Pemerintah baru saja merilis Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Angka-angka yang disajikan memperlihatkan arah kebijakan fiskal yang lebih konservatif. Defisit anggaran ditargetkan sebesar Rp638,8 triliun atau 2,48 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), lebih rendah dibanding outlook 2025 yang mencapai 2,78 persen. Dari sisi keseimbangan primer, kondisi juga membaik meskipun masih negatif. Secara makro, pemerintah ingin menampilkan wajah kehati-hatian dalam mengelola fiskal di tengah ketidakpastian global.
Di balik angka defisit yang terkendali, terdapat sejumlah pertanyaan mendasar: apakah RAPBN 2026 cukup realistis? Apakah konsolidasi fiskal ini justru mengorbankan pemerataan pembangunan di daerah? Dan apakah APBN masih bisa menjadi instrumen yang kuat untuk menjaga pertumbuhan ekonomi nasional?
Optimisme Pajak dan Risiko Overestimasi
Target penerimaan perpajakan dalam RAPBN 2026 mencapai Rp2.692 triliun, naik lebih dari 12 persen dibanding outlook 2025. Angka ini menunjukkan optimisme pemerintah terhadap kemampuan basis pajak nasional. Digitalisasi perpajakan, peningkatan kepatuhan, serta upaya memperluas basis pajak diyakini akan menjadi penopang utama.
Di sinilah letak tantangan terbesar. Target pajak yang terlalu tinggi bisa menjadi pedang bermata dua. Jika realisasi tidak sesuai harapan, pemerintah berisiko melakukan pemangkasan belanja di tengah tahun. Kondisi ini akan mengurangi daya dorong APBN terhadap ekonomi, terutama ketika sektor swasta masih berhati-hati menghadapi ketidakpastian global.
Sejarah menunjukkan bahwa overestimasi pajak kerap berakhir pada realisasi yang meleset. Dalam situasi seperti itu, APBN tidak lagi menjadi alat kontra-siklus, melainkan sekadar instrumen administratif yang mengikuti arus ekonomi. Padahal, di tengah risiko perlambatan global akibat tensi dagang Amerika Serikat–Tiongkok dan gejolak harga komoditas, Indonesia justru membutuhkan APBN yang ekspansif dan antisipatif.
PNBP Menurun: Sinyal Risiko Struktural
Berbeda dengan perpajakan yang meningkat, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) justru menurun dari Rp477,2 triliun (outlook 2025) menjadi Rp455 triliun pada RAPBN 2026. Penurunan ini mencerminkan berkurangnya kontribusi sektor sumber daya alam serta penurunan dividen BUMN.
Ketergantungan berlebihan pada pajak mempersempit ruang fiskal. Ketika ekonomi melambat, penerimaan pajak ikut tertekan, sementara PNBP tidak bisa diandalkan sebagai bantalan. Kondisi ini menunjukkan perlunya strategi diversifikasi sumber penerimaan negara. Ekonomi digital, optimalisasi royalti, hingga peningkatan efisiensi BUMN harus menjadi agenda serius. Tanpa langkah ini, APBN akan selalu rapuh menghadapi guncangan siklus ekonomi.
Belanja Negara: Pusat Naik, Daerah Tertekan
Pada sisi belanja, RAPBN 2026 menunjukkan peningkatan signifikan pada belanja kementerian/lembaga (K/L) yang naik 17,4 persen dari outlook 2025. Angka ini mencerminkan prioritas pemerintah terhadap program strategis nasional, termasuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Yang mencuri perhatian adalah penurunan drastis pada transfer ke daerah. Dari Rp864,1 triliun (outlook 2025) menjadi Rp650 triliun di 2026, pemangkasan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang komitmen terhadap desentralisasi fiskal. Padahal, daerah memegang peran vital dalam pelayanan publik. Pemangkasan transfer dikhawatirkan memperlebar ketimpangan antarwilayah dan memperlemah kemampuan daerah dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya.
Pergeseran komposisi belanja yang semakin sentralistis bisa menimbulkan konsekuensi politik dan sosial. Di satu sisi, pemerintah pusat mungkin lebih mudah mengendalikan arah pembangunan. Di sisi lain, daerah bisa merasa kehilangan ruang fiskal, yang berujung pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap komitmen negara dalam mendukung otonomi daerah.
Defisit Terkendali, Tapi Siapa Menanggung?
Defisit RAPBN 2026 memang lebih kecil, hanya 2,48 persen dari PDB. Angka ini memberikan sinyal positif kepada pasar bahwa Indonesia berkomitmen menjaga disiplin fiskal. Pertanyaan berikutnya adalah siapa yang menanggung beban pembiayaan?
RAPBN 2026 mencatat kebutuhan pembiayaan Rp638,8 triliun. Dalam konteks suku bunga global yang masih tinggi, beban bunga utang akan terus menekan belanja negara. Jika pembiayaan didominasi Surat Berharga Negara (SBN), pemerintah menghadapi risiko volatilitas pasar. Sebaliknya, jika mengandalkan pinjaman bilateral atau multilateral, risiko ketergantungan pada lembaga keuangan internasional juga mengemuka.
Dengan demikian, strategi pembiayaan harus lebih inovatif. Diversifikasi instrumen pembiayaan, seperti green bond atau sukuk berbasis proyek produktif, perlu dipercepat. Tanpa terobosan, pembiayaan defisit bisa menjadi lingkaran beban yang berulang.
Antara Konsolidasi dan Pertumbuhan
RAPBN 2026 jelas menunjukkan niat pemerintah untuk melakukan konsolidasi fiskal. Defisit ditekan, keseimbangan primer membaik, dan belanja pusat diarahkan ke program prioritas. Konsolidasi ini menyimpan dilema tersendiri.
Di satu sisi, disiplin fiskal penting untuk menjaga kepercayaan investor dan rating utang. Di sisi lain, jika dilakukan terlalu cepat dan terlalu kaku, konsolidasi bisa melemahkan peran APBN sebagai motor pertumbuhan. Dalam konteks ketidakpastian global, Indonesia justru membutuhkan kebijakan fiskal yang adaptif dan berani mengambil risiko.
Urgensi Menjaga Keseimbangan
Pertama, perkuat reformasi pajak. Digitalisasi, penguatan kepatuhan, dan diversifikasi sumber pajak harus dipercepat. Pemerintah tidak boleh sekadar mengandalkan kenaikan target, tetapi juga memastikan instrumen yang efektif untuk mencapainya.
Kedua, revitalisasi PNBP. Optimalisasi SDA dan dividen BUMN harus dilakukan, tetapi yang lebih penting adalah menemukan sumber penerimaan baru dari ekonomi digital dan layanan publik modern.
Ketiga, reformasi transfer ke daerah. Pemangkasan nominal tidak boleh dilakukan tanpa memperbaiki mekanisme distribusi. Transfer harus berbasis kinerja, dengan insentif bagi daerah yang berhasil meningkatkan pelayanan publik.
Keempat, pembiayaan yang hati-hati dan inovatif. Instrumen hijau, sukuk, dan pembiayaan berbasis proyek bisa mengurangi risiko fiskal sekaligus mendorong pembangunan berkelanjutan.
Kesimpulan
RAPBN 2026 adalah cerminan pilihan politik ekonomi pemerintah. Dengan defisit yang terkendali, pemerintah ingin menunjukkan disiplin fiskal. Tantangan sebenarnya bukan sekadar menjaga angka defisit, melainkan memastikan bahwa APBN tetap berfungsi sebagai instrumen pembangunan yang adil, merata, dan berkelanjutan.
Pertanyaan mendasarnya sederhana: apakah konsolidasi fiskal 2026 akan menghasilkan stabilitas jangka panjang, atau justru mengorbankan momentum pertumbuhan dan keadilan pembangunan? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan apakah RAPBN 2026 benar-benar menjadi alat pemersatu bangsa atau hanya sekadar dokumen akuntansi negara.
*Penulis: Syafruddin Karimi (Dosen dan Guru Besar Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas)