Koreografer asal Pariaman Refleksikan Arti Rumah Lewat Pertunjukan

Koreografer asal Pariaman Refleksikan Arti Rumah Lewat Pertunjukan

Foto: Dani Martin for Langgam

Langgam.id - Oi guruah sampaian pasan, baju baguntiang tak bajaik, talotak apo ka gunonyo lai (Meratap ke langit meminta kepada guruh untuk menyampaikan pesan, apa gunanya kain telah dipotong namun tidak dijahit). Sebait imbauan Sijobang (tradisi lisan Minangkabau) ini dilantunkan Siska Aprisia secara lirih di atas panggung GoetheHaus Jakarta, Minggu malam (27/7/2025).

Samar-samar, suara ombak, deru angin, roda koper, knalpot kendaraan hingga deru trem, mengisi ruang pertunjukan. Suasana itu membuka pertunjukan Body Migration – I Do(n’t) Want, karya tari kolaborasi Siska Aprisia dan komponis Jay Afrisando. Karya ini merupakan hasil residensi Siska di Jerman dalam program REFLEKT bersama TanzFaktur 2024, yang digagas Goethe-Institut Indonesia. Body Migration pertama kali ditampilkan di Koln, Jerman, pada 22 November 2024.

Pada babak awal, Siska menjunjung bambu hijau sepanjang dua meter sembari melantunkan imbauan Minangkabau. Bambu itu diangkat dari bawah hingga ke atas panggung, menciptakan kesan harapan yang lambat laun berubah menjadi beban yang dipikul seorang perantau meninggalkan kampung halamannya.

Penampilan Siska dalam balutan dress merah mencolok, berpadu dengan sorotan lampu yang membuat fokus penonton tertuju padanya. Gerakan mendayung perlahan diperagakan Siska dengan ekspresi wajah tegang, diiringi gema suara ombak yang semakin keras, hingga akhirnya tubuhnya roboh di panggung.

Cahaya di panggung meredup. Siska mengambil sarawa galembong (celana silat Minangkabau) berwarna hitam dan menyarungkannya ke kepala, menutupi sebagian tubuhnya. Gerakan ini menggambarkan kebingungan arah seorang perantau di tanah orang, tak mampu melihat jalan pulang.

Pertunjukan berlanjut dengan interaksi penonton melemparkan koin ke arah Siska, disusul adegan mengecat rambut dan tubuhnya. Bagian ini menggambarkan pergulatan identitas, tentang bagaimana seorang perantau kadang harus “menjadi orang lain” agar diterima di lingkungan baru, meski bertentangan dengan dirinya sendiri.

Nuansa silat tradisi Ulu Ambek, asal Pariaman, kental terasa dalam gerakan tubuh Siska. Gerakan kuda-kuda hingga jatuhan tubuh menjadi dasar ketubuhannya sebagai penari dan koreografer. “Ulu Ambek adalah fondasi tubuh saya,” ungkap Siska.

Hal menarik lainnya dalam pertunjukan ini adalah penggunaan sound caption di layar panggung, yang menampilkan narasi suara secara visual — pendekatan yang jarang ditemukan dalam karya tari umumnya.

Setelah pertunjukan, diskusi digelar dengan menghadirkan Esha Tegar Putra (sastrawan-penyair Minangkabau), Siska Aprisia, Jay Afrisando, dan dimoderatori oleh Kennya Rinonce dari Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).

Siska menjelaskan, karya ini lahir dari pengamatannya terhadap tubuh-tubuh yang berpindah lintas ras, suku, dan warna kulit — termasuk dirinya sendiri. “Awalnya saya membawa gagasan tubuh perantau Minangkabau, namun saat di Jerman, saya kesulitan menemukan perantau asal Minangkabau atau Indonesia. Dari situ, saya memperluas tema menjadi migrasi tubuh secara global,” jelas Siska.

Ia mengumpulkan kisah-kisah pekerja migran dari berbagai negara dan meramunya dalam karya tari tersebut. “Body Migration – I Do(n’t) Want mengajak kita mendengarkan suara dan tubuh kenangan-kenangan yang berpindah, perasaan yang mencoba pulang, dan interpretasi-interpretasi lainnya,” imbuhnya.

Siska menambahkan, pertunjukan di GoetheHaus mengalami perkembangan dibanding penampilan perdana di Jerman. “Saat di Jerman, bagian melempar koin belum ada. Di Jakarta, saya tambahkan karena menjadi bagian dari pertumbuhan karya. Penonton boleh menafsirkan bagian ini sesuai sudut pandangnya sendiri,” katanya.

Sementara Jay Afrisando memaparkan, ia mencoba menghadirkan bunyi yang tidak hanya didengar, tetapi juga dilihat dan dirasakan dari berbagai perspektif. “Ketika membayangkan laut di awal pertunjukan, saya membangun suasana tak hanya dari deburan ombak, tetapi juga suara kapal, angin, dan lainnya,” tutur Jay.

Penggunaan Saluang (alat musik tiup khas Minangkabau) dalam karya ini turut memperkuat rasa rindu perantau pada kampung halaman. “Saluang saya mainkan dengan konteks tubuh yang bergerak, menciptakan kesan dualisme antara ingin pulang dan terus bergerak di rantau,” jelasnya.

Esha Tegar Putra menilai Siska Aprisia adalah salah satu koreografer perempuan Minangkabau yang menonjol dalam beberapa tahun terakhir. “Siska memiliki dasar silat yang kuat dan kemampuan melantunkan dendang yang membedakannya dari koreografer Minang lainnya,” katanya.

Namun Esha juga mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam menafsirkan ulang tradisi. “Jika tidak hati-hati, Siska bisa terjebak menjadi epigon koreografer sebelumnya. Tapi saya melihat dia berhasil menemukan sesuatu yang baru, misalnya penggunaan galembong yang disulap menjadi properti koreografi yang menarik,” pungkasnya. (*/Yh)

Baca Juga

Rawat Budaya Lewat Sedekah Bumi
Rawat Budaya Lewat Sedekah Bumi
Muhammad Nasir
Pelajaran dari SAB: dari Raja Alam ke Pinggiran Kekuasaan
Etos Jalanan dan Ekonomi Tikungan
Etos Jalanan dan Ekonomi Tikungan
Opini “Bersyukur Masih Nomor Dua” oleh Gamawan Fauzi (Gubernur Sumatera Barat Periode 2005-2009), mengangkat isu tentang capaian pendidikan
Refleksi Kritis Pendidikan di Minangkabau
Pemenang sayembara novel DKJ, Yoga Zen terbitkan novel berjudul Tersesat Setelah Terlahir Kembali. tentang tradisi buru babi di Minangkabau.
Pemenang Sayembara Novel DKJ Yoga Zen Terbitkan Novel Tentang Tradisi Buru Babi di Minangkabau
Nagari adalah pembagian wilayah administratif, namun secara mendalam dapat diartikan sebagai institusi pemerintahan tradisional yang menjadi
Jejak Nagari: Evolusi Adat Minangkabau dalam Lanskap Kolonial