuat dengan pendekatan birokratis tanpa memahami kebutuhan dan realitas masyarakat. Akibatnya, kebijakan yang sudah disahkan sering kali tidak efektif atau tidak relevan, sehingga membuang anggaran tanpa manfaat yang jelas.<\/li>\n\n\n\n
Masyarakat ingin dilibatkan dalam pembangunan daerah. Ketika mereka terus-menerus diabaikan, kepercayaan terhadap pemerintah semakin menurun. Akibatnya, partisipasi publik dalam program-program pembangunan akan semakin minim karena mereka merasa suara mereka tidak berharga.<\/li>\n<\/ol>\n\n\n\n\n
Pemerintah tidak boleh hanya datang ke masyarakat dengan memberikan ceramah panjang tentang kebijakan. Sebaliknya, mereka harus mendengar, memahami, dan menyesuaikan kebijakan berdasarkan masukan masyarakat.
Forum diskusi, konsultasi publik, dan dialog dua arah harus diperkuat. Dengan begitu, masyarakat merasa bahwa aspirasi mereka benar-benar diperhitungkan dalam kebijakan yang diambil.<\/li>\n\n\n\n
Banyak kebijakan di Sumbar masih dibuat dengan pendekatan top-down, di mana keputusan sepenuhnya berada di tangan pemerintah, lalu masyarakat hanya diberi tahu. Model ini harus diubah menjadi pendekatan \"bottom-up\", di mana inisiatif dan ide pembangunan berasal dari masyarakat sendiri, kemudian pemerintah bertindak sebagai fasilitator dan regulator.<\/li>\n\n\n\n
Partisipasi masyarakat tidak bisa hanya bergantung pada pertemuan sporadis atau diskusi informal. Pemerintah harus membuat sistem yang jelas dan terstruktur, seperti:
\u2022 Musyawarah publik berkala untuk membahas kebijakan yang akan dijalankan.
\u2022 Dewan partisipatif masyarakat yang bisa memberikan masukan terhadap kebijakan daerah.
\u2022 Pemanfaatan teknologi digital untuk membuka akses lebih luas bagi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi mereka.<\/li>\n\n\n\n
Setiap kali muncul penolakan masyarakat, respons standar yang sering diberikan pemerintah adalah \"sosialisasi sudah dilakukan\". Pernyataan ini menunjukkan kegagalan dalam memahami arti partisipasi. Pemimpin daerah harus menyadari bahwa sosialisasi hanyalah tahap awal, bukan akhir dari keterlibatan masyarakat dalam kebijakan publik.
Sosialisasi harus diikuti dengan mendengar, berdiskusi, dan bernegosiasi dengan masyarakat agar kebijakan yang dibuat memiliki legitimasi yang lebih kuat.<\/li>\n<\/ol>\n\n\n\n
Jika paradigma kepemimpinan tidak segera berubah, pembangunan di Sumbar akan terus terhambat oleh resistensi masyarakat, kebijakan yang tidak tepat sasaran, dan menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah.<\/p>\n\n\n\n