Publik kembali diguncang berita korupsi. Kali ini bukan pejabat kelas bawah, melainkan Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer disapa Noel, yang ditangkap KPK lewat operasi tangkap tangan pada 20 Agustus 2025. Noel diduga melakukan pemerasan terhadap perusahaan dalam urusan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Bukan hanya Noel, belasan orang lain ikut terjerat. Praktik ini bahkan disebut-sebut sudah berlangsung sejak 2019, sehingga bukan sekadar perbuatan spontan, melainkan sistem yang berjalan bertahun-tahun. Pada 22 Agustus 2025, Noel resmi ditahan KPK, mengenakan rompi oranye khas para tersangka korupsi.
Kasus ini tentu mengejutkan. Seorang wakil menteri yang seharusnya membantu presiden dan menteri dalam menjalankan roda pemerintahan, justru terjebak dalam praktik kotor yang merugikan masyarakat dan mencoreng citra pemerintah. Lebih dari sekadar kasus individu, peristiwa ini menimbulkan pertanyaan mendasar: bagaimana seseorang dengan rekam jejak yang kontroversial bisa menduduki jabatan tinggi, lalu akhirnya tersandung korupsi?
Menteri dan wakil menteri adalah pembantu presiden. Presiden memiliki hak prerogatif untuk menetapkan pembantunya tersebut. Berbahaya bagi pemerintahan jika presiden salah memilih orang.
Di sinilah pentingnya bicara soal kapasitas, integritas, dan rekam jejak pejabat publik. Jabatan wakil menteri bukan sekadar kursi politik, melainkan amanah besar untuk memastikan kebijakan berjalan demi kepentingan rakyat. Integritas tidak bisa ditawar.
Ia lahir dari rekam jejak panjang, dari konsistensi dalam sikap dan tindakan, bukan dari kedekatan politik. Kasus Noel memperlihatkan bahwa loyalitas politik kerap lebih diutamakan ketimbang kualitas personal. Inilah titik lemah yang berulang kali melahirkan pejabat rapuh secara moral.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) sebetulnya sudah memberikan rambu penting: proses pengambilan keputusan publik, termasuk soal penunjukan pejabat, seharusnya transparan dan bisa diakses masyarakat. Warga negara berhak tahu siapa yang dipilih, apa kriterianya, dan bagaimana rekam jejaknya.
Namun kenyataannya, proses penunjukan pejabat setingkat menteri maupun wakil menteri masih jauh dari keterbukaan. Publik hanya tahu nama ketika diumumkan, tidak ada kesempatan ikut mengawasi bagaimana proses seleksi berlangsung. Akibatnya, tidak ada filter publik terhadap orang-orang yang duduk di kursi strategis, padahal mereka mengelola kebijakan yang menyangkut hajat hidup banyak orang.
Dari sisi pencegahan korupsi, sebetulnya sangat masuk akal jika KPK dilibatkan dalam proses seleksi pejabat publik. KPK bisa melakukan screening rekam jejak calon, memastikan tidak ada catatan hitam atau potensi konflik kepentingan. Fungsi ini akan sangat membantu mencegah orang bermasalah masuk ke lingkaran kekuasaan.
Tentu saja, pelibatan KPK harus diatur jelas agar tidak menjadi alat politik. Mekanisme hukum bisa dibuat agar KPK sebatas melakukan verifikasi integritas, sementara keputusan akhir tetap ada di tangan presiden. Dengan begitu, keseimbangan antara hak prerogatif dan kebutuhan transparansi bisa terjaga.
Lebih jauh, kasus Noel mengingatkan kita pada penyakit lama politik Indonesia: patronase. Posisi strategis sering kali dibagi-bagikan kepada orang dekat, tim sukses, atau pihak yang dianggap berjasa dalam pemenangan.
Jabatan publik berubah menjadi semacam hadiah politik. Pola ini berbahaya karena pejabat yang lahir dari patronase cenderung loyal pada kelompoknya, bukan pada bangsa. Ketika integritas rapuh, kekuasaan mudah disalahgunakan. Dan ketika publik melihat pejabat terjerat korupsi, kepercayaan pada pemerintah pun runtuh.
Karena itu, penangkapan Noel tidak bisa dipandang sebelah mata. Ini adalah ujian besar sekaligus evaluasi penting bagi Kabinet Prabowo–Gibran. Pemerintahan baru ini masih dalam tahap awal, dan kasus besar seperti ini langsung menguji komitmen mereka pada integritas dan good governance.
Publik menuntut agar kabinet tidak sekadar menjadi ajang bagi-bagi kursi, melainkan wadah bagi orang-orang berkompeten dan bersih. Noel hanyalah satu kasus, tetapi ia bisa menjadi simbol bahwa sistem seleksi pejabat perlu diperbaiki secara serius.
Evaluasi besar ini penting bukan hanya untuk menyelamatkan citra pemerintah, tetapi juga untuk membangun kepercayaan masyarakat. Prabowo dan Gibran perlu memastikan bahwa pejabat yang dipilih benar-benar melalui proses yang terbuka, terukur, dan bisa dipertanggungjawabkan.
Transparansi dalam seleksi pejabat bukan sekadar jargon, melainkan kebutuhan nyata agar publik merasa dilibatkan. Selain itu, melibatkan KPK atau lembaga independen lain dalam verifikasi integritas bisa menjadi langkah preventif yang konkret.
Jika pemerintah berani mengambil langkah ini, maka kasus Noel bisa menjadi momentum positif: dari skandal yang memalukan menjadi titik balik reformasi birokrasi. Namun jika kasus ini hanya dianggap sebagai insiden biasa dan berlalu begitu saja, publik akan melihatnya sebagai tanda bahwa pemerintahan baru tidak berbeda dengan sebelumnya.
Kasus Noel adalah alarm keras. Ia mengingatkan bahwa jabatan tinggi tidak otomatis menjamin integritas. Ini juga memperlihatkan bahwa tanpa keterbukaan, patronase politik akan terus melahirkan pejabat bermasalah.
Bagi Kabinet Prabowo–Gibran, inilah saatnya membuktikan bahwa mereka serius membangun pemerintahan yang bersih. Transparansi, partisipasi publik, dan keberanian meninggalkan pola lama politik balas jasa adalah kunci. Jika tidak, kita hanya akan menunggu kasus korupsi berikutnya muncul dari lingkaran yang sama.
Musfi Yendra adalah Ketua Komisi Informasi Sumatera Barat