Panggung kehidupan berbangsa kita tak pernah sepi dari pertunjukan. Setiap hari, kita disuguhi beragam episode drama yang membetot perhatian, menguras emosi, dan tak jarang, mengaburkan esensi. Dari koridor kekuasaan hingga ruang-ruang pengadilan, dari debat kebijakan hingga perseteruan personal yang disiarkan secara masif, negeri ini seolah menjelma menjadi sebuah teater kolosal. Namun, di balik riuh tepuk tangan dan caci maki para penonton, ada sebuah kegelisahan yang mendalam: jangan-jangan, drama yang kita saksikan ini hanyalah bungkus elok dari tumpukan dosa kolektif yang kian menggunung.
Hiruk pikuk ini bukanlah dinamika politik yang sehat. Ia lebih menyerupai sebuah sinetron dengan alur yang berulang: konflik diciptakan, tokoh antagonis dan protagonis dipentaskan, klimaks dibangun melalui sensasi, lalu diakhiri dengan episode gantung yang memaksa kita menantikan kelanjutannya. Yang hilang dalam proses ini adalah substansi, nalar publik, dan yang paling utama, etika. Drama ini, secara sadar atau tidak, telah menormalisasi apa yang seharusnya dianggap sebagai "dosa" dalam konteks kehidupan publik: kebohongan yang dilembagakan, ketidakadilan yang dipertontonkan, dan empati yang dikomodifikasi.
Dosa Simulakrum Kebenaran
Dosa paling purba dalam panggung drama ini adalah pemutarbalikan kebenaran. Kita hidup dalam sebuah era yang oleh filsuf Jean Baudrillard disebut sebagai "simulakrum"—sebuah realitas artifisial yang terdiri dari citra dan tanda, yang tak lagi memiliki rujukan pada realitas asli. Di panggung politik kita, simulakrum ini terwujud dalam bentuk narasi-narasi yang sengaja dibangun untuk menggantikan fakta.
Seorang pejabat publik yang terjerat kasus hukum tidak lagi berfokus pada pembuktian hukum di pengadilan. Sebaliknya, ia dan timnya akan membangun panggung tandingan di media massa. Mereka menciptakan narasi viktimisasi, teori konspirasi, atau pengalihan isu. Dengan bantuan para "pendengung" (buzzer) dan pasukan siber, narasi artifisial ini disebarluaskan hingga menjadi "kebenaran" alternatif di benak sebagian publik. Pertarungan tidak lagi terjadi di ranah fakta, melainkan di ranah persepsi.
Drama ini menjadi semakin rumit ketika institusi yang semestinya menjadi penjaga kebenaran—media, lembaga hukum, akademisi—turut terseret dalam pusaran. Media, yang terjebak dalam logika industrialisme klik dan rating, sering kali lebih tertarik pada aspek dramatis sebuah peristiwa ketimbang verifikasi fakta yang mendalam. Akibatnya, mereka tanpa sadar menjadi agen penyebar simulakrum tersebut. Kebohongan publik, yang seharusnya menjadi dosa fatal, kini sekadar dianggap sebagai "strategi komunikasi politik". Inilah dosa intelektual yang secara perlahan menggerogoti nalar sehat bangsa.
Dosa Komodifikasi Keadilan
Jika kebenaran telah menjadi simulakrum, maka keadilan pun tak luput dari dosa komodifikasi. Proses hukum yang seharusnya sakral, logis, dan netral, diubah menjadi tontonan layaknya pertarungan gladiator. Setiap babak, mulai dari penyelidikan, penetapan tersangka, hingga persidangan, dikemas sedemikian rupa untuk memuaskan dahaga publik akan drama.
Lihatlah bagaimana sebuah kasus hukum besar dipentaskan. "Perang bintang" antar penegak hukum, tangisan dan sumpah serapah di ruang sidang menjadi tajuk utama dan hakim yang sudah punya keputusan sesuai yang diperintahkan. Pengacara tidak hanya beradu argumen hukum, tetapi juga beradu pencitraan di hadapan kamera. Esensi pencarian keadilan material—menemukan siapa yang benar dan salah berdasarkan bukti—tenggelam oleh hingar bingar keadilan prosedural yang didramatisasi.
Dalam iklim seperti ini, hukum tak lagi tampil dengan wajahnya yang agung dan berwibawa. Ia menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan melalui opini publik. Muncul kaidah dasar semu: siapa yang menguasai panggung opini, ia yang berpeluang "memenangkan" hukum. Fenomena trial by the press atau penghakiman oleh media menjadi keniscayaan. Akibatnya, prinsip-prinsip fundamental seperti asas praduga tak bersalah menjadi rontok. Dosa ini merusak fondasi negara hukum, mengubahnya dari pilar keadaban menjadi sekadar properti panggung pertunjukan. Rasa keadilan publik pun terbelah, bukan berdasarkan fakta hukum, melainkan berdasarkan keberpihakan pada "tokoh" drama yang mereka dukung.
Dosa Erosinya Empati Kolektif
Di antara semua dosa yang terbungkus drama, mungkin inilah yang paling membahayakan kemanusiaan kita: erosi empati. Setiap hari, kita disajikan potret penderitaan—korban bencana alam, korban penggusuran, potret kemiskinan ekstrem. Namun, alih-alih menjadi pengingat kolektif untuk bertindak, penderitaan itu justru sering kali dieksploitasi menjadi konten drama politik.
Seorang pemimpin yang mengunjungi lokasi bencana tidak lagi dilihat dari ketulusan dan efektivitas bantuannya, melainkan dari sudut pengambilan gambar yang paling "humanis" untuk diunggah di media sosial. Bantuan sosial yang seharusnya menjadi hak warga miskin, dibingkai dengan spanduk dan atribut partai atau tokoh politik, mengubahnya dari tindakan welas asih menjadi alat tukar elektoral.
Penderitaan rakyat menjadi properti untuk saling serang. Kubu A membongkar data yang mendukung fakta bahwa pemerintah gagal menangani kemiskinan dan menampilkan gambar gambar yang paling menyedihkan. Kubu B membalas dengan menampilkan program-program populisnya sebagai solusi instan. Dalam proses ini, subjek yang menderita—rakyat itu sendiri—kehilangan suaranya. Mereka hanya menjadi objek pasif dalam narasi besar para elite.
Empati yang didasari oleh kesadaran tulus akan penderitaan sesama manusia digantikan oleh "simpati performatif". Kita merasa sudah cukup berbuat dengan memberi "like" atau "share" pada konten penderitaan, tanpa tergerak untuk melakukan aksi nyata yang sistemik. Ini adalah dosa sosial yang memutus ikatan kebangsaan kita pada akarnya.
Politik Substantif Jalan Keluar
Lantas, haruskah kita pesimistis dan membiarkan panggung drama ini terus berjalan hingga babak terakhirnya yang mungkin tragis? Tentu tidak. Kesadaran akan adanya "dosa" yang terbungkus dalam dinamika ini adalah langkah pertama menuju pertobatan kolektif. Jalan keluarnya tidak sederhana, namun harus dimulai dengan sebuah gerakan bersama untuk menuntut kembalinya politik substantif.
Pertama, imperatif bagi masyarakat sipil untuk menggalakkan literasi kritis. Publik harus dibekali kemampuan untuk membedakan antara drama dan substansi, antara citra dan realita, antara sensasi dan informasi. Kita harus belajar untuk "membaca" apa yang ada di balik panggung—siapa aktor intelektualnya, apa kepentingannya, dan narasi apa yang sedang coba mereka tanamkan. Menjadi penonton yang cerdas adalah bentuk perlawanan paling efektif terhadap pendangkalan ruang publik.
Kedua, ada tuntutan moral bagi para insan media. Di tengah tekanan industri, idealisme jurnalistik sebagai penjaga nalar publik harus terus dinyalakan. Media harus berani mengambil jarak dari drama. Fokus pemberitaan harus digeser dari "siapa berkata apa" menjadi "apa masalahnya dan bagaimana solusinya". Jurnalisme presisi dan investigatif yang membongkar akar masalah, bukan sekadar melaporkan permukaan konflik, adalah sebuah keniscayaan.
Ketiga, dan ini yang terpenting, adalah tanggung jawab para aktor politik itu sendiri. Para elite harus menyadari bahwa legitimasi kekuasaan yang dibangun di atas panggung drama adalah legitimasi yang rapuh. Popularitas sesaat yang diraih dari sensasi tidak akan pernah bisa menggantikan kepercayaan publik yang lahir dari kerja nyata, integritas, dan kebijakan yang berpihak pada kepentingan umum. Politik harus dikembalikan pada khitahnya sebagai seni mengelola kebaikan bersama, bukan sebagai panggung untuk memuaskan syahwat kekuasaan personal atau kelompok.
Mengakhiri drama yang berbungkus dosa ini adalah tugas historis kita bersama. Ini adalah perjuangan untuk merebut kembali akal sehat, merawat nurani, dan memulihkan martabat kehidupan berbangsa. Kita merindukan sebuah panggung di mana yang menjadi bintang utama bukanlah para pembuat sensasi, melainkan gagasan-gagasan cemerlang untuk kemajuan negeri. Sebuah panggung di mana dialog kebijakan yang mendalam lebih riuh dari caci maki personal.
Hanya dengan cara itulah kita bisa memastikan bahwa dinamika yang tersaji di negeri ini bukanlah lagi bungkusan dosa yang menyesatkan, melainkan sebuah orkestrasi otentik dari denyut nadi demokrasi yang sehat dan beradab. Perjuangan ini panjang, namun harapan itu harus terus kita rawat.
*Penulis: Yazid Bindar (Dosen dan Guru Besar pada Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung)