Kontrak Sosial Negara Digital

Kontrak Sosial Negara Digital

Dr. Abdullah Khusairi, MA (Foto: Dok. Pribadi)

Pernyataan Maestro Musik Indonesia, Indra Lesmana dalam rapat tentang royalti di Gedung DPR RI hendaknya membuka mata dan kesadaran pemangku kebijakan secara keseluruhan. Kehidupan digital sudah menjadi kemestian dan telah berlangsung di tengah masyarakat, sementara masih begitu banyak system dan pola pikir para pemangku kebijakan dengan pola analog; satu arah dan interventive serta merasa benar tengah zaman yang telah membuatnya tidak relevan. Negara masih berpikir dengan pola analog, sementara warganya sudah hidup di dunia digital. Kontrak social negara digital baru diperlukan agar negara tak terus jadi objek cibiran.

"Saat ini di Indonesia masih menggunakan blanket license. Blanket license ini diciptakan tahun 1917. Sudah 100 tahun lebih. Saat itu mungkin tidak bisa mendapatkan data yang akurat, tidak ada internet. Jumlah lagu juga tidak sebanyak seperti sekarang. Sekarang, ada 120 ribu lagu yang dirilis setiap hari di dunia. Bagaimana blanket license bisa secara akurat mendapatkan data semua itu. Tidak mungkin. Sementara kita sudah punya aplikasi, bahkan di HP kita ada secara gratis kita bisa tahu itu lagu apa yang diputar," kata Indra Lesmana.

Sekarang, coba pernyataan itu kita alihkan ke persoalan-persoalan di luar kasus royalti. Misal, sector pendidikan, system belajar dari para pengajar --- baik dosen maupun guru --- dengan system masih disusun dengan logika abad ke-20: hafalan, satu arah, seragam. Padahal di ruang digital, siswa dan mahasiswa sudah terbiasa belajar dari YouTube, TikTok, SnackVideo, Reels, ShortVideo, ChatGPT berbasis artificial intellegencia. Kebijakan pendidikan masih menggunakan “blanket license” versi pendidikan, satu kurikulum untuk semua, tanpa mampu memanfaatkan real-time data tentang minat, gaya belajar, dan kemampuan anak. Serta hal-hal baru belum bisa diterima sebelum aturan diubah. Sementara, mengubah peraturan perlu proses panjang.

Begitu juga di sektor kesehatan. Kita sudah punya potensi big data kesehatan dari aplikasi BPJS Kesehatan, rekam medis digital, hingga startup healthtech. Tapi birokrasi masih berpikir analog: formulir kertas, antrean panjang, laporan manual, layanan masih buruk. Padahal, dengan AI dan machine learning, pola penyakit, kebutuhan obat, hingga prediksi epidemi bisa dihitung secara presisi. Dampak membiarkan system analog dipertahankan, negara kehilangan peluang untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa. Sistem itu dipertahankan dengan banyak kepentingan, sebagai status quo hingga tiba waktunya mulai ditinggalkan dan tidak relevan.

Di dunia politik, polanya juga tidak berbeda. Pemilu sudah berlangsung dalam atmosfer digital—isu ditentukan oleh trending topic, framing di Instagram, atau short video di TikTok. Namun, pola komunikasi elite masih analog: pidato panjang, baliho, atau debat formal yang tidak nyambung dengan dinamika wacana digital. Sungguh masih banyak lagi contoh-contoh lain, tanpa mengabaikan yang sudah melakukan digitalitasasi. Sungguhpun begitu, yang sudah masuk ke gerakan digitalisasi juga menemukan masalah ketika ketidaksiapan pengelolaan sehingga bukannya menambah kebaikan justru sebaliknya, latah dan lebai. Misal, setiap kali ada transaksi harus melakukan download aplikasi. Aplikasi sekali pakai, bukan permanen. Bahkan ada aplikasi presensi yang terus sering bermasalah dibandingkan presensi layanan di sosial media. Sungguh, banyak lembaga negara membutuhkan pembenahan soal ini.

Usul, ada baiknya ada aplikasi negara-pemerintah, satu aplikasi sebagaimana google membangun yang membuat semua tersedia dan ada. Seperti aplikasi layanan lapak-lapak (market place) yang serba memberi kemudahan. Bukan sebaliknya, banyak aplikasi dan parsial tetapi membuat ribet dan menjauhkan kemudahan. Cerita Alvin Lie, pengalaman ketika masuk ke negara sendiri, antri satu jam lebih karena aplikasi yang ribet, memperlihatkan gagap dan gagalnya system.

Kelambanan mengikuti perkembangan teknologi informasi membuat negara bisa kehilangan otoritas narasi, dan publik lebih percaya pada meme netizen ketimbang juru bicara resmi. Intinya, blanket license ala 1917 masih bercokol di banyak sektor kehidupan. Negara terjebak dalam logika “mengontrol” yang satu arah, padahal masyarakat sudah hidup dalam ekosistem digital yang interaktif, real-time, dan berbasis data presisi. Inilah jurang antara pola pikir analog pemangku kebijakan dan realitas digital masyarakat.

Ruang publik utama ada di layar ponsel. pakah negara siap membangun “kontrak sosial baru” berbasis digital, atau justru membiarkan ruang itu dikuasai algoritma dan netizen? Merujuk teori mediatization of politics (Hjarvard, 2013; Esser, 2014) menjelaskan, politik modern tunduk pada logika media. Media awalnya sebagai perantara kini telah aktor yang mengatur tempo, gaya, bahkan isi politik. Politik hari ini bagaimana ia dipentaskan dan diviralkan. Dalam bingkai ini, negara ini masih terengah-engah membangun negeri ke media digital.

Angka-angka survei terus menanjak, generasi muda adalah penggerak utama ruang digital. Survei APJII (2025) mencatat, pengguna internet didominasi Gen Z (25,54%), milenial (25,17%), dan Gen Alpha (23,19%). Sementara Katadata Insight (2024) menunjukkan Gen Z mengakses politik lewat Instagram (68,2%) dan TikTok (39,2%), sedangkan milenial condong ke Instagram (64,1%) dan Facebook (47,3%). Di tengah kondisi itu, negara cum pemerintah, kerap gagal tampil elegant dan sering tergelincir ke wacana negative. Jangankan untuk membangun kedigdayaan, membangun nasionalisme saja terengah-engah. Kasus bendera one peace, adalah contohnya.

Teori Mediatization (Hepp, 2019) menyebutkan, media sudah menjadi struktur sosial yang menyerap kehidupan sehari-hari. Politik tak bisa lari dari algoritma. Viralnya sebuah isu lebih menentukan dari bobot argumentasi. Fenomena ini, hasil riset menyebutkan, politik bergeser dari program ke gestur, potongan video, dan kesan emosional. Demokrasi, dalam konteks ini, berubah menjadi arena performance politics. Bukan kualitas leadership dan program. Agaknya, ini perlu dibereskan melalui literasi digital yang massif.

Kelemahan negara paling nyata terlihat dalam analisis wacana digital. Netizen yang terfragmentasi justru lebih kuat membentuk arus wacana ketimbang institusi resmi. Percakapan politik di media social bernuansa negatif—kritik, ejekan, bahkan hoaks lebih dominan dari wacana positif dan pride. Di sini, negara tampak lemah sebagai produsen utama wacana, lebih sebagai objek cibiran. Akibatnya, peta jalan komunikasi publik bergeser dari substansi kebijakan menuju arus sinisme kolektif.

Kondisi ini menjelaskan paradoks di tengah ambisi membangun negara, citra kepemimpinan justru dibentuk oleh netizen. Negara gagal membangun “bangga bersama”, sementara ruang digital dipenuhi ironi dan ketidakpercayaan. Dalam analisis wacana kritis, ini disebut “hegemoni balik”—di mana wacana publik didominasi kelompok non-negara yang lebih cepat, lebih adaptif, dan lebih memikat dibanding institusi resmi. Belajarlah dari negara lain, seperti Estonia dan Korea Selatan yang berhasil membangun negara bukan hanya dengan infrastruktur, tetapi dengan e-government, keterbukaan data, dan partisipasi publik. Bedanya, di Indonesia, digitalisasi sering berhenti di slogan. Katanya menghadirkan layanan publik efisien, negara sering kalah cepat dibanding kreativitas netizen yang membongkar, mengkritik, bahkan mempermalukan kebijakan.

Harus disadari oleh pemerintah, kapital digital menjadi pemain penting. Platform global seperti TikTok, Meta, atau Google memiliki kekuatan lebih besar dari regulasi nasional. Hepp menyebut ini sebagai infrastructural power of media. Di Indonesia, terlihat jelas, satu trending hashtag mampu menggeser agenda politik nasional. Jika negara lemah mengatur platform, kontrak sosial digital berisiko dikuasai korporasi global dan sentimen sesaat netizen. Salah satu contohnya, no viral no justice, bisa menelanjangi kinerja lembaga-lembaga yang melempem dan lemahnya leadership. Belum lagi kalau dibahas soal kebocoran data, hingga data palsu.

Berangkat dari persoalan ini, perlu memformulasi kontrak social negara digital, merujuk teori kontrak social yang dikemukakan, Thomas Hobbes (1588–1679), Leviathan (1651), John Locke (1632–1704), Jean-Jacques Rousseau (1712–1778) dan Immanuel Kant (1724–1804). Kehadiran negara sebagai sebuah kontrak social perlu diperbaharui, kehadiran media digital sebagai ruang baru, yang butuh kehadiran negara yang kini masih belum tidak cukup dan kerap gagal. Negara perlu membangun kekuatan digital, yang tentunya jauh dari system yang represif, bersifat demokratisasi di ruang digital. Membangun kebanggaan bernegara, nasionalism, lewat media digital melalui strategi yang tepat, dengan kekuatan narasi yang elegant. Tidak lebay dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat digital. Kasus film kartun itu contoh narasi yang gagal ketika kualitas tidak sebanding dana yang dikeluarkan.

Kontrak sosial negara digital dimaksud, membangun kesepakatan antara negara-warga untuk menjadikan digital sebagai alat demokrasi yang secara total membangun literasi digital, perlindungan data, pemerataan akses, dan komunikasi publik kredibel. Hal ini bisa membuat para pemimpin tidak lagi menjadi konten sinisme di ruang publik. Tugas itulah mesti diambil, diemban, dikerjakan pemerintah hari ini, membangun infrastruktur, membangun kepercayaan, agar ruang digital menjadi tempat berbangga, bukan sekadar tempat mencibir. Semua itu dikembalikan, siapa yang punya kualitas seperti itu di negeri ini.

*Penulis: Dr. Abdullah Khusairi, MA (Dosen Fakultas Dakwan dan Ilmu Komunikasi UIN Imam Bonjol Padang)

Tag:

Baca Juga

Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Alarm Integritas: Pelajaran dari OTT Immanuel Ebenezer
Gaya Hidup New Normal
Noel: Krisis Transparansi Seleksi Pejabat
Panggung Politik Berdinamika Drama Berbungkus Dosa
Panggung Politik Berdinamika Drama Berbungkus Dosa
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Mengapa Sebuah PMK Berani Menantang UU?
Memaknai 80 Tahun Kemerdekaan: Perbankan Syariah sebagai Solusi Rahmatan Lil Alamin untuk Memperkuat Ekonomi Sumbar dan Indonesia
Memaknai 80 Tahun Kemerdekaan: Perbankan Syariah sebagai Solusi Rahmatan Lil Alamin untuk Memperkuat Ekonomi Sumbar dan Indonesia
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
RAPBN 2026: Antara Konsolidasi Fiskal dan Keadilan Pembangunan