(Tanggapan Tulisan Gamawan Fauzi “Bersyukur Masih Nomor Dua”)
Opini “Bersyukur Masih Nomor Dua” oleh Gamawan Fauzi (Gubernur Sumatera Barat Periode 2005-2009), mengangkat isu tentang capaian pendidikan suku Minangkabau berdasarkan data BPS 2024 yang diterbitkan detikNews pada tanggal 30 Januari 2025.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa Suku Batak memiliki persentase lulusan sarjana strata satu (S1) tertinggi di Indonesia dengan 18,02%, diikuti oleh Suku Minangkabau dengan 18%.
Gamawan Fauzi ingin mengajak masyarakat Minangkabau untuk melakukan introspeksi dan tidak terlena dengan prestasi masa lalu (glorifikasi), serta menekankan pentingnya perencanaan dan tindakan nyata untuk mempertahankan dan meningkatkan prestasi di bidang pendidikan.
Gamawan Fauzi memberikan tinjauan historis yang cukup komprehensif mengenai tradisi pendidikan dikalangan masyarakat Minangkabau, termasuk peran tokoh-tokoh penting dan institusi pendidikan yang berpengaruh.
Di samping itu, dalam tulisan tersebut berfungsi sebagai peringatan bagi masyarakat Minangkabau supaya tidak mudah berpuas diri dan terus berupaya meningkatkan kualitas pendidikan, mengingat persaingan yang semakin ketat dengan etnis lain.
Gamawan Fauzi tidak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga mendorong tindakan konkrit, seperti kolaborasi antara pemerintah daerah dan masyarakat untuk merumuskan strategi peningkatan pendidikan.
Meskipun opini tersebut kaya dengan informasi historis, namun masih terdapat beberapa kekurangan yang mesti dilengkapi. Maka dari itu, tulisan tersebut perlu dilengkapi secara metodologis, filosofis, dan solutif.
Sanggahan terhadap Data dan Metodologi
Gamawan Fauzi menggunakan data dari BPS mengenai persentase lulusan sarjana dari berbagai etnis, namun terdapat beberapa kelemahan dalam analisisnya.
Pertama, kesalahan dalam korelasi dan kausalitas. Data BPS hanya menyajikan persentase lulusan sarjana per-etnis, tetapi tidak mencerminkan kualitas pendidikan atau aksesibilitasnya.
Fakta bahwa Minangkabau berada pada peringkat kedua tidak serta-merta menunjukkan adanya kemunduran pendidikan di Sumatera Barat. Tanpa mempertimbangkan variabel lain seperti populasi, tingkat ekonomi, dan migrasi pendidikan, kesimpulan bahwa "Minangkabau mengalami kemunduran" menjadi terlalu simplistis (BPS, 2024).
Kedua, mengabaikan faktor demografi dan migrasi. Tulisan ini tidak mempertimbangkan peran migrasi dalam persebaran pendidikan. Banyak intelektual Minangkabau yang menempuh pendidikan di luar Sumatera Barat, sehingga jumlah lulusan sarjana yang berdomisili di Sumbar tidak dapat dijadikan satu-satunya tolok ukur keberhasilan pendidikan etnik Minangkabau.
Ketiga, kurangnya pembandingan dengan faktor struktural. Pendidikan tidak hanya dipengaruhi oleh tradisi budaya, tetapi juga oleh kebijakan ekonomi dan sosial. Kemunduran ekonomi di Sumatera Barat, misalnya, bisa lebih memengaruhi penurunan angka pendidikan dibandingkan sekadar hilangnya semangat belajar dalam budaya Minangkabau.
Keempat, kurangnya menyertakan data terbaru (update) mengenai kondisi pendidikan di Sumatera Barat. Baru sebatas tataran makro, bukan pada tataran mikro yang spesifik di Sumatera Barat atau upaya-upaya yang sedang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan saat ini.
Selain itu juga, walaupun Gamawan Fauzi mendorong perlunya tindakan nyata, tulisan tersebut belum memberikan solusi atau rekomendasi spesifik yang dapat diimplementasikan oleh pemerintah daerah (Pemda) maupun Pemprov atau masyarakat luas untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Epistemologi Pendidikan Minangkabau
Dalam filosofi Minangkabau, pendidikan merupakan bagian dari konsep “Alam Takambang Jadi Guru”, yang berarti bahwa ilmu bisa diperoleh dari berbagai sumber, tidak terbatas pada pendidikan formal. Seiring globalisasi, pendekatan terhadap ilmu pengetahuan berubah.
Pengukuran kemajuan pendidikan hanya berdasarkan jumlah lulusan sarjana mengabaikan aspek-aspek lain dari kecerdasan dan pembelajaran, seperti keahlian vokasional dan keterampilan digital yang semakin penting di era modern.
Selain itu, opini Gamawan Fauzi terhadap kemunduran pendidikan Minang juga harus dilihat dalam perspektif historis. Perubahan paradigma pendidikan dari yang berpusat pada madrasah dan pesantren ke sistem pendidikan nasional turut mengubah pola pendidikan Minangkabau.
Jika Minangkabau ingin mempertahankan keunggulan intelektualnya, maka diperlukan pendekatan yang lebih adaptif terhadap perkembangan zaman, bukan sekadar nostalgia akan kejayaan masa lalu.
Solusi Realistis dan Berkelanjutan
Sebagai solusi terhadap “kemunduran” pendidikan Minangkabau, beberapa strategi yang lebih konkrit dan berorientasi masa depan perlu dipertimbangkan: Pertama, reorientasi kurikulum lokal. Minangkabau perlu mengadopsi kurikulum berbasis keterampilan yang lebih modern dan berorientasi pada industri digital. Model pendidikan berbasis kemandirian dan entrepreneurship harus diperkuat untuk menyesuaikan dengan tantangan ekonomi saat ini.
Kedua, investasi dalam infrastruktur pendidikan. Daripada hanya berfokus pada kuantitas lulusan sarjana, pemerintah daerah harus mengalokasikan anggaran lebih besar untuk membangun fasilitas pendidikan yang berkualitas, termasuk laboratorium riset dan pusat inovasi.
Ketiga, mendorong partisipasi diaspora minangkabau. Banyak intelektual Minangkabau yang sukses di perantauan. Pemerintah daerah bisa membentuk forum atau kebijakan yang menarik mereka untuk berkontribusi dalam pembangunan pendidikan di Sumbar.
Keempat, kebijakan berkelanjutan dalam pendidikan. Gamawan Fauzi mengkritik adanya kebiasaan “ganti pemimpin, ganti kebijakan” dalam pemerintahan daerah. Oleh karena itu, diperlukan regulasi pendidikan yang lebih stabil dan berbasis riset agar program yang dijalankan tidak terputus setiap pergantian kepemimpinan.
Secara keseluruhan, tulisan Gamawan Fauzi memberikan refleksi yang penting bagi masyarakat Minangkabau mengenai posisi mereka dalam bidang pendidikan dan menggarisbawahi perlunya tindakan pro-aktif untuk mempertahankan dan meningkatkan prestasi tersebut. Meskipun, analisisnya perlu lebih mendalam dan cenderung nostalgis.
Kritik terhadap pendidikan Minangkabau seharusnya tidak hanya berpatokan pada peringkat dalam data BPS, tetapi juga mempertimbangkan faktor sosial-ekonomi, kebijakan, dan perubahan global dalam dunia pendidikan.
Daripada hanya meratapi “kemunduran”, solusi yang berbasis data, adaptasi teknologi, dan kebijakan berkelanjutan harus menjadi fokus utama. Dengan demikian, kejayaan intelektual Minangkabau tidak hanya menjadi cerita masa lalu, tetapi juga visi masa depan yang lebih progresif dan inklusif.
Penulis: Riki Saputra (Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat)