{"id":14483,"date":"2019-09-16T22:25:03","date_gmt":"2019-09-16T15:25:03","guid":{"rendered":"https:\/\/langgam.id\/?p=14483"},"modified":"2019-10-06T21:25:21","modified_gmt":"2019-10-06T14:25:21","slug":"lapau-wadah-pribumi-minang-meramu-kabar-sejak-zaman-penjajahan","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/langgam.id\/lapau-wadah-pribumi-minang-meramu-kabar-sejak-zaman-penjajahan\/","title":{"rendered":"Lapau, Wadah Pribumi Minang \"Meramu\" Kabar Sejak Zaman Penjajahan"},"content":{"rendered":"
Langgam.id - <\/strong>Kemajuan teknologi kian menggerus kebiasaan bertatap muka. Sadar atau tidak, menjamurnya media sosial (medsos) mulai menyekat kehangatan bersama keluarga, kawan sejawat dan orang-orang di lingkungan tempat tinggal.<\/p>\n Kehadiran telepon pintar telah membawa peradaban baru. Hari ini, kiasan 'dunia dalam genggaman' betul-betul terasa. Nyaris, tak ada kabar yang luput dari informasi medsos. Apakah itu berbentuk narasi berita media online, pun cerita netizen di akun Facebook, Twitter dan Instagram. Semua disajikan 'telanjang'. Benar atau tidaknya informasi, urusan belakangan.<\/p>\n Berita bohong (hoaks) menyeruak ke ruang-ruang publik dengan cepat dan tanpa kendali. Penggiringan opini masif dilakukan berbagai pihak. Banyak masyarakat yang \u2018menyantap\u2019 informasi mentah, tanpa menguji kebenarannya terlebih dahulu. Tidak sedikit juga yang berurusan dengan pihak berwajib akibat memposting dan membagikan kabar yang sumbernya tidak kredibel.<\/p>\n Gerombolan hoaks kian menjadi-jadi menjelang berlangsungnya Pemilihan Presiden (Pilpres) April 2019 lalu. Berbagai tuduhan disematkan kepada Capres dan Cawapres. Paling fenomenal di Ranah Minang adalah berita hoaks tentang sosok Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dituduh keturunan PKI dan pro China hingga anti Islam. Ada juga soal Capres Prabowo Subianto yang dituduh pelanggar.<\/p>\n Banyak lagi hoaks-hoaks lain disemai di medsos. Tujuannya tak lain untuk mempengaruhi pandangan publik agar membenci salah satu kandidat yang jelas-jelas putra terbaik bangsa Indonesia. Kondisi nyaris terjadi di sudut-sudut negeri di 34 provinsi Indonesia, termasuk di Sumatra Barat (Sumbar).<\/p>\n Di Ranah Minang, ingar-bingar politik hingga isu yang sedang berkembang luas di tengah khalayak, selalu dibentangkan di tengah Lapau (kedai). Mulai dari politik lokal hinggal Pilpres\u00a0 pun dibedah dengan beragam sudut pandang. Apalagi yang duduk di lapau berasal dari berbagai latar.<\/p>\n Lapau adalah bangunan sederhana yang dipergunakan untuk berjualan makanan, kopi, teh dan sebagainya. Di Minangkabau, lapau biasanya dilengkapi meja dan kursi. Tabu sekali di era 80-an, jika ada anak-anak muda tidak duduk di lapau.<\/p>\n Suatu malam, di sebuah lapau sudut kampung Kabupaten Solok, Bujang (45) dan Wandri (38) bersitegang soal pemindahahan Ibu Kota Indonesia dari DKI Jakarta ke Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur yang telah diumumkan Presiden Joko Widodo pada Senin (26\/8\/2019) lalu.<\/p>\n Keduanya memang berbeda pilihan politik sejak menjelang Pilpres 2019. Bujang yang bekerja sebagai kuli bangunan, salah satu pendukung militan Prabowo Subianto. Sedangkan Wandri yang sehari-hari berjualan makanan keliling adalah pecinta Jokowi. Mereka berdebat sambil saling menyindir di lapau milik Defi (35).<\/p>\n \u201cPemindahan ibu kota ini pasti ada kaitannya dengan asing. Negara kita sudah diobok-obok. Ini tandanya Presiden tidak tegas,\u201d katanya di hadapan sekitar 10 orang yang sedang duduk di dalam lapau.<\/p>\n Menurut Bujang, klaiman tersebut bukan lantaran karena dia tidak mendukung Jokowi yang kembali terpilih menjadi Presiden. Namun, karena kabar yang beredar di medsos yang didapatinya dari pesan Whatshapp. Informasi yang sempat viral di jagat dunia maya itu, menyebutkan jika ibu kota dipindahkan atas usulan PKI.<\/p>\n Narasi di unggahan itu juga menyebutkan PKI telah melakukan studi kelayakan hingga aksi sepihak. Bahkan, diaspora China juga disebut memiliki jutaan hektare tanah di kawasan ibu kota baru. Dengan begitu, nilai harga tanah mereka akan naik hingga 1.000 kali lipat.<\/p>\n \u201cIni informasinya detail dan jelas. Tidak mungkin hujan tanpa adanya angin,\u201d tegasnya.<\/p>\n \u201cAnda tidak bisa menuduh seperti itu. Sumber bacaan anda tidak jelas. Itu hoaks. Cerdas dong dengan berita medsos. Lihat sumbernya dari mana. Jangan main klaim serampangan begitu,\u201d sanggah Wandri meluruskan.<\/p>\n Perdebatan malam itu betul-betul hangat dan sesekali melenceng kemana-mana. Seisi lapau turut menimpali kisruh yang tak jelas akarnya dari mana. Padahal, sejumlah media terpercaya jelas-jelas telah menyatakan informasi yang didapati Bujang adalah berita bohong.<\/p>\n \u201cSudahlah Jang. Jangan terlalu percaya berita-berita seperti itu. Tidak mungkin Pak Presiden mengambil keputusan besar tanpa pertimbangan dan kajian matang,\u201d kata Ketua Pemuda setempat, Jawari (35) menimpali.<\/p>\n Meski diserang berbagai pendapat, Bujang tidak pernah terpancing emosi. Apalagi sampai membawa persoalan tersebut berlarut-larut. Dengan kata lain, perbedaan pandangan di dalam lapau, lenyap setelah membayar kopi dan pulang ke kediaman masing-masing.<\/p>\n Menurut Defi, perdebatan soal politik dan beragam informasi kerap dibedah di lapaunya. Namun, semua perseteruan tidak sampai mengundang aksi anarkis. Semua akan menerima, jika lahir pandangan yang betul-betul dianggap paling benar dan mencerahkan.<\/p>\n \u201cLapau sudah jadi tempat diskusi setiap hari. Apa pun urusannya, pasti dibedah di lapau. Soal politik, sampai menyusun agenda kegiatan pemuda, masjid di mulai juga dari lapau,\u201d katanya.<\/p>\n Tiga pekan lamanya langgam.id<\/strong> menyusuri sejumlah lapau di Kabupaten Solok. Mayoritas, tradisi duduk di lapau masih terjaga. Hiruk pikuk perdebatan berbagai persoalan masih tetap membumi di dalam lapau. Kehangatan diskusi pun tidak menghambat mereka untuk terus beraktivitas. Ada yang sibuk bermain domino, bermain catur, kertas remi hingga menonton siaran televisi.<\/p>\n Diskusi tak melulu membahas politik. Ada juga yang gemar bercerita seputar kegiatan berburu babi yang rutin berlangsung sekali dalam sepekan. Membahas buru babi bahkan sampai ayam berkokok. Tak habis-habis cerita soal anjing dan babi ini di lapau Ican (47) yang berjarak sekitar 3 kilometer dari lapau Defi.<\/p>\n Menariknya, tak satu pun dari mereka yang mau mengakui kelemahan anjingnya saat berburu. Semua mengklaim anjing mereka paling baik dan pintar mencari babi. \u201cHarus diakui, anjing hitam saya ini, pantang pulang kalau belum berdarah (dapat mangsa). Setiap berburu, selalu dapat menangkap babi,\u201d kata Ayi (33) sembari mengunyak cemilan kacang tanah.<\/p>\n \u201cAnjing itu tergantung harganya. Kalau mahal, wajarlah bagus. Malangnya, sudahlah belinya mahal, tidak pula pandai mengejar babi,\u201d timpal Dayat (23) sambil terkekeh menyeruput kopi yang sudah dingin.<\/p>\n Panjang lebar membahas buru babi, topik pun berganti ke isu maling ternak sedang marak terjadi di kampung itu. Semua pun saling menimpali. Sementara, malam kian larut. Udara mulai dingin karena embun menjalari kaki. Perbincangan terus saja bergelora, meski pangkal dan ujungnya tidak jelas.<\/p>\n Kehangatan lapau tidak saja tumbuh di perkampungan yang masyarakatnya masih seirama. Namun, juga menyasar daerah berpenduduk heterogen. Misalnya di Kota Padang. Meski kedai-kedai kopi modern tumbuh subur, eksistensi lapau tradisional tetap tak terbantahkan.<\/p>\n Seperti di kompleks Perumahan Ranah Minang yang berada di Kecamatan Lubuk Kilangan, Kota Padang. Mayoritas, penghuni kompleks ini adalah Aparatur Sipil Negara (ASN), wiraswata dan jarang sekali yang berprofesi sebagai petani. Di kompleks ini, lebih dari 5 lapau yang tetap buka hingga menjelang pagi.<\/p>\n Seperti lapau milik Abak yang sudah wafat sekitar tiga tahun lampau. Namun, lapaunya tetap ramai dikunjungi sampai hari ini. Sebagian beranggapan, duduk lapau salah satu cara mengusir jenuh.<\/p>\n \u201cHati senang, informasi baru juga bertebaran di tengah lapau. Saya ke lapau setiap hari. Sakit-sakit sedikit pun, saya duduk di lapau,\u201d kata Panji (28), salah seorang warga kompleks Ranah Minang.<\/p>\n Di lapau kawasan ibu kota Sumbar ini, ota (cerita) lapau agak sedikit intelektual. Mayoritas mereka berpendapat dengan referensi bacaan media koran, online dan televisi. Nyaris tak ada orang-orang yang duduk di lapau kompleks Ranah Minang ini, tidak menyandang gelar sarjana. Meski demikian, suasana lapau tetap cair dan penuh nyiyiran yang tidak berbeda dengan aktivitas di lapau-lapau sudut kampung.<\/p>\n Begitulah lapau di Minangkabau. Seribu kasus dan informasi lokal hingga mancanegara, dibentang sembari menyeruput kopi, teh telor dan makanan ringan. Tua, muda dan remaja berbaur dalam diskusi yang kadang tak menentu. Diskusi berantai di dalam lapau biasa hingga larut malam, bahkan sampai dini hari.<\/p>\n