Oleh: Rahmi Maulidia
Dalam setiap momentum pemilu, pemilih pemula selalu menjadi sorotan utama partai politik. Pemilih pemula adalah generasi muda yang baru pertama kali menggunakan hak pilih ata hak suara dan sekaligus menjadi cerminan masa depan demokrasi Indonesia. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak pemilih pemula belum memahami peran, fungsi, dan arah pilihan politiknya secara matang. Situasi ini menimbulkan pertanyaan sejauh mana partai politik telah menjalankan fungsi sosialisasi politiknya kepada masyarakat terutama kelompok pemilih pemula?
Dalam konteks teori sistem politik Gabriel Almond sebagaimana termuat dalam buku The Politics of the Developing Areas, partai politik seharusnya berperan penting dalam menanamkan nilai-nilai politik, membentuk kesadaran demokratis, serta menghubungkan masyarakat dengan sistem politik secara fungsional. Namun sangat disayangkan, fungsi ini sering kali belum terlaksana secara optimal di tengah dominasi politik yang bersifat pragmatis dan transaksional.
Menurut pandangan saya partai politik di Indonesia belum sepenuhnya menjalankan fungsi sosialisasi politik secara efektif terhadap pemilih pemula. Dalam kerangka teori sistem politik Gabriel Almond, sosialisasi politik merupakan salah satu fungsi kunci yang menjamin berjalannya sistem politik secara seimbang dan berkelanjutan. Fungsi ini menuntut partai untuk menanamkan nilai-nilai politik, memperkenalkan mekanisme demokrasi, serta membangun kesadaran kritis di kalangan generasi muda sebagai warga negara. Namun, dalam praktiknya, kegiatan sosialisasi yang dilakukan partai sering kali bersifat simbolis, temporer, dan berorientasi elektoral semata. Akibatnya, pemilih pemula cenderung mengenal politik hanya sebatas kampanye dan perebutan suara,bahkan hanya sekedar perebutan kekuasaan bukan sebagai proses partisipatif dalam kehidupan bernegara.
Dalam teori sistem politik Gabriel Almond, sosialisasi politik merupakan salah satu fungsi input yang berperan penting dalam menjaga keberlangsungan sistem politik. Melalui proses ini, masyarakat, terutama generasi muda, diperkenalkan pada nilai, norma, dan perilaku politik yang membentuk kesadaran demokratis. Namun, realitas menunjukkan bahwa fungsi ini belum berjalan optimal di Indonesia.
Berdasarkan survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2024, sebanyak 62% pemilih pemula mengaku belum memahami peran partai politik dan mekanisme pemilu secara mendalam. Data ini menandakan lemahnya upaya pendidikan politik yang seharusnya menjadi tanggung jawab utama partai. Di banyak daerah, kegiatan partai politik kepada generasi muda lebih sering berupa kampanye menjelang pemilu dibandingkan pembinaan berkelanjutan. Sebagai contoh, pada Pemilu 2024 di Sumatera Barat, sejumlah partai menggelar kegiatan bertajuk “Pemilih Muda Melek Politik”, namun kegiatan tersebut hanya bersifat seremonial tanpa tindak lanjut atau forum diskusi yang menumbuhkan pemahaman kritis. Padahal, menurut Almond, tanpa sosialisasi politik yang efektif, sistem politik akan kehilangan legitimasi karena warga negara tidak memahami peran dan tanggung jawabnya secara sadar. Dengan demikian, lemahnya sosialisasi politik partai terhadap pemilih pemula bukan hanya persoalan teknis kampanye, melainkan ancaman terhadap keberlanjutan budaya politik demokratis di Indonesia.
Sebagian pihak mungkin berpendapat bahwa partai politik telah cukup aktif menjalankan fungsi sosialisasi politik kepada pemilih pemula melalui berbagai kegiatan seperti seminar, pelatihan kepemimpinan, dan kampanye digital di media sosial. Pandangan ini muncul karena hampir semua partai kini memiliki sayap kepemudaan yang terlibat dalam kegiatan edukatif dan kreatif menjelang pemilu. Misalnya, beberapa partai besar seperti PDI Perjuangan dan Partai Golkar aktif mengadakan political youth camp serta lomba konten politik di platform digital yang menyasar kalangan pelajar dan mahasiswa. Namun, jika ditelaah lebih dalam, kegiatan semacam ini cenderung bersifat event-based dan tidak berkelanjutan, sehingga gagal membentuk kesadaran politik yang substantif.
Dalam kerangka teori sistem politik Gabriel Almond, fungsi sosialisasi politik tidak sekadar mengenalkan simbol atau jargon partai, tetapi menanamkan nilai-nilai politik yang membentuk orientasi dan perilaku warga negara terhadap sistem politik secara menyeluruh. Artinya, keberhasilan sosialisasi tidak dapat diukur dari seberapa sering kegiatan dilakukan, melainkan dari sejauh mana partai mampu menumbuhkan pemahaman politik yang rasional, kritis, dan partisipatif di kalangan pemilih muda. Dengan demikian, klaim bahwa partai politik telah menjalankan peran sosialisasi dengan baik perlu dikritisi, sebab banyak kegiatan yang bersifat seremonial, transaksional, dan minim evaluasi terhadap dampak pendidikan politik yang dihasilkan.
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa partai politik di Indonesia belum optimal menjalankan fungsi sosialisasi politik sebagaimana dikemukakan oleh Gabriel Almond dalam teori sistem politiknya. Sosialisasi politik seharusnya menjadi pintu utama dalam membangun budaya politik yang matang, di mana pemilih khususnya generasi muda memahami hak dan kewajiban politiknya secara sadar dan bertanggung jawab. Namun kenyataannya, aktivitas sosialisasi partai masih berorientasi elektoral dan cenderung pragmatis, hanya difokuskan menjelang pemilu. Akibatnya, pemilih pemula kurang mendapatkan pendidikan politik yang mendalam dan cenderung menjadi sasaran politik transaksional.
Untuk memperbaiki kondisi ini, partai politik perlu melakukan reformasi internal dengan memperkuat fungsi pendidikan politik secara berkelanjutan melalui forum diskusi, pelatihan kepemimpinan, serta kolaborasi dengan lembaga pendidikan dan organisasi kepemudaan. Selain itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pemerintah juga perlu mendorong kebijakan yang memperkuat peran partai dalam pembinaan politik jangka panjang, bukan hanya saat masa kampanye. Hanya dengan sosialisasi politik yang substantif, sistem politik Indonesia dapat berjalan seimbang sebagaimana diidealkan oleh Gabriel Almond di mana partai tidak hanya menjadi alat perebutan kekuasaan, tetapi juga wahana pembentuk karakter dan kesadaran politik warga negara.
Rahmi Maulidia, mahasiswa Departemen Ilmu Politik, FISIP Universitas Andalas