Langgam.id - Pemerintah terus menjual mimpi besar transisi energi bersih. Dalam rapat di Istana Negara pekan lalu, Presiden Prabowo Subianto meminta percepatan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 80–100 gigawatt. Target itu disebut bagian dari upaya mencapai 100 persen bauran energi terbarukan pada 2060, seperti yang disampaikan Presiden dalam Sidang MPR Agustus lalu.
Namun di balik ambisi hijau itu, arah kebijakan transisi energi dinilai berbelok. Bagi Koalisi Transisi Bersih; gabungan organisasi masyarakat sipil seperti Satya Bumi, Trend Asia, Sawit Watch, SPKS, Greenpeace, dan Walhi, upaya pemerintah lebih menyerupai pergantian teknologi, bukan transformasi sistem energi yang sejati.
“Pendekatan transisi energi kita tidak menyentuh tata kelola dan keadilan energi. Ia justru menguntungkan pemain lama yang masih aktif dalam bisnis energi kotor,” ujar Sayyidatiihayaa Afra, Manajer Kampanye Satya Bumi, saat peluncuran riset terbaru Koalisi Transisi Bersih: Pemain Energi Kotor di Transisi Bersih, di Jakarta, Senin (6/10/2025).
Menurutnya, negara masih mengandalkan korporasi besar untuk menjalankan agenda energi, padahal energi seharusnya menjadi urusan komunal dan publik. “Ketika transisi energi diserahkan ke korporasi besar, maka potensi korupsi dan pembajakan kebijakan sangat besar,” tambahnya.
Enam Konglomerasi di Balik Proyek Energi “Hijau”
Riset Koalisi menemukan enam grup usaha besar yang aktif menggarap proyek transisi energi, namun juga masih menjalankan bisnis energi kotor: Barito Pacific, Adaro, Medco, Wilmar, Jhonlin, dan Sinar Mas. Pola lama berulang—perampasan lahan, pelanggaran HAM, dan perusakan lingkungan tetap terjadi, hanya dengan wajah baru: “energi bersih”.
Contohnya di Kampung Cibitung, Pengalengan, Jawa Barat, satu kampung hilang akibat ledakan pipa PLTP Wayang Windu milik PT Star Energy, anak usaha Grup Barito Pacific. Sementara di Kalimantan Utara, proyek PLTA Kayan Mentarang milik Grup Adaro berpotensi menenggelamkan 22.604 hektare lahan dan menggusur lebih dari 500 keluarga.
“Transisi energi seperti ini hanya mengganti bahan bakar, bukan mengubah cara berpikir. Yang diuntungkan tetap para konglomerat energi lama,” ujar Afra.
Koalisi juga mengidentifikasi 28 individu yang termasuk kategori Politically Exposed Persons (PEPs) — pejabat atau eks pejabat dengan potensi konflik kepentingan — di balik enam grup usaha energi tersebut. Mereka tersebar di eksekutif, yudikatif, hingga aparat penegak hukum.
“Ada potensi kuat PEPs membantu memuluskan bisnis transisi energi ini,” kata Afra. Ia mencontohkan kasus Wilmar, yang diduga terlibat korupsi ekspor biodiesel dengan kerugian negara hingga Rp11 triliun. “Korupsi itu terjadi justru karena adanya kewajiban pemenuhan kebutuhan biodiesel nasional dalam kerangka transisi energi,” ujarnya.
Jaringan PEPs juga terlihat dalam relasi antargrup besar. Di Grup Barito, misalnya, terdapat nama Rudy Suparman, petinggi Danareksa (kini Danantara) yang bermitra langsung dengan Barito. Salah satu unit Barito, Barito Pacific Timber, bahkan mendapatkan pembiayaan Rp375 miliar dari PT Taspen.
Grup Medco, yang mengelola 16 pembangkit energi terbarukan, juga memiliki kaitan dengan pejabat lama seperti Teguh Pamuji (Sekjen ESDM 2013–2017) dan Marsillam Simanjuntak (Jaksa Agung 2000–2001). Baru-baru ini, unit usaha energi terbarukan Medco memperoleh pendanaan Rp65 miliar dari BPDLH.
Di sisi lain, Grup Wilmar menjadi penerima manfaat terbesar dari kebijakan biodiesel B40, dengan total subsidi Rp56,6 triliun sepanjang 2015–2023. Di belakangnya, ada nama Sutanto (Kapolri 2005–2008) dan M.P. Parulian Tumangor (Bupati Dairi 1999–2009) yang disebut dalam jejaring PEPs Wilmar.
“Jejaring seperti ini menunjukkan bahwa transisi energi bisa menjadi ladang bancakan elit, bukan solusi hijau,” tegas Afra.
Demokratisasi Energi yang Tersumbat
Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia, Amalya Reza, menilai akar masalahnya adalah minimnya demokratisasi energi. “Dalam konsep energi berkeadilan, masyarakat seharusnya bisa mengelola energinya sendiri. Tapi dalam praktiknya, kebijakan energi kita dimonopoli oleh elit,” katanya.
Ia menyoroti Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan turunannya, Rencana Umum Energi Daerah (RUED), yang nyaris tidak memberi ruang bagi sistem energi berbasis komunitas. “RUED seharusnya menjadi ruang bagi masyarakat, bukan hanya perusahaan besar,” ujarnya.
Riset Koalisi juga menyoroti kemudahan fasilitas yang diterima para korporasi energi besar. Lini usaha Grup Jhonlin, misalnya, melalui PT Jhonlin Agro Raya, mendapat dukungan langsung dari pemerintah untuk proyek blending biodiesel B50. Peresmiannya bahkan dilakukan oleh Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, yang diketahui memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik Jhonlin, Haji Isam.
Sementara proyek PLTA Kayan milik Adaro memperoleh status Proyek Strategis Nasional (PSN) yang membuatnya “lebih kebal hukum”, meski dituding melakukan banyak kerusakan lingkungan.
Menanggapi temuan tersebut, La Ode M. Syarif, Wakil Ketua KPK 2015–2019, mengingatkan bahaya penyimpangan ini. “Energi terbarukan seharusnya benar-benar clean energy. Jangan dikotori dengan korupsi dan kerusakan lingkungan. Kalau begitu, ia tidak lagi bersih,” ujarnya.
La Ode menegaskan bahwa transisi energi bukan sekadar urusan teknologi, tetapi juga keadilan sosial. “Transisi energi itu bukan hanya energy transition, tapi just energy transition; transisi yang adil, terutama bagi masyarakat yang terdampak langsung,” tegasnya.
Mimpi Hijau yang Dibelokkan
Cita-cita besar menuju energi hijau sejatinya adalah menghadirkan sistem energi yang bersih, berkeadilan, dan berdaulat. Namun, pendekatan transaksional yang hanya mengganti label tanpa perubahan sistemik justru membuat Indonesia menjauh dari tujuan net zero carbon.
Jika transisi energi terus dikendalikan oleh elit dan korporasi besar, maka yang lahir bukan “energi bersih”, melainkan energi kotor dalam kemasan hijau meninggalkan masyarakat, lingkungan, dan semangat keadilan di belakang rel pembangunan yang semakin elitis. (*/Yh)