Prioritas Musnahkan Sampah Secara Cepat dan Aman Bukan Mengejar Energi Yang Tidak Kunjung Jadi
KRISIS sampah di Indonesia telah mencapai titik nadir, namun kita terus menerus salah mendiagnosis penyakitnya. Kita tidak sedang menghadapi defisit energi yang perlu diisi oleh sampah. Kita malah menitipkan kepada sampah program program-program lain seperti program transisi energi. Kita ini sedang menghadapi darurat kebersihan, kesehatan masyarakat, dan lingkungan yang menuntut pemusnahan massa sampah secara cepat, aman lingkungan dan tuntas. Paradigma modern yang mengedepankan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) atau Waste-to-Energy (WtE) sebagai solusi pamungkas adalah sebuah kekeliruan fundamental yang lahir dari ambisi yang salah tempat. Pendekatan ini, yang memprioritaskan pembangkitan energi sebagai tujuan utama, secara inheren mahal, rumit, dan lambat, sehingga justru melumpuhkan tujuan yang paling esensial yaitu melenyapkan gunungan sampah dari lingkungan kita secepat mungkin dan aman. Akibatnya, pemerintah daerah terjebak dalam "kelumpuhan karena ambisi", menunda tindakan nyata sambil menanti proyek mercusuar yang seringkali tak kunjung tiba, sementara bom waktu ekologis di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) terus berdetak.
Oleh karena itu, strategi pengelolaan sampah nasional harus dibalik secara total. Kita harus memprioritaskan hierarki yang benar dan pragmatis. Pertama, dan ini tidak bisa ditawar, adalah maksimalisasi pengurangan sampah di sumber melalui gerakan 3R (Reduce, Reuse, Recycle) yang agresif dan terstruktur. Kedua, untuk residu sampah yang tidak terkelola, fokus utama harus dialihkan ke pemusnahan massa yang cepat, aman bagi lingkungan, dan terjangkau secara fiskal melalui teknologi pengolahan termal. Dalam kerangka ini, pemulihan energi harus turun takhta dari tujuan utama menjadi bonus atau manfaat sekunder. Dengan mengalihkan fokus dari komoditas (energi) kembali ke masalah inti (pemusnahan massa), kita membuka jalan yang lebih realistis, lebih cepat, dan lebih dapat dijangkau oleh mayoritas daerah di Indonesia untuk akhirnya mewujudkan cita-cita Indonesia Bersih Sampah. Ini bukan tentang menurunkan standar, tetapi tentang menetapkan prioritas yang benar.
Darurat Lingkungan yang Terabaikan
Mari kita jujur melihat kondisi di lapangan. TPA di kota-kota besar Indonesia bukan lagi sekadar tempat pengolahan, melainkan telah menjelma menjadi monster lingkungan yang mengancam. TPA Leuwigajah di Cimahi yang longsor pada tahun 2005 dan menbawa malapetaka. Saat ini, TPA seperti Bantar Gebang di Bekasi, Sarimukti di Bandung Barat, atau Piyungan di Yogyakarta semuanya dalam kondisi kritis, melampaui kapasitas tampung maksimalnya. Gunungan sampah yang menjulang tinggi bukan hanya merusak estetika, tetapi juga menjadi sumber pencemaran lindi (cairan beracun dari sampah) yang meresap ke dalam tanah dan air, serta melepaskan gas metana, sebuah gas rumah kaca yang puluhan kali lebih kuat dari karbon dioksida. Ini adalah bom waktu ekologis dan kesehatan yang siap meledak kapan saja.
Di luar TPA resmi, masalahnya bahkan lebih parah. Sungai-sungai kita telah berubah menjadi selokan raksasa, dan pesisir pantai kita dipenuhi sampah plastik. Praktik pembuangan liar dan pembakaran sampah skala kecil di lingkungan perumahan menjadi pemandangan umum, melepaskan dioksin dan furan yang beracun ke udara yang kita hirup setiap hari. Skala masalah ini begitu besar sehingga pendekatan konvensional seperti pengomposan dan daur ulang, meskipun penting, tidak akan pernah mampu mengejar laju produksi sampah harian yang mencapai puluhan ribu ton di seluruh negeri.p Kegagalan sistemik ini menciptakan keputusasaan, yang pada gilirannya membuat pemerintah dan masyarakat mendambakan satu solusi tunggal berteknologi canggih yang dijanjikan dapat menyelesaikan semua masalah secara instan.
Fatamorgana Solusi Teknologi Tinggi
Di tengah keputusasaan inilah narasi tentang PLTSa atau WtE muncul sebagai "kesatria putih". Konsepnya terdengar sempurna: mengubah masalah (sampah) menjadi solusi (energi). Bagi para pembuat kebijakan, ini adalah narasi yang sangat menarik karena menawarkan dua keuntungan sekaligus: mengatasi masalah sampah dan berkontribusi pada ketahanan energi. Janji akan kota yang lebih bersih yang ditenagai oleh sampahnya sendiri adalah sebuah visi modern yang sulit untuk ditolak. Teknologi ini dipromosikan sebagai standar emas pengelolaan sampah di negara-negara maju seperti Jepang, Singapura, atau negara-negara Eropa, menciptakan persepsi bahwa mengadopsinya adalah sebuah lompatan menuju kemajuan. Akibatnya, fokus kebijakan dan alokasi sumber daya pun bergeser ke arah realisasi proyek-proyek raksasa ini.
Namun, di sinilah "kelumpuhan karena ambisi" mulai terjadi. Terpukau oleh fatamorgana solusi canggih ini, banyak pemerintah daerah menunda atau mengabaikan perbaikan fundamental pada sistem pengelolaan sampah mereka. Alih-alih mengalokasikan dana untuk memperluas cakupan pengangkutan, meningkatkan fasilitas pemilahan, atau mengedukasi publik tentang 3R, mereka justru menghabiskan waktu dan energi untuk studi kelayakan, mencari investor, dan menavigasi regulasi rumit untuk proyek PLTSa yang bernilai triliunan rupiah. Proses ini bisa memakan waktu bertahun-tahun, dan seringkali berakhir dengan kegagalan. Selama masa penantian yang tidak pasti ini, tidak ada tindakan signifikan yang diambil untuk mengurangi volume sampah yang ada. Tumpukan sampah di TPA terus meninggi, sungai semakin tercemar, dan krisis terus memburuk. Ambisi untuk melompat ke solusi akhir justru melumpuhkan kemampuan untuk mengambil langkah-langkah awal yang paling krusial.
Benturan Keras dengan Realitas Fiskal dan Teknis
Mengapa proyek PLTSa ini begitu sulit diwujudkan di Indonesia? Jawabannya terletak pada dua hambatan utama: biaya yang selangit dan karakteristik sampah yang tidak sesuai. Pembangkit WtE dengan teknologi insinerator-boiler-turbin yangl andal dan aman bagi lingkungan membutuhkan investasi awal (CAPEX) yang luar biasa besar. Angka yang sangat besar ini jauh melampaui kapasitas fiskal mayoritas APBD kabupaten/kota di Indonesia. Model bisnisnya pun sangat kompleks, bergantung pada tiga sumber pendapatan yang stabil: tipping fee (biaya pembuangan yang dibayar pemerintah daerah), pendapatan dari penjualan listrik (dengan tarif yang harus disubsidi), dan penjualan material daur ulang. Menyeimbangkan ketiga elemen ini agar proyek layak secara finansial adalah tantangan besar yang seringkali gagal.
Masalah kedua adalah soal teknis. Teknologi insinerasi WtE yang umum digunakan di negara maju dirancang untuk membakar sampah dengan nilai kalori tinggi dan kadar air rendah. Sampah di Indonesia, sebaliknya, memiliki karakteristik yang berlawanan: kadar air sangat tinggi (60-70%) dan didominasi sampah organik, sehingga nilai kalorinya rendah. Membakar sampah semacam ini ibarat mencoba menyalakan api dengan kayu basah; tidak efisien dan membutuhkan banyak energi tambahan (bahan bakar fosil) hanya untuk memulai dan mempertahankan proses pembakaran. Hal ini tidak hanya membuat operasionalnya menjadi mahal (OPEX tinggi), tetapi juga berisiko menghasilkan emisi berbahaya jika suhu pembakaran tidak tercapai secara optimal. Memaksakan teknologi yang tidak sesuai dengan kondisi lokal adalah resep untuk kegagalan finansial dan bencana lingkungan.
Membalik Piramida sebagai Fondasi yang Benar
Jika WtE dengan fokus energi adalah jalan yang keliru, lalu apa solusinya? Jawabannya adalah kembali ke dasar dan membangun strategi dari fondasi yang benar. Langkah pertama yang tidak bisa dinegosiasikan adalah pencegahan. Ini adalah domain dari prinsip 3R. Upaya ini harus menjadi gerakan nasional yang masif, terstruktur, dan ditegakkan dengan insentif serta disinsentif yang jelas. Ini bukan sekadar slogan, melainkan perubahan paradigma dari ekonomi linier (ambil-pakai-buang) menjadi ekonomi sirkular. Pemerintah harus mewajibkan produsen untuk menggunakan kemasan yang mudah didaur ulang (extended producer responsibility), membangun industri daur ulang dalam negeri yang kuat, dan menyediakan infrastruktur pemilahan sampah di tingkat sumber seperti rumah tangga dan area komersial. Masyarakat harus diedukasi secara terus-menerus hingga memilah sampah menjadi kebiasaan. Tanpa fondasi ini, teknologi secanggih apa pun pada akhirnya akan kewalahan.
Setelah upaya 3R dimaksimalkan, kita akan tetap memiliki "residu" sampah—yaitu sampah yang tidak dapat didaur ulang atau dikomposkan. Di sinilah teknologi pengolahan termal berperan, namun dengan tujuan yang berbeda. Tujuannya bukan lagi untuk menghasilkan listrik secara optimal, melainkan untuk pemusnahan massa dan reduksi volume secara maksimal. Dengan mendefinisikan ulang tujuan utama ini, kita membuka pintu bagi spektrum teknologi yang jauh lebih luas, lebih sederhana, dan lebih terjangkau. Fokusnya adalah sanitasi dan kebersihan; sebuah layanan publik mendasar, sama seperti penyediaan air bersih atau pembangunan jalan. Dengan menghilangkan beban keharusan untuk menjadi pembangkit listrik yang efisien, kita dapat memilih teknologi yang paling sesuai untuk memusnahkan sampah kita secara aman dan efektif dengan biaya yang masuk akal.
Teknologi sebagai Alat, Bukan Tujuan
Ketika tujuan utama adalah pemusnahan massa secara cepat dan aman, pilihan teknologi menjadi lebih fleksibel. Kita bisa mempertimbangkan pemusnahan secara termal pada temperatur yang tinggi dengan sistem yang tidak komplek tanpa dibebani oleh produksi listrik. Ini akan sangat efektif dalam mengurangi volume sampah hingga 90% dan massanya hingga 75%. Abu sisa pembakaran (bottom ash) yang stabil dapat dimanfaatkan sebagai material konstruksi, sementara gas buangnya tetap harus dikelola dengan sistem pengendali polusi yang ketat untuk memenuhi baku mutu lingkungan. Kunci utamanya adalah: teknologi dipilih untuk menyelesaikan masalah pemusnahan, bukan untuk memenuhi target produksi energi.
Lalu bagaimana dengan energi? Energi tetap bisa dipulihkan, tetapi sebagai produk sampingan atau bonus dan tidak perlu diwajibkan harus menghasilkan listrik bila mana dana pembangunan tidak mencukupi. Bila ada dana cukup, maka panas yang dihasilkan dari proses termal dapat digunakan untuk menghasilkan listrik dalam skala yang lebih kecil, cukup untuk menopang operasional fasilitas itu sendiri (self-sustaining) atau untuk kebutuhan listrik masyarakat sekitar. Panas tersebut juga bisa dimanfaatkan secara langsung untuk industri kecil di sekitar lokasi (ko-generasi). Pendekatan ini secara drastis mengurangi kerumitan dan biaya proyek. Energi menjadi bonus yang meningkatkan efisiensi, bukan komoditas utama yang mendikte seluruh desain teknis dan model bisnis. Ini adalah pendekatan yang jauh lebih membumi dan dapat direplikasi di lebih banyak daerah dengan kapasitas fiskal yang beragam.
Panggilan untuk Kebijakan yang Pragmatis
Perubahan ini menuntut keberanian dari para pembuat kebijakan di tingkat nasional dan daerah. Regulasi yang saat ini terlalu berfokus pada skema PLTSa berskala besar harus direvisi untuk memberikan ruang bagi solusi pengolahan termal dengan fokus utama pada pemusnahan massa secara cepat dan aman akan lingkungan. Skema pendanaan dan insentif harus dirancang untuk mendukung proyek-proyek yang lebih kecil, lebih terjangkau, dan lebih cepat diimplementasikan. Pemerintah pusat bisa menyediakan menu opsi teknologi yang telah terverifikasi aman dan efektif, sehingga pemerintah daerah tidak perlu memulai dari nol. Perlu ada pergeseran dari paradigma "satu solusi untuk semua" menuju pendekatan yang lebih modular, terdesentralisasi, dan disesuaikan dengan kapasitas serta karakteristik sampah di masing-masing daerah.
Pada akhirnya, perang melawan sampah tidak akan dimenangkan oleh satu proyek mercusuar yang megah, melainkan oleh ribuan tindakan yang lebih kecil, lebih cepat, dan lebih tepat sasaran di seluruh nusantara. Sudah saatnya kita melepaskan diri dari jebakan ambisi energi yang melumpuhkan. Mari kita hadapi kenyataan bahwa masalah utama kita adalah gunungan sampah fisik yang mengancam kesehatan dan lingkungan. Dengan memfokuskan energi, sumber daya, dan kemauan politik kita pada tujuan yang paling mendasar—memusnahkan massa sampah—kita dapat mengambil langkah-langkah nyata dan signifikan. Indonesia Bersih Sampah bukanlah mimpi di siang bolong, ia dapat dicapai melalui pragmatisme, prioritas yang benar, dan keberanian untuk membalik logika yang selama ini telah menyesatkan kita. Musnahkan dulu sampahnya, energi adalah bonusnya.
*Penulis: Yazid Bindar (Dosen dan Guru Besar pada Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung)