Oleh: Rahmad Tri Hadi
Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda sebagai salah satu momentum bersejarah yang menandai lahirnya kesadaran kolektif untuk bersatu melampaui sekat-sekat kedaerahan, suku, dan agama.
Sumpah yang diikrarkan pada 1928 oleh para pemuda merupakan tonggak penting dalam perjalanan kebangsaan Indonesia. Ia bukan sekadar dokumen politik, melainkan manifestasi dari kesadaran filosofis tentang pentingnya identitas bersama di tengah keragaman.
Dalam konteks ini, Sumpah Pemuda adalah peristiwa kebudayaan dan spiritualitas bangsa, yakni sebuah ikrar yang memadukan dimensi akal, rasa, dan cita-cita kebangsaan.
Namun, di tengah kemajuan zaman dan derasnya arus globalisasi, semangat Sumpah Pemuda menghadapi tantangan baru. Polarisasi sosial, intoleransi, serta munculnya ideologi ekstrem menjadi ancaman nyata bagi keutuhan bangsa.
Dalam konteks inilah, refleksi terhadap nilai-nilai Sumpah Pemuda menjadi penting untuk memperkuat kembali etos moderasi, yaitu kemampuan untuk menempatkan diri secara proporsional dan seimbang dalam menghadapi perbedaan pandangan dan kepentingan.
Sumpah Pemuda: Warisan Semangat Persatuan dalam Keragaman
Sumpah Pemuda 1928 lahir dari kesadaran historis generasi muda Indonesia yang menolak fragmentasi sosial dan politik akibat politik devide et impera kolonial. Para pemuda dari berbagai latar belakang, seperti Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, dan lainnya yang menyatukan visi mereka dalam tiga ikrar, yakni bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Tindakan tersebut merupakan revolusi kesadaran, di mana identitas kedaerahan dilebur dalam semangat kebangsaan yang inklusif.
Nilai luhur yang terkandung dalam Sumpah Pemuda bukan hanya bersifat politis, melainkan juga filosofis dan moral. Ia mengajarkan bahwa kebinekaan adalah fitrah, bukan hambatan; dan bahwa kekuatan sejati bangsa terletak pada kemampuannya mengelola perbedaan secara arif.
Pemuda 1928 telah menunjukkan bahwa persatuan tidak berarti penyeragaman, tetapi kesediaan untuk saling menerima dan memahami. Nilai inilah yang kini diterjemahkan dalam konsep moderasi beragama dan kebangsaan yang digaungkan oleh pemerintah dan berbagai lembaga keagamaan, termasuk Kementerian Agama Republik Indonesia.
Moderasi: Jalan Tengah dalam Kehidupan Berbangsa dan Beragama
Konsep moderasi (wasathiyah) memiliki akar kuat dalam tradisi Islam. Dalam al-Qur`an, umat Islam disebut sebagai ummatan wasathan, yakni umat yang berada di tengah, adil, dan seimbang (QS. Al-Baqarah[2]: 143).
Spirit wasathiyah mengajarkan bahwa keberagamaan sejati bukanlah tentang ekstremitas dalam keyakinan, melainkan tentang keseimbangan antara iman, akal, dan amal. Nilai ini selaras dengan falsafah kebangsaan Indonesia yang berlandaskan Pancasila, di mana nilai Ketuhanan dan kemanusiaan berjalan seiring dengan keadilan dan persatuan.
Dalam konteks Indonesia modern, moderasi tidak hanya berfungsi sebagai konsep teologis, tetapi juga sebagai strategi kebudayaan dan politik untuk menjaga harmoni sosial. Ia menolak dua ekstrim sekaligus, yakni radikalisme yang menafsirkan agama secara sempit, dan sekularisme yang meniadakan peran agama dalam ruang publik.
Moderasi berfungsi sebagai ruang tengah kebajikan, tempat di mana nilai spiritual, etika sosial, dan kebangsaan berpadu dalam keseimbangan.
Moderasi juga menjadi fondasi penting dalam pendidikan karakter bangsa. Melalui pendidikan yang menanamkan nilai toleransi, empati, dan tanggung jawab sosial, generasi muda diarahkan untuk menjadi warga negara yang berpikir kritis namun tetap menghargai nilai-nilai luhur bangsa.
Dalam arti yang lebih luas, moderasi adalah perwujudan dari etika kebangsaan, yakni membangun harmoni di atas fondasi nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan universal.
Tantangan Moderasi di Era Digital dan Globalisasi
Era digital membawa peluang sekaligus tantangan baru bagi semangat persatuan dan moderasi. Dunia maya telah membuka ruang dialog tanpa batas, namun juga melahirkan disinformasi, ujaran kebencian, dan ekstremisme digital.
Media sosial, yang seharusnya menjadi wadah pertukaran ide dan pengetahuan, sering kali menjadi arena perpecahan yang mengikis rasa saling percaya. Fenomena ini menunjukkan bahwa kemajuan teknologi tidak otomatis menghasilkan kematangan moral dan sosial.
Di sinilah relevansi semangat Sumpah Pemuda diuji. Pemuda Indonesia kini bukan lagi berjuang dengan senjata dan darah, tetapi dengan nalar, etika, dan literasi digital. Mereka perlu menjadi agen perubahan yang mampu memanfaatkan teknologi untuk memperkuat narasi kebangsaan dan meneguhkan nilai-nilai moderasi.
Literasi digital bukan hanya soal kemampuan teknis menggunakan media, tetapi juga tentang kecerdasan moral dalam berkomunikasi dan berinteraksi di ruang publik.
Gerakan moderasi di dunia digital perlu diperkuat melalui pendidikan media, kampanye literasi, dan dakwah yang menyejukkan. Moderasi Islam di Indonesia harus dikontekstualisasikan dengan realitas sosial yang plural dan demokratis. Oleh karena itu, Sumpah Pemuda abad ke-21 harus dimaknai sebagai sumpah untuk menjaga akal sehat dan kebersamaan di tengah badai informasi.
Menumbuhkan Moderasi sebagai Spirit Kebangsaan
Menumbuhkan moderasi dalam kehidupan berbangsa dan beragama memerlukan kolaborasi seluruh elemen masyarakat. Pemerintah melalui kebijakan publik yang inklusif, lembaga pendidikan melalui kurikulum karakter, media massa melalui pemberitaan yang berimbang, dan tokoh agama melalui dakwah yang harmoni, semuanya memiliki peran penting. Namun, akar dari semua itu tetap berada pada kesadaran individu.
Pemuda yang moderat adalah mereka yang berpikir global namun berjiwa lokal, menguasai ilmu pengetahuan tanpa kehilangan spiritualitas, dan mencintai tanah air tanpa menafikan kemanusiaan universal.
Moderasi, dalam hal ini, bukan sekadar sikap netral, tetapi komitmen aktif terhadap keadilan, keseimbangan, dan kemanusiaan. Inilah makna terdalam dari semangat Sumpah Pemuda yang harus terus dihidupkan dalam konteks zaman.
Sebagai penutup, hari Sumpah Pemuda membawa kita pada kesadaran bahwa perjuangan generasi terdahulu belum usai. Tantangan kebangsaan kini bukan lagi kolonialisme fisik, tetapi kolonialisme ideologis dan kultural yang dapat menggerus nilai-nilai luhur bangsa.
Di tengah arus globalisasi dan disrupsi digital, moderasi menjadi penopang utama untuk menjaga integritas kebangsaan dan kemanusiaan.
Memperingati hari Sumpah Pemuda bukanlah sekadar seremonial, tetapi momentum spiritual untuk memperbarui janji kebangsaan, yakni menjaga Indonesia dengan nalar yang jernih, hati yang tulus, dan perilaku yang adil.
Jika pada 1928 para pemuda bersumpah untuk bersatu dalam satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa, maka pemuda hari ini harus bersumpah untuk bersatu dalam moderasi, kemanusiaan, dan perdamaian.
*Penulis: Rahmad Tri Hadi (Mahasiswa Doktoral Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi)

 
  




