Kekayaan budaya Nusantara tak pernah kering dari mutiara-mutiara kebijaksanaan yang terukir dalam bahasa. Di ranah Minangkabau, setiap ungkapan bukan sekadar rangkaian kata, melainkan cerminan filosofi hidup yang mendalam. Salah satunya adalah kiasan yang begitu menusuk relung hati dan nurani, berbunyi: “Ciek lai pasan dari Anau: Lah Sanang Hijuak Jadi Tali, Sayang jo tunggua lupo sajo.” Kiasan ini juga didendangkan pada Saluang. Secara harfiah, kiasan ini bermakna, “Sudah senang Ijuk menjadi Tali (yang lebih berguna), tapi sayang dia lupa dengan asalnya yaitu tunggul (pokok akar) yang membuat dia menjadi Ijuk.” Kiasan ini adalah sebuah peringatan keras, sebuah teguran moral yang melintasi zaman, ditujukan kepada siapa pun yang mencapai puncak kesuksesan namun melupakan akarnya, melupakan asal-usulnya, dan melupakan jasa-jasa mereka yang telah berjasa membawanya ke posisi sekarang.
Kiasan ini adalah metafora yang brilian dan elegan, menangkap esensi dari sifat dasar manusia yang rentan terhadap amnesia sosial setelah mencapai kemakmuran. Pohon enau, atau “anau,” adalah sumber daya alam yang luar biasa. Ijuk yang berasal darinya, serat hitam kasar yang melindungi tubuh pohon, pada awalnya mungkin dipandang remeh. Namun, ketika serat-serat itu diproses, dianyam, dan diolah, ia bertransformasi menjadi “tali”—sebuah benda yang jauh lebih berguna, memiliki nilai ekonomi yang tinggi, dan memiliki fungsi vital dalam kehidupan sehari-hari, seperti mengikat, menarik, atau menahan. Transformasi ini adalah simbol dari perjalanan karier atau hidup seseorang—dari seorang yang biasa, mungkin miskin atau tidak berdaya, menjadi seorang yang terhormat, kaya, atau berkuasa. Ijuk menjadi Tali adalah simbol kesuksesan, peningkatan derajat, dan pencapaian status yang lebih tinggi.
Simfoni Kehidupan dan Rasa Syukur yang Hilang
Namun, di balik keindahan dan kekuatan tali yang baru itu, tersembunyi ironi yang menyakitkan: ia melupakan tunggul—pokok batang atau pangkal pohon tempat ijuk itu pertama kali tumbuh. Tunggul adalah representasi dari asal-usul, kampung halaman, orang tua, guru, mentor, sahabat lama, komunitas, atau bahkan nilai-nilai luhur dan budaya yang membentuk karakter seseorang di masa-masa awal perjuangannya. Tunggul adalah fondasi yang kokoh, sumber daya mentah yang memungkinkan ijuk itu ada. Tanpa tunggul, tak akan pernah ada ijuk. Tanpa ijuk, tak akan pernah ada tali.
Inilah inti dari teguran moral Minangkabau tersebut: ketika seseorang “sudah menjadi tali,” mereka mulai merasa bahwa nilai dan keberhargaan mereka sepenuhnya berasal dari diri mereka sendiri saat ini, dan bahwa masa lalu mereka—termasuk segala perjuangan dan bantuan dari “tunggul”—menjadi tidak relevan atau bahkan memalukan. Rasa syukur yang seharusnya menjadi pondasi moralitas mereka, perlahan-lahan mengering dan digantikan oleh kesombongan dan keangkuhan. Mereka mulai menjauh dari kampung halaman, mengubah cara bicara, atau bahkan memandang rendah orang-orang yang dulu setara dengannya.
Anak Rantau, Pelaku Bisnis, dan Politisi: Sebuah Cerminan Universal
Kiasan ini menemukan resonansi yang kuat dalam konteks anak rantau di Minangkabau, dan tentu saja, di seluruh dunia. Seorang anak muda yang merantau ke kota besar dengan bekal seadanya, berjuang keras dengan dukungan doa dan materi dari keluarga di kampung. Setelah berhasil meraih gelar tinggi, menduduki jabatan penting, atau mendirikan bisnis yang sukses, ia menjadi “tali” yang kuat. Sayangnya, tidak sedikit yang kemudian enggan kembali ke kampung, merasa malu dengan kesederhanaan orang tua, atau bahkan sulit dihubungi ketika keluarga di kampung membutuhkan bantuan. Mereka telah memutus benang ingatan ke tunggulnya.
Dalam dunia profesional dan bisnis, “tunggul” bisa berupa ide awal, investor pertama yang percaya, atau karyawan-karyawan awal yang setia berjuang dari nol. Ketika perusahaan mencapai status raksasa, para pemimpin yang “menjadi tali” terkadang melupakan prinsip-prinsip awal, mengabaikan kesejahteraan karyawan lama, atau mengkhianati visi yang mereka pegang saat mereka masih berupa “ijuk” yang rapuh. Mereka fokus pada kemewahan dan citra diri, melupakan kerja keras kolektif yang menjadi bahan baku kesuksesan mereka.
Ancaman terhadap Identitas dan Nilai-Nilai Luhur
Fenomena “melupakan tunggul” ini bukan hanya masalah etika personal, melainkan juga ancaman terhadap identitas kolektif dan kelangsungan nilai-nilai luhur. Masyarakat Minangkabau, seperti banyak suku lain di Indonesia, sangat menjunjung tinggi kekeluargaan, gotong royong, dan tenggang rasa. Kiasan ini berfungsi sebagai penjaga gerbang moral agar nilai-nilai ini tidak tergerus oleh individualisme dan materialisme yang dibawa oleh kesuksesan.
Ketika seorang individu yang sukses (Tali) melupakan komunitasnya (Tunggul), aliran timbal balik yang penting dalam masyarakat menjadi terputus. Seharusnya, “tali” yang kuat dan bernilai itu kembali mengikat dan memperkuat “tunggul,” memberikan kontribusi, dan memberdayakan komunitas asalnya. Ketika mereka lupa, komunitas akan kehilangan panutan, kehilangan sumber daya, dan yang lebih parah, kehilangan kepercayaan pada nilai-nilai yang mengajarkan mereka untuk mendukung sesama hingga sukses. Hal ini menciptakan keretakan sosial dan memupuk budaya aji mumpung dan individualistis.
Mengikat Jasa, Menghormati Masa Lalu
Pesan moral dari kiasan ini sangat jelas: Ingatlah dari mana Anda berasal. Kesuksesan bukanlah sebuah entitas yang berdiri sendiri tanpa konteks sejarah. Ia adalah hasil dari proses panjang yang melibatkan dukungan moral, materi, dan spiritual dari banyak pihak. Seorang yang bijaksana dan beretika sejati tidak akan pernah merasa malu dengan tunggulnya, tidak akan pernah memandang rendah masa lalunya, betapa pun sederhananya ia.
Menghormati “tunggul” adalah bentuk pengakuan atas hukum sebab-akibat dalam kehidupan. Ini adalah cara untuk memastikan bahwa nilai-nilai seperti rasa syukur, kerendahan hati, dan pengabdian tetap berakar kuat, bahkan di tengah gemerlapnya pencapaian. Ketika ijuk menjadi tali, ia harus menggunakan kekuatannya untuk membangun kembali dan mengangkat tunggulnya, bukan meninggalkannya dalam kehampaan.
Tali yang Kuat Adalah Tali yang Tahu Akarnya
Kesuksesan yang otentik dan berkelanjutan hanya dapat dicapai ketika seseorang memiliki integritas moral yang selaras dengan keberhasilannya. Sebuah “tali” yang benar-benar kuat, kokoh, dan berumur panjang adalah tali yang selalu ingat bahwa ia berasal dari serat ijuk yang sederhana, yang tumbuh dari tunggul yang keras. Ingatan ini adalah penawar racun kesombongan.
Apabila kita mengaplikasikan kiasan ini dalam konteks berbangsa, “tunggul” kita adalah para pendiri bangsa, nilai-nilai Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika. “Tali” adalah generasi penerus, para pemimpin dan profesional yang memegang kendali negara hari ini. Jika kita, sebagai generasi penerus, melupakan jasa para pahlawan, mengkhianati nilai-nilai dasar, dan hanya mengejar kepentingan pribadi, kita adalah “tali” yang melupakan “tunggul”—sebuah pengkhianatan yang akan merapuhkan fondasi negara itu sendiri.
Warisan Abadi Kebaikan: Kembali kepada Tunggul
Maka, pesan dari kiasan Minang ini adalah sebuah panggilan untuk refleksi diri secara terus-menerus. Setiap kali kita merasa diri kita lebih unggul, lebih penting, atau lebih berhak, kita harus mengingat kembali kesederhanaan tunggul. Sudahkah kita berterima kasih? Sudahkah kita membalas budi? Sudahkah kita menggunakan kekuatan “tali” kita untuk memperkuat “tunggul” kita, baik itu orang tua, kampung halaman, sekolah, atau komunitas?
Keputusan untuk kembali kepada “tunggul” bukanlah tanda kemunduran, melainkan bukti kedewasaan dan kebesaran jiwa. Menggunakan kesuksesan sebagai alat untuk mengangkat dan menghormati asal-usul adalah warisan abadi yang jauh lebih berharga daripada kekayaan atau status duniawi. Hanya dengan demikianlah, “tali” akan menjadi simbol yang utuh: kuat dan berguna, namun tetap berakar dan rendah hati. Sebuah pesan dari enau, yang menuntut kita untuk selalu menjaga simfoni antara kesuksesan hari ini dan jasa masa lalu.
*Penulis: Yazid Bindar (Dosen dan Guru Besar pada Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung)




