Pertama kali membaca Silent Spring, sebuah buku karya Rachel Carson, sugguh menghancurkan ego saya. Lebih dari tiga dekade, buku itu telah menjadi inspirasi bagi gerakan sosial dan lingkungan di dunia. Beruntung, saya terkena ‘racun’ buku ini 6 tahun setelah diterbitkan dalam versi Bahasa Indonesia, berjudul Musim Bunga Yang Bisu.
Carson sesunggunya adalah seorang ahli di bidang ilmu kelautan. Namun, Silent Spring telah membawa saya pada pemahaman bahwa apa yang ada di sekitar saya sangatlah berharga. Seperti kata Carson, tidak ada yang berdiri sendiri di alam ini.
Dia memulai kisahnya dari sebuah kota fiksi, dimana musim semi tidak lagi ditandai suara burung, dengung lebah, dan riang anak-anak. Bahkan, banyak orang yang sakit di musim itu. Ini semua akibat pestisida, termasuk zat-zat yang diduga karsinogenik. Carson secara cerdas mengkritik industri kimia Amerika dan regulasi federal terhadap bahan kimia beracun.
Hemat saya, Carson sesungguhnya dimotivasi oleh Revolusi Hijau. Revolusi ini mencapai puncaknya pada era 70 sampai 80an. Revolusi hijau berpandangan bahwa produksi pangan harus digenjot dari lumbung-lumbung pangan dunia, terutama negara berkembang seperti Indonesia. Intinya, revolusi hijau menyodorkan teknologi dan metode terbaru dalam mempercepat dan memperbesar produksi pertanian.
Sesungguhnya saya kurang percaya dengan teori ini. Bagi saya, Revolusi Hijau bukan untuk menggenjot produksi pangan, tapi membuat ketergantungan negera-negara dunia ketiga pada negara-negara maju. Ini semacam polesan atas narasi penjajahan ekonomi dengan sedikit etika.
Di Indonesia sendiri, revolusi hijau berkembang melalui Program Bimas (Bimbingan Masal) di era Orde Baru. Saya harus jujur, melalui program ini, Indonesia mencapai swasembada pangan pada 1984.
Namun revolusi hijau juga berdampak atas kehidupan petani. Mereka menjadi sangat tergantung dengan pupuk, pestisida dan benih produk industri. Miskin hara melanda lahan-lahan petani, benih lokal tak lagi diperhatikan, keragaman hayati mengalami kemerosotan genetik. Praktik revolusi hijau di seluruh dunia juga mengakibatkan degradasi pengetahuan lokal dan praktik bertani tradisional. Secara umum, pertanian telah menjadi industri yang memiskinkan petani lahir dan batin.
Celakanya, pada saat membaca buku itu, saya sedang kuliah pada sebuah perguruan tinggi, di fakultas pertanian tepatnya. Carson sungguh membolak balik pikiran saya. Ketika di kampus saya belajar tentang bahan-bahan aktif yang dikandung pestisida, bersama Carson justru saya berguru tentang bagaimana pestisida menghancurkan lingkungan.
Dilema itu menavigasi saya ke luar kampus. Saya berkelana di banyak pedesaan, mempertemukan saya dengan para petani yang hidup susah, miskin dan bayak dari mereka seperti pasrah pada nasib. Di beberapa tempat, bahkan petani telah kehilangan sumber agraria yang paling vital, tanah.
Jujur saja, anak-anak petani jarang yang bercita-cita menjadi petani. Sebagian anak-anak yang dibesarkan dari tanah, justru beralih menjadi pekerja di kota-kota dan semakin menjauhkan mereka dengan tanahnya sendiri.
Masyarakat perkotaan sudah benar-benar berjarak dari sumber daya alamnya. Dari sebutir beras, saya lantas belajar bagaimana sistem pangan bekerja. Beras yang dihasilkan petani dari sawahnya mengalami perjalanan yang sangat jauh hingga mereka dapat dicerna dalam sistem pencernaan manusia.
Kita mulai dari benih. Kendati masih ada petani yang mengandalkan benih lokal, namun kebanyakan kini, benih berasal dari industri perbenihan. Benih harus ditanam dalam media yang sesuai jika petani menginginkan panen yang berlimpah. Untuk proses budidaya, petani harus mengeluarkan modal yang cukup untuk beli benih, beli pupuk, sewa traktor dan seterusnya.
Setelah proses tanam dan panen, padi harus dibawa ke penggilingan. Di sini, petani harus rela mengeluarkan biaya tambahan jika ingin memproses padi menjadi beras. Tidak banyak pilihan lain, ketika kincir-kincir penumbuk padi sudah kekurangan air untuk memutar turbin. Di beberapa tempat, air bahkan menjadi barang langka karena harus mengalah pada hancurnya sumber-sumber air di dalam hutan.
Pengumpul beras dan gudang beras menjadi tujuan berikutnya. Seterusnya, beras didistribusikan sampai ke pasar-pasar dan pengecer, atau bahkan diekspor. Dalam proses ini, sistem budidaya pertanian berkelindan dengan banyak sistem semisal tranportasi dan perbankan, dan banyak lagi yang lain. Di sini, petani mungkin tak lagi berperan. Namun proses ini tentulah bukan tanpa biaya.
Dari segenggam beras yang ditanak di dapur-dapur rumahan maupun restoran, membuktikan padi telah mengalami perjalanan sangat panjang. Tapi sebagian kita justru bangga menyisakan makanan, bahkan menjadikannya sampah untuk dibuang. Dalam pandangan agama yang saya anut, hal ini tentulah perbuatan sia-sia. Kalau boleh saya menyadur bebas salah satu hadist sahih, Nabi Muhammad menyebut bahwa kita tidak tahu bagian makanan yang mana yang mendatangkan keberkahan.
Ucapan nabi menjadi masuk akal dalam pandangan kontemporer saya. Sekaligus memberikan basis argumentasi yang kuat bagi keresahan Carson. Pada akhirnya, Silent Spring menjawab segala paradok yang berkembang di kepala saya selama ini. Kritik Carson terhadap industri wajar menjadi inspirasi gerakan sosial.
Pertanyaannya, bagaimana Indonesia dapat menjawab keresahan Carson mengenai revolusi hijau? Apakah dengan memperluas penguasaan nagera terhadap lahan-lahan yang masih menganggur? Apakah lewat program-program mercusuar yang sarat korupsi? Pengembangan kawasan pangan terpadu? Atau justru dengan meluncurkan berbagai inisiatif yang menyasar ketangguhan petani?
Bagi saya, pertanyaan terkahir sangat mengusik. Karenanya, negara secara strategis mesti memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi petani untuk memahami lagi konteks keberadaan mereka dalam kehidupan bernegara. Berikut, penting mengangkat derajat mereka secara tulus tanpa muslihat. Seterusnya, perlu pula mendorong kreasi budidaya pertanian dengan menempatkan mereka sebagai penentu keputusan.
Saya paham, bahwa dunia industri pertanian tentulah masih dipengaruhi pemikiran untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya. Bahkan bila perlu menyulap sistem pertanian menjadi mesin uang yang hanya akan menguntungkan sebagian kecil pemilik modal. Pun, sistem pertanian memiliki dinamika yang rumit dan kompleks. Dalam situasi hari ini, petani sudah kadung menjadi budak industri, mereka telah dihisap sedalam-dalamnya. Itu tidak adil, sehingga negara perlu meregulasi pilihan-pilihan sulit ini.
Sistem pertanian selaras alam menjadi pilihan yang bijak dalam konteks ini. Racun yang selama ini menggerogoti sistem pertanian sudah saatnya diganti dengan kontrol alami. Di beberapa tempat, saya menyaksikan sendiri bagaimana petani mengelola kontrol biologis atas apa yang kita namakan dengan hama. Alih-alih menggunakan racun kimia, petani memanfaatkan serangga pemangsa, mikroba atau mekanisme tak merusak lainnya.
Namun semua itu belum cukup. Pendidikan bagi petani harus disegerakan, fasilitasi mereka agar segera bangkit dari lumpur kebodohan. Di saat yang sama, publik juga harus segera disadarkan bahwa setumpuk makanan yang mereka santap merupakan segunung harapan bagi petani. Negara sungguh berperan dalam melahirkan aturan yang cermat, bukan aturan laknat.
“Ketika diasumsikan bahwa alam ada demi kenyamanan manusia, maka ‘menguasai alam’ adalah sebuah ungkapan yang lahir dari kesombongan,” kata Carson. Tapi Saya percaya, kaum tani tidak sepongah itu. Justru mereka jujur dan memperlakukan lahan dan tanaman sepenuh hati.
Silent Spring sudah lama saya tinggalkan, dia tak lagi saya temukan di kardus-kardus buku di rumah kami. Tapi setidaknya, Carson yang saya pahami menyasar sebuah sistem ekologi yang berkelanjutan. Dimana alam saling terkait, di mana model pertanian yang lantam itu harus terkendali.
**
Keude Rundeng, 18 Agustus 2025