Ekonomi nasional yang stabil berdiri di atas fondasi ekonomi daerah yang kuat dan terprediksi. Transfer ke Daerah (TKD) berperan sebagai penyangga fiskal untuk layanan dasar, proyek padat karya skala lokal, dan investasi kecil–menengah yang menjaga denyut permintaan domestik. Ketika pemangkasan TKD terjadi, kebijakan itu harus menambah kualitas, bukan ketidakpastian. Tanpa rancangan yang jelas, pemotongan berisiko mengganggu arus kas pemerintah daerah, memperlambat belanja strategis, dan pada gilirannya meredupkan keyakinan pelaku usaha di daerah. Stabilitas nasional akan ikut terguncang bila mesin ekonomi daerah kehilangan tenaga.
Pemerintah pusat memegang kendali arah, sementara pemerintah daerah berada di garis eksekusi. Keduanya perlu bergerak selaras agar penyesuaian TKD menjadi katalis peningkatan produktivitas. Intinya sederhana: realokasi harus berpindah dari pos berdaya ungkit rendah menuju sektor bernilai tambah tinggi. Kebijakan yang akurat mengalihkan dana dari belanja yang boros ke kegiatan yang mencetak lapangan kerja berkualitas, memperluas basis pajak daerah, dan memperkuat rantai pasok domestik. Daerah memperoleh ruang untuk menjaga layanan dasar, pusat memperoleh kepastian bahwa setiap rupiah menghasilkan dampak ekonomi yang nyata.
Kunci reorientasi terletak pada multiplier effect dan produktivitas. Belanja yang rendah pengganda biasanya berumur pendek dan tidak menambah kapasitas produksi. Sebaliknya, sektor dengan pengganda tinggi—seperti perbaikan infrastruktur konektivitas mikro, peningkatan kualitas SDM, digitalisasi layanan usaha lokal, hilirisasi UMKM, dan proyek perbaikan irigasi—menciptakan efek berganda yang berkelanjutan. Pemangkasan TKD perlu memastikan dana bergerak menuju kantong-kantong ekonomi tersebut. Dengan cara ini, konsumsi lokal terjaga, investasi kecil–menengah mendapat oksigen, dan penerimaan pajak daerah tumbuh lebih sehat.
Di sisi lain, disparitas ICOR antardaerah mengirim pesan penting. ICOR yang tinggi berarti efisiensi investasi rendah. Kebijakan pemangkasan harus mengompensasi kelemahan ini dengan mendorong peningkatan Total Factor Productivity (TFP). Caranya: mengikat transfer pada proyek yang memperbaiki efisiensi sistemik—misalnya pengurangan biaya logistik lokal, penyederhanaan perizinan berbasis kinerja, integrasi data pajak dan retribusi untuk memperluas basis pendapatan daerah, serta penguatan layanan vokasi yang menutup kesenjangan keterampilan. Jika ICOR tinggi tidak berubah menjadi lonjakan TFP, pemotongan hanya memperbesar beban tanpa memberi imbal hasil.
Agar tujuan tercapai, rancangan pemangkasan TKD perlu mematuhi empat prinsip tata kelola yang tegas.
Pertama, prediktabilitas. Pusat dan daerah menyepakati baseline multi-tahun untuk layanan dasar—pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial—sehingga puskesmas, sekolah, dan jaring pengaman tidak goyah. Baseline membuat APBD tidak terseret keputusan yang datang mendadak. Begitu baseline aman, ruang realokasi bisa difokuskan ke program berdaya ungkit tinggi.
Kedua, kejelasan arsitektur TKD. Pisahkan komponen berbasis formula dan komponen berbasis kinerja. Formula menawarkan kepastian arus kas; komponen kinerja menjadi instrumen insentif dengan indikator terbatas, terukur, dan diumumkan sejak awal tahun. Dengan desain ini, pemangkasan tidak menimbulkan kebingungan, dan daerah memahami konsekuensi setiap target.
Ketiga, disiplin waktu penyaluran. Kalender penilaian dan pencairan perlu mengikat. Jadwal triwulanan yang konsisten mencegah penundaan proyek dan menjaga ritme belanja. Kontraktor lokal dapat merencanakan arus kas, tenaga kerja tidak terputus, dan rantai pasok daerah tetap bergerak.
Keempat, transparansi realokasi. Publikasikan daftar program yang dikurangi dan program yang diperkuat, lengkap dengan rasional pengganda ekonomi dan proyeksi produktivitas. Transparansi memicu disiplin dua arah: pusat lebih terukur dalam menetapkan prioritas, daerah lebih fokus pada program dengan manfaat nyata.
Sinergi pusat–daerah juga perlu menempatkan pengukuran sebagai jantung kebijakan. Tiga metrik layak menjadi acuan bersama. Pertama, indikator multiplier per program, diukur dari serapan tenaga kerja lokal, belanja ke pemasok domestik, dan dampak pada pendapatan masyarakat. Kedua, indikator TFP berbasis produktivitas tenaga kerja dan efisiensi modal—terutama di sektor pengolahan, logistik, pertanian bernilai tambah, dan ekonomi digital. Ketiga, indikator ketepatan waktu penyaluran, karena tepat waktu sama pentingnya dengan jumlah. Kombinasi ketiganya memastikan pemangkasan tidak sekadar memangkas, melainkan menggeser struktur belanja ke arah yang mempercepat pertumbuhan berkualitas.
Dalam praktik, realokasi cerdas bisa mengambil beberapa bentuk. Daerah dengan ICOR tinggi pada proyek fisik berskala besar dapat mengurangi porsi proyek yang lambat dan mengalihkan dana ke perbaikan jaringan jalan lingkungan, cold chain hortikultura, serta layanan dukungan usaha yang cepat berdampak pada biaya logistik. Kota dengan sektor kreatif dan digital yang berkembang bisa memperkuat program peningkatan keterampilan dan akses pasar, sehingga produktivitas usaha kecil naik dan basis pajak daerah melebar. Wilayah dengan potensi pariwisata berbasis alam dapat memprioritaskan sanitasi, akses air bersih, dan konektivitas transportasi mikro yang langsung menaikkan kualitas layanan dan pendapatan lokal.
Semua langkah ini akan efektif bila koordinasi berjalan tanpa jarak. Pusat memperjelas prioritas nasional, menyediakan kerangka evaluasi yang ringan tetapi tajam, serta menegakkan disiplin waktu penyaluran. Daerah memetakan sektor unggulan, menghitung pengganda lokal, dan menyusun portofolio program berisiko rendah dengan imbal hasil tinggi. Komunikasi dua arah menjaga agar pemangkasan tidak memutus aliran belanja yang menjadi tulang punggung ekonomi domestik.
Kita perlu menyadari bahwa stabilitas ekonomi nasional lahir dari rencana yang konsisten dan aturan main yang jelas. Pemangkasan TKD dapat menjadi alat perbaikan kualitas belanja bila diarahkan untuk menguatkan produktivitas, memperbesar pengganda, dan mengurangi keborosan. Ekonomi daerah yang kuat akan menopang permintaan domestik, memperbaiki ekspektasi pelaku usaha, dan mengunci kepercayaan publik. Tanpa rancangan yang rapi, pemotongan justru menambah ketidakpastian dan menggerus fondasi pertumbuhan.
Kita membutuhkan keberanian untuk menata ulang prioritas, kecermatan dalam memilih program berdaya ungkit, dan konsistensi dalam menegakkan tata kelola. Dengan sinergi pusat–daerah yang solid, pemangkasan TKD berubah dari ancaman menjadi peluang: peluang untuk mempercepat perbaikan produktivitas, menurunkan ICOR efektif, dan mendorong TFP naik secara luas. Dari sana, stabilitas ekonomi nasional berdiri lebih kokoh—karena kekuatan Indonesia selalu berawal dari daerah yang tangguh.
*Penulis: Syafruddin Karimi (Dosen dan Guru Besar pada Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Andalas)