Drama politik Indonesia hari-hari ini semakin terasa seperti drama murahan: ada tokoh, ada konflik, ada aparat, dan tentu ada sensor. Dan yang lucunya, sensor itu dibungkus dengan istilah manis, moderasi konten. Seolah-olah yang dilakukan pemerintah adalah untuk melindungi publik dari “disinformasi”, padahal publik sudah tahu siapa yang paling rajin menyebarkan informasi setengah matang: pemerintah itu sendiri.
Mari kita tarik napas dulu. Kasus ini bermula dari eskalasi politik yang memicu gelombang ekspresi di ruang digital. Publik marah, kecewa, dan dengan penuh kreativitas mengutuk kebijakan gaji fantastis anggota DPR (tunjangan rumah) dan juga diperparah oleh statement-statement semrawut dari para dewan. Di sisi lain, masyarakat yang bahkan untuk mencari kerja layak saja sudah megap-megap, hanya bisa mengelus dada. Ketika kritik mengalir deras di media sosial, jawaban pemerintah bukannya membuka ruang dialog, tapi justru menutup kran informasi. Alasannya klasik: menjaga stabilitas. Padahal kalau dipikir, stabilitas macam apa yang terjaga dengan cara membungkam suara rakyat?
Kita tahu, moderasi konten sejatinya adalah tugas platform. TikTok, Meta, dan kawan-kawan sudah punya community guideline. Mereka punya algoritma, punya sistem aduan, dan punya tim moderator. Itu disebut self-regulation. Tetapi begitu negara masuk dan mulai memberi tekanan, bahkan ancaman sanksi hingga pencabutan izin, itu bukan lagi moderasi, itu state intervention. Lebih tepatnya, sensor.
Dan yang membuat tendensi itu menebal, ketika sensor ini terjadi di tengah momen politik genting. TikTok Indonesia misalnya, tiba-tiba “sukarela” membekukan fitur live streaming. Ucapan Menkomdigi seperti ini: “Kami pun melihat pemberitahuan yang dilakukan oleh TikTok. Bahwa mereka melakukan secara sukarela untuk penurunan fitur live, dan kami justru berharap bahwa ini berlangsung tidak lama,” kata Meutya Hafid (31/8/2025) dikutip dari tempo.co 2 September 2025 lalu.
Tentu publik paham betul, sukarela di sini artinya “kami disuruh negara, tapi mari kita pura-pura rela”. Padahal, live streaming justru jadi kanal penting jurnalisme warga, justru malah ditakuti karena begitu terang. Saat media mainstream enggan menayangkan adegan represif aparat, justru warga dengan ponsel di tanganlah yang mengabadikan sejarah. Tapi sayang, pemerintah seperti alergi dengan dokumentasi rakyat.
Kalau pakai bahasa akademis, apa yang dilakukan ini masuk kategori otoritarianisme digital. Negara menjadikan teknologi sebagai instrumen kontrol. Dan lebih parah, mereka mengarahkan narasi publik: mana yang boleh beredar, mana yang harus hilang, mana yang katanya provokatif. Tapi provokatif itu siapa yang menilai? Negara. Jadi, kritik yang menyinggung elite politik gampang sekali dicap sebagai hasutan.
Contoh lain berikutnya, KPI, meski kemudian hari, Puji Hartoyo dengan tegas membantah lembaga KPID DKI Jakarta tidak pernah mengeluarkan edaran seperti yang sudah viral tersebut. Meski begitu, patut kita ketahui bahwa di dalam surat edaran tersebut tertuang agar stasiun TV tidak menayangkan demonstrasi dengan “kekerasan berlebihan”. Memang, terdengar sopan, padahal intinya: jangan kasih panggung buat rakyat yang marah. Bahasa lembut semacam ini disebut indirect censorship. Efeknya lebih dalam, karena memicu self-censorship. Media takut, jurnalis was-was, akhirnya semua memilih aman. Lalu publik? Dibiarkan buta informasi.
Berikutnya, pemerintah masih sempat berdalih ini demi “keamanan nasional”. Tapi mari jujur: kalau benar demi keamanan, seharusnya langkah yang ditempuh adalah transparansi algoritma, verifikasi konten, atau edukasi literasi digital. Itu cara modern dan elegan. Bukan dengan membekukan fitur live TikTok atau memblokir 592 akun seenaknya, meski sekarang live itu sudah bisa kembali. Itu sama saja dengan menutup mulut orang karena takut mendengar kebenaran yang tidak enak.
Apalagi, pejabat kita dengan bangganya menyebut sudah memanggil TikTok Asia Pacific, Meta. Wamenkomdigi, Angga Raka Prabowo berujar beberapa waktu lalu: ”Iya, saya pribadi sama Pak Dirjen juga saya hubungi. Yang pertama saya sudah hubungi Head Tik Tok Asia Pacific. Saya minta mereka ke Jakarta, kita akan bercerita tentang fenomena ini,” tutur Angga, Rabu (27/8/2025) dikutip dari aktual.com.
Seolah-olah negara ini pusat dunia digital. Padahal yang ada, kita terlihat seperti bapak kos rese yang marah-marah karena penghuni kontrakan terlalu ribut. Pertanyaannya: apakah benar semua masalah bisa selesai hanya dengan memanggil perwakilan kantor platform? Atau justru ini refleksi bahwa pemerintah gagal mengelola narasi politik, lalu mencari kambing hitam pada teknologi?
Mereka harusnya sadar dan mengetahui betul, bahwa fenomena ini bisa dibaca sebagai bentuk reaktivitas politik. Pemerintah baru sibuk melakukan sensor ketika ada konten yang membuat gaduh. Padahal, kalau serius, sejak awal bisa saja membuat kebijakan transparan terkait penyebaran hoaks. Tapi karena targetnya bukan hoaks, melainkan kritik politik, maka sensor jadi jalan pintas.
Efeknya sudah jelas: kredibilitas negara menurun. Rakyat jadi makin sinis, media semakin ragu, dan ruang publik digital makin terasa seperti rumah dengan CCTV di tiap sudut. Semua orang masih bisa bicara, tapi dengan rasa was-was.
Pada akhirnya, pertanyaan sederhana muncul: apa pemerintah begitu takut dengan rakyatnya sendiri? Mengapa ekspresi publik harus dianggap ancaman, padahal ia justru cermin sehatnya demokrasi? Sensor demi sensor hanya akan memperkeruh suasana, memperbesar ketidakpercayaan, dan mengabadikan stigma bahwa negara ini tak pernah benar-benar nyaman dengan kebebasan.
Kalau pemerintah masih ingin dipercaya, solusinya sederhana: hentikan paranoia digital. Biarkan publik bersuara, buka ruang dialog, dan fokus pada substansi masalah: kebijakan yang timpang, gaji/tunjangan DPR yang fantastis, serta keadilan sosial yang terus tergerus. Segala bentuk sensor hanyalah jalan pintas yang buruk, karena suara rakyat tidak pernah bisa dibungkam, ia hanya pindah medium, dari jalanan ke layar, dari layar ke bisik-bisik, dan pada akhirnya akan meledak lebih keras. (*)
Penulis: Habibur Rahman (Alumnus Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi). Aktif sebagai pegiat media sosial dengan konten memori kolektif ketokohan Tan Malaka.