Paan Masala merupakan salah satu produk pangan kultural paling populer di India. Ia bukan sekadar camilan, tetapi bagian dari identitas sosial dan kebiasaan masyarakat yang sudah berakar dalam tradisi ngunyah sirih. Paan Masala biasanya terdiri atas campuran biji pinang (areca nut), kapur sirih, bahan penyedap, pemanis, serta katha. Kombinasi ini menghadirkan sensasi unik di lidah, mulai dari sepat, manis, pedas, hingga menyegarkan, yang menjadikan Paan Masala diminati lintas generasi.
Di India, konsumsi Paan Masala bukan hanya berfungsi sebagai penghilang penat, tetapi juga sebagai medium sosial. Menawarkan Paan Masala kepada tamu kerap dipandang sebagai simbol keramahan. Oleh karena itu, keberadaan produk ini bertransformasi dari sekadar camilan menjadi industri bernilai miliaran rupee, menyerap berbagai komoditas pertanian sebagai bahan baku, salah satunya adalah gambir yang diproses menjadi katha.
Ngunyah Sirih Adat Minangkabau
Orang Minangkabau sejak dulu juga memiliki tradisi nginang atau makan sirih. Tradisi ini menggunakan daun sirih yang dilipat berisi beberapa bahan tambahan: gambir, pinang, dan kapur sirih. Kombinasi ini dikunyah bersama hingga menghasilkan cairan berwarna merah pekat yang dikenal khas dari tradisi sirih. Namun, berbeda dengan tradisi di India yang menjadikan paan sebagai konsumsi harian atau komersial dalam bentuk paan masala, di Minangkabau praktik mengunyah sirih lebih bersifat seremonial dan simbolis.
Di masyarakat Minang, sirih bukan sekadar konsumsi biasa, tetapi memiliki makna budaya dan sosial yang dalam. Sirih disajikan pada acara adat, pertemuan penting, atau penyambutan tamu terhormat sebagai lambang penghormatan, penerimaan, dan persaudaraan. Artinya, masyarakat Minang tidak mengunyah sirih secara rutin setiap hari, melainkan lebih pada momen-momen tertentu. Gambir dan kapur sirih di dalamnya memberi rasa sepat dan getir khas, sekaligus memperkuat simbolik kebersamaan yang terikat dalam adat Minangkabau.
Ngunyah Sirih dan Ngunyah Paan Masala sama sama Bergambir Berbeda Pola Konsumsi
Dalam tradisi Minangkabau, sirih dipandang sebagai simbol persaudaraan, penghormatan, dan keakraban. Sirih disuguhkan dalam carano sirih pada upacara adat, seperti pernikahan, musyawarah, atau penyambutan tamu penting. Gambir dan kapur sirih yang ditambahkan bukan hanya sekadar pelengkap rasa, tetapi juga mengandung makna bahwa hubungan sosial harus kokoh, saling melengkapi, dan memberi warna. Sirih di Minang dengan demikian bukan kebiasaan konsumsi harian, melainkan tanda ikatan sosial dan penghormatan dalam konteks budaya.
Berbeda halnya dengan di India, paan yang juga berbahan sirih justru menjadi produk konsumsi sehari-hari. Paan dipadukan dengan areca nut (biji pinang), gambir/katha, kapur, dan rempah-rempah, lalu berkembang menjadi industri komersial besar dalam bentuk paan masala. Di sana, paan lebih dekat pada fungsi rekreatif, bahkan adiktif, serta menjadi bagian dari gaya hidup urban maupun tradisional. Dengan kata lain, jika di Minangkabau sirih adalah bahasa simbolik adat, maka di India sirih menjelma sebagai produk budaya konsumsi massal.
Keunggulan lagi posisinya paan masala di India adalah konsumsi ganda. Di satu sisi, ia adalah produk komoditas massal yang didorong oleh konsumsi harian karena faktor kebiasaan, keterjangkauan, dan efek stimulan. Di sisi lain, ia mempertahankan status simbolisnya yang kuat sebagai bagian dari ritual budaya, perayaan, dan gestur keramahan dalam acara-acara khusus. Namun, dari perspektif pasar dan volume, pola konsumsi harian adalah tulang punggung utama industri paan masala di India.
Katha dari Gambir Bahan Esensial dalam Paan Masala
Dalam komposisi Paan Masala, katha memiliki peran penting. Bahan ini memberikan rasa sepat yang khas sekaligus memperkuat tekstur campuran. Katha tidak diperoleh langsung, melainkan dihasilkan melalui ekstraksi gambir. Proses ini membutuhkan ketelitian, karena kualitas gambir yang digunakan sangat memengaruhi mutu katha, dan pada akhirnya kualitas Paan Masala.
Secara teknis, untuk memproduksi 1 kilogram katha, diperlukan sekitar 1,5 kilogram gambir. Artinya, semakin besar industri Paan Masala tumbuh di India, semakin tinggi pula permintaan terhadap gambir sebagai bahan mentah. Hubungan ini menjadikan Paan Masala sebagai penyerap utama gambir dunia, meskipun tanaman gambir secara alami banyak tumbuh di luar India, termasuk Indonesia.
Komposisi Kimia Katha
Katha yang diproduksi dari gambir (Uncaria gambir Roxb.) merupakan hasil ekstraksi yang kaya akan senyawa polifenol, terutama kelompok flavonoid. Komponen kimia utamanya adalah katekin dan epikatekin yang secara keseluruhan dapat mencapai 50–60% dari bobot kering katha. Senyawa ini berperan penting dalam memberikan rasa sepat (astringent) yang khas, sekaligus memiliki aktivitas antioksidan tinggi. Selain katekin, katha juga mengandung tanin terkondensasi (proantosianidin) dalam kisaran 20–30% yang turut memperkuat rasa sepat serta menyumbang warna kecokelatan pada produk akhir. Kehadiran flavonoid minor seperti quercetin dan rutin dalam kadar 5–10% menambah kompleksitas sifat organoleptik sekaligus meningkatkan potensi bioaktivitas katha.
Di samping senyawa utama tersebut, katha dari gambir juga menyimpan resin, gula, pigmen alami, serta garam mineral dengan total proporsi sekitar 5–10%. Komposisi ini memberikan kontribusi pada tekstur dan kestabilan katha dalam campuran produk Paan Masala. Rasio kandungan kimia katha sangat dipengaruhi oleh kualitas gambir mentah, metode ekstraksi, serta teknik pemurnian yang digunakan. Kombinasi katekin, tanin, flavonoid, dan komponen minor ini menjadikan katha sebagai bahan khas yang tidak hanya berfungsi memperkuat rasa Paan Masala, tetapi juga menambah nilai kesehatan potensial meskipun penggunaannya sering dikaitkan dengan kontroversi kesehatan dalam konsumsi jangka panjang.
Komposisi Katha dalam Paan Masala
Komposisi Paan Masala bervariasi antar produsen, namun secara umum katha menempati porsi sekitar 10 persen dari total berat produk. Artinya, dalam setiap 1 ton Paan Masala, terdapat 100 kilogram katha yang harus tersedia. Mengingat katha berasal dari gambir, permintaan katha dalam skala besar otomatis berarti kebutuhan gambir dalam tonase yang jauh lebih besar.
Keterikatan ini menegaskan bahwa keberadaan Paan Masala tidak dapat dilepaskan dari pasokan gambir global. India mungkin memproduksi areca nut dalam jumlah besar, tetapi untuk memenuhi kebutuhan katha, negara ini harus bergantung pada suplai gambir dari produsen lain, termasuk Indonesia, yang selama ini dikenal sebagai salah satu pemasok utama dunia.
Estimasi Produksi Paan Masala India Tahun 2023
Berdasarkan estimasi, produksi Paan Masala di India pada tahun 2023 diperkirakan berkisar antara 0,78 juta ton hingga 3,19 juta ton produk jadi. Rentang ini muncul akibat variasi dalam asumsi konsumsi areca nut (pinang), komposisi bahan baku, serta perbedaan data resmi yang tersedia. Meski lebar, rentang ini tetap memberikan gambaran bahwa industri Paan Masala di India beroperasi dalam skala sangat masif.
Dengan proporsi katha sebesar 10 persen, maka kebutuhan katha India untuk industri Paan Masala tahun 2023 adalah sekitar 78 ribu ton hingga 319 ribu ton. Angka ini menempatkan katha sebagai salah satu bahan utama yang harus dipenuhi dalam rantai pasok Paan Masala.
Gambir ke Katha terus ke Paan Masala di India .
Seperti telah dijelaskan, 1 kilogram katha membutuhkan 1,5 kilogram gambir. Maka, untuk memenuhi kebutuhan 78 ribu – 319 ribu ton katha, India memerlukan sekitar 117 ribu ton hingga 479 ribu ton gambir. Rentang ini menggambarkan besarnya tekanan terhadap pasokan gambir global, terutama dari negara produsen utama.
Jika dilihat dari sisi perdagangan internasional, jumlah ini sangat signifikan. Mengingat Indonesia sebagai pemasok terbesar dunia memproduksi sekitar 80–90 persen gambir global, kebutuhan India terhadap gambir secara tidak langsung menjadi salah satu pendorong utama industri gambir Indonesia. Dengan kata lain, keberlanjutan industri gambir di Indonesia dan negara produsen lainnya sangat terkait dengan laju konsumsi Paan Masala di India.
India sebagai Pasar Utama Gambir Dunia
Kebutuhan gambir untuk industri Paan Masala menjadikan India sebagai pasar tujuan utama ekspor gambir dunia. Permintaan yang stabil bahkan meningkat setiap tahun membuat India menempati posisi sebagai importir dominan. Kondisi ini juga menciptakan hubungan ekonomi yang saling bergantung antara produsen gambir di Asia Tenggara dengan industri pangan kultural di India.
Ketergantungan India terhadap impor gambir menjadikan negara ini sensitif terhadap fluktuasi harga dan pasokan global. Bila terjadi penurunan produksi gambir akibat faktor iklim, kebijakan ekspor, atau pergeseran pola tanam di negara produsen, industri Paan Masala di India dapat terganggu. Hal ini memperlihatkan betapa eratnya keterkaitan antara tradisi pangan dengan dinamika perdagangan internasional.
Dampak Ekonomi bagi Produsen Gambir
Dari sisi negara produsen seperti Indonesia, kebutuhan besar India terhadap gambir dapat menjadi peluang sekaligus tantangan. Peluang muncul karena pasar ekspor hampir selalu tersedia, sementara tantangan timbul dari posisi tawar yang cenderung dikuasai importir. Harga gambir kerap ditentukan lebih oleh kondisi pasar India ketimbang oleh perhitungan biaya produksi petani di Indonesia.
Selain itu, karena posisi gambir lebih banyak digunakan sebagai bahan antara (intermediate goods) untuk produksi katha, nilai tambah sebagian besar masih dinikmati oleh industri pengolahan di India. Indonesia, meski sebagai produsen terbesar gambir, sering kali hanya mengekspor bahan mentah tanpa pengolahan lanjutan. Situasi ini menunjukkan perlunya strategi hilirisasi yang lebih serius.
Hilirisasi Gambir Indonesia untuk Paan Masala atau Melewati Kualifikasi Paan Masala.
Jika Indonesia mampu mengembangkan industri katha di dalam negeri, nilai tambah yang selama ini dinikmati industri India dapat dialihkan sebagian ke dalam negeri. Dengan memproduksi katha siap pakai, Indonesia tidak hanya mengekspor gambir mentah, tetapi juga produk setengah jadi yang memiliki nilai lebih tinggi. Langkah ini dapat meningkatkan pendapatan petani, memperkuat industri pengolahan lokal, sekaligus memperbesar devisa negara.
Hilirisasi gambir juga membuka peluang untuk mengurangi ketergantungan pada satu pasar, yaitu India. Produk katha dapat dipasarkan ke berbagai negara lain yang juga memiliki tradisi konsumsi Paan Masala atau produk turunan serupa. Selain itu, diversifikasi penggunaan gambir di luar industri Paan Masala — misalnya di bidang farmasi, kosmetik, atau penyamakan kulit — dapat menambah keberagaman pasar.
Dimensi Budaya dan Tantangan Kesehatan Paan Masala
Paan Masala bukan sekadar komoditas ekonomi, melainkan bagian dari budaya India yang kompleks. Namun, keberadaannya juga tidak lepas dari perdebatan terkait kesehatan. Beberapa studi menyebutkan konsumsi berlebihan Paan Masala dapat menimbulkan risiko kesehatan, termasuk kanker mulut akibat kandungan areca nut. Hal ini menimbulkan dilema antara pelestarian tradisi budaya dengan upaya menjaga kesehatan publik.
Tantangan kesehatan ini justru bisa membuka peluang bagi produsen gambir dan katha untuk mengembangkan varian produk yang lebih aman. Misalnya, Paan Masala tanpa nikotin atau tanpa zat adiktif tambahan, yang dapat dipasarkan sebagai alternatif lebih sehat. Dengan begitu, rantai pasok gambir tetap berlanjut sambil merespons tuntutan kesehatan masyarakat.
Gambir Diserap Paan Masala
Dari uraian di atas, jelas bahwa Paan Masala berperan sebagai penyerap utama gambir dunia. Hubungan antara keduanya bersifat struktural: tanpa katha, Paan Masala kehilangan salah satu elemen pentingnya, dan tanpa gambir, katha tidak mungkin tersedia. Dengan produksi Paan Masala India yang diperkirakan mencapai 0,78–3,19 juta ton pada 2023, kebutuhan gambir yang terserap mencapai 117–479 ribu ton.
Angka tersebut menjadikan Paan Masala bukan hanya tradisi budaya, tetapi juga mesin ekonomi global yang menggerakkan rantai pasok lintas negara. Bagi Indonesia, yang memproduksi sebagian besar gambir dunia, peluang untuk memanfaatkan posisi strategis ini terbuka lebar. Namun, tanpa strategi hilirisasi yang kuat, nilai tambah terbesar tetap akan mengalir ke India. Di titik inilah diperlukan visi kebijakan yang tidak hanya melihat gambir sebagai komoditas ekspor mentah, tetapi juga sebagai basis pengembangan industri nasional yang berdaya saing.
*Penulis: Prof. Ir. Yazid Bindar, M.Sc, Ph.D (Dosen dan Guru Besar pada Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung)