Terlepas dari polemik kasus korupsi yang menjerat Immanuel Ebenezer, wakil menteri ketenagakerjaan yang sangat-sangat memiliki spesialisasi keilmuan sebagai tim sukses, fenomena yang lebih krusial sebenarnya terletak pada paradoks ketersediaan lapangan kerja di negeri ini.
Ketika peluang kerja semakin sempit dan kompetisi pasar tenaga kerja kian intens, keterampilan teknis (hard skill) dan keterampilan sosial (soft skill) seakan tidak cukup untuk menjamin posisi yang mapan. Pada kondisi inilah, muncul wacana satir namun faktual: perlunya institusionalisasi kompetensi seni lidah, atau dalam bahasa sehari-hari disebut “menjilat,” sebagai bagian dari kurikulum pendidikan nasional.
Bila kita menilik perspektif dari Pierre Bourdieu, filsuf asal Prancis kelahiran Denguin itu melihat, bahwa dunia sosial sesungguhnya merupakan gelanggang pertarungan kapital: kapital ekonomi, kapital sosial, kapital kultural, dan kapital simbolik. Kalau kita coba serius untuk menganalisanya, kita bisa melihat bahwa pada kerangka ini, “seni lidah” dapat dipahami sebagai kapital simbolik baru, yakni kemampuan menyesuaikan diri dengan rezim kekuasaan melalui retorika yang menyenangkan telinga penguasa. Dengan kata lain, menjilat bukan sekadar praktik pragmatis, tetapi telah menjadi habitus sosial yang berulang untuk dipelajari, ditiru, dan akhirnya dilembagakan.
Apabila demikian adanya, maka institusi pendidikan sebagai agen reproduksi sosial (meminjam istilah Althusser) perlu serius mempertimbangkan bagaimana habitus penjilat ini ditransmisikan secara sistematis. Seminar, kuliah umum, hingga diklat (pendidikan dan pelatihan) bisa menghadirkan figur-figur yang telah membuktikan dirinya: mereka yang kariernya melesat berkat kepiawaian menyusun diksi penuh puja-puji, meskipun harus kehilangan independensi intelektualnya. Kehadiran para “master of licking” ini akan berfungsi layaknya role model bagi generasi penerus.
Tema-tema akademis pun bisa dirancang dengan nomenklatur yang lebih elegan. Misalnya, “Estetika Komunikasi Akomodatif: Strategi Meraih Simpati Penguasa”, yang dalam bahasa publik bisa dipahami sebagai kursus “seni menjilat rapi dan disenangi.” atau ”Asal Bapak Senang” atau lagi, “Manajemen Retorika Fleksibel: Dialektika Konsistensi dan Oportunisme Politik,” yang sejatinya merupakan panduan untuk ahli belok arah. Tema lain seperti “Prosodi Orasi dalam Perspektif Kekuasaan” dapat menggantikan topik praktis tentang mengatur intonasi agar dilirik penguasa. Bahkan, sebuah masterclass berjudul “Aktivisme Simbolik dan Transformasi Kapital Politik” bisa menjadi versi akademis dari praktik membakar ban demi meraih sorotan.
Jadi, kita tidak perlu pusing, bahwa rupanya dengan sekelumit pengemasan akademis semacam ini, seni lidah tidak lagi sekadar dianggap perilaku memalukan, melainkan bagian dari kompetensi kultural yang harus dimiliki anak bangsa, dan ini bakal menarik. Di samping itu, universitas bisa membuka program studi interdisipliner, misalnya “Ilmu Perlidahan dan Manajemen Kekuasaan,” yang menggabungkan kajian linguistik, ilmu komunikasi politik, serta teori budaya populer. Para mahasiswa nantinya dapat melakukan riset etnografis tentang teknik menjilat di parlemen, birokrasi, bahkan di organisasi mahasiswa, opsi terakhir bisa ya atau tidak, karena saya melihat masih banyak mahasiswa idealis meski sejatinya orang-orang itu kesepian.
Selanjutnya, bahwa kritikus mungkin akan menyebut gagasan ini sinis, tetapi dalam perspektif pragmatis, bukankah keterampilan menjilat telah terbukti lebih efektif dalam mendongkrak mobilitas sosial dibanding sekadar meritokrasi? Bukankah banyak yang kini menduduki jabatan strategis bukan karena kecerdasan akademisnya, melainkan karena kepiawaian menempatkan diri di bawah bayang-bayang kekuasaan? Jika demikian, mengapa negara tidak secara sadar memasukkan kemampuan ini ke dalam sistem pendidikan, sehingga generasi muda dapat survive dalam gelanggang perjilatan global?
Bayangkan bila hal ini benar-benar terealisasi. Selepas lulus, para sarjana kita tidak hanya mengantongi ijazah dan indeks prestasi, tetapi juga portofolio keterampilan menjilat tingkat lanjut. Mereka akan lebih kompetitif dalam pasar kerja, lebih adaptif menghadapi dinamika politik, dan lebih siap mengabdi kepada “tuan baru” yang muncul setiap periode pemilu. Dengan demikian, cita-cita mulia menciptakan 19 juta lapangan kerja bisa diwujudkan melalui jalur kreatif: mencetak profesional perlidahan yang andal.
Saya juga coba membayangkan bagaimana sebuah job fair di masa depan akan dipenuhi stan-stan perekrutan dengan slogan yang menggoda: “Kami mencari talenta dengan kemampuan retorika memikat hati atasan.” Para peserta akan unjuk kebolehan: sebagian merendahkan suara dengan penuh hormat, sebagian lain melambungkan puja-puji dengan intonasi puitis. Juri yang menilai pun bukan akademisi independen, melainkan pejabat-pejabat yang pernah kenyang dengan praktik serupa.
Ironi ini, betapapun sarkastis, sesungguhnya mengandung pesan serius: dunia pendidikan yang abai terhadap realitas sosial justru berpotensi mereproduksi ketimpangan struktural. Alih-alih mencetak insan kritis, kita lebih banyak melahirkan “penjilat profesional” yang pandai menyesuaikan lidah dengan arah angin kekuasaan. Jika kondisi ini dibiarkan, maka bangsa kita akan kehilangan generasi pemberani yang berani bersuara, dan hanya menyisakan barisan "yes men" yang hidup nyaman di bawah ketiak penguasa. (*)
Penulis: Habibur Rahman (Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi. Aktif menulis sejarah ketokohan ulama-ulama Tarekat di Sumatra Barat serta dinamika dan problematika Surau Tradisional Minangkabau)