Di sebuah negeri antah berantah bernama Antalaya, sejarah ditulis bukan oleh pemenang, melainkan oleh para pengatur narasi. Di negeri ini, sebuah kepalsuan skala mega telah berlangsung puluhan tahun lamanya—berakar dan membelit setiap lapisan kekuasaan dan masyarakat seperti benalu yang tumbuh dalam diam.
Kepalsuan itu tak hanya sekadar kebohongan publik, tetapi sebuah sistem besar yang melibatkan rekayasa data, pemutarbalikan sejarah, manipulasi hukum, dan pemujaan terhadap figur-figur yang dilindungi dari kritik. Seperti dikatakan Hannah Arendt dalam The Origins of Totalitarianism, kekuasaan totaliter tak sekadar mengontrol tubuh, tetapi juga pikiran; dan di Antalaya, pikiran publik telah lama dijajah narasi palsu yang diulang-ulang.
Rekayasa yang Dibungkus dengan Sistem
Segala bentuk pembungkus telah dirancang. Kurikulum pendidikan menyesuaikan narasi palsu itu sebagai kebenaran sejarah. Media, akademisi, bahkan institusi agama bisa diarahkan untuk menyusun ulang nilai-nilai demi menjaga ilusi kolektif. Kepalsuan ini, ibarat menara kaca, tampak indah dan kokoh dari luar—tapi rapuh dan kosong di dalam.
Kritikus yang menyuarakan kebenaran dicap pembangkang, pemecah belah bangsa, bahkan dituduh subversif. Dalam kajian Michel Foucault tentang power/knowledge, negara seperti Antalaya menunjukkan bagaimana kekuasaan menghasilkan kebenaran sesuai dengan kehendaknya. Maka, siapa yang memegang kekuasaan, dia pula yang menentukan realitas.
Ketika Kuasa Tidak Dalam Genggaman
Namun waktu tidak dapat dibohongi. Kekuatan politik yang dulu begitu solid, mulai retak. Pemegang tampuk tertinggi perlahan tersingkir dari panggung formal. Di sinilah celah pertama muncul. Para pengamat, whistleblower, dan korban dari sistem palsu itu mulai bersuara. Yang dahulu hanya bisik-bisik di ruang kecil kini menjadi gelombang di ruang publik.
Gerakan pembongkaran menguat, bersamaan dengan munculnya teknologi digital yang tak bisa sepenuhnya dikontrol. Platform media alternatif muncul sebagai kanal kebenaran. Di sinilah berlaku teori Jurgen Habermas tentang public sphere—ruang publik yang otonom dari negara menjadi arena perebutan makna dan legitimasi.
Perlawanan Terhadap Pembongkaran
Meski telah kehilangan sebagian besar kekuasaan formal, para arsitek kepalsuan tak tinggal diam. Mereka mengerahkan sisa kekuasaan informal: jaringan dalam birokrasi, loyalis di lembaga strategis, serta kekuatan uang dan media massa untuk menutupi kembali apa yang mulai terbuka. Mereka menyusun ulang manuver, menyandera stabilitas, dan memutar ulang retorika lama tentang ancaman perpecahan jika “kebenaran” mereka dibongkar.
Pola ini menunjukkan bahwa kekuasaan bukan hanya institusional, tapi juga kultural dan struktural. Dalam perspektif Antonio Gramsci tentang hegemoni, para penguasa lama mempertahankan dominasinya lewat konsensus paksa—yaitu ketika masyarakat menganggap dominasi itu sebagai sesuatu yang alami dan benar.
Konflik dalam Bayang-Bayang
Serangan demi serangan dilancarkan terhadap pembongkaran. Sumber-sumber informasi diintimidasi, jaringan digital disusupi, pengungkap kebenaran dikriminalisasi. Namun semakin ditekan, semakin kuat pula upaya pembongkaran ini—karena kepalsuan yang terlalu lama disimpan mulai tak tertahankan aromanya.
Konflik di Antalaya kini berada dalam titik tarik-menarik antara dua kutub: kubu pembela status quo yang berjuang menyelamatkan reputasi mereka dengan segala cara, dan kubu pembongkar yang bersenjatakan informasi dan idealisme moral. Inilah cermin dari apa yang disebut Pierre Bourdieu sebagai field of power, medan konflik antar agen yang memperebutkan otoritas dan legitimasi dalam ranah sosial.
Cahaya Kebenaran yang Tertutup Kabut
Sudah tampak terang di kejauhan. Beberapa temuan besar mulai muncul: dokumen-dokumen bocor, pengakuan orang dalam, dan rekaman masa lalu yang tak bisa lagi disangkal. Seakan-akan kunci utama dari seluruh kebohongan itu akan segera terbuka. Namun begitu dekat, kekuatan gelap justru kian brutal dalam menutupinya.
Setiap upaya mendekati kebenaran dibalas dengan serangan informasi tandingan. Disinformation dan manufactured consent seperti yang dijelaskan Noam Chomsky, digunakan secara sistematis untuk membingungkan publik. Kebenaran jadi samar, kabut narasi palsu kembali ditiupkan melalui pengeras suara yang masih dikuasai.
Pertempuran Antara Malu dan Moral
Apa yang mereka takutkan bukan hanya terbongkarnya aib, tetapi efek domino dari kehilangan kepercayaan publik. Kepalsuan ini adalah benang pengikat dari banyak kepentingan, dan bila satu saja terbuka, maka seluruh struktur bisa runtuh. Di sinilah skala mega dari rasa malu mulai menjadi momok bagi pelaku-pelaku utamanya.
Namun, dalam dunia etika politik, pengakuan terhadap kesalahan adalah bentuk tanggung jawab moral. Seperti dijelaskan dalam filsafat Hannah Arendt, banality of evil tidak selalu muncul dari niat jahat, tapi dari pembiaran sistemik terhadap kebohongan yang terus-menerus dilakukan tanpa berpikir. Maka pembongkaran ini bukan hanya soal skandal, tapi soal rekonstruksi moral kolektif.
Negari dalam Trauma
Negeri Antalaya kini berada di ambang krisis identitas. Warga terpecah: antara mereka yang selama ini telah tertipu dan merasa marah, dan mereka yang masih menolak percaya bahwa kepalsuan itu nyata. Inilah efek dari kebenaran yang terlalu lama disembunyikan—ia datang seperti gempa yang mengguncang fondasi lama dan menciptakan trauma kolektif.
Dalam teori psikologi politik, ini disebut collective dissonance—ketika narasi dominan runtuh, masyarakat mengalami kegelisahan kognitif karena realitas yang baru tak sesuai dengan apa yang selama ini diyakini. Maka rekonsiliasi kebenaran harus diiringi dengan pendidikan publik yang matang dan kebijakan transformatif yang mengakui kesalahan masa lalu.
Reformasi atau Retak Total
Pertanyaan besar pun muncul: apakah Antalaya akan mampu melakukan truth and reconciliation, atau justru membiarkan perpecahan terus meluas? Negara-negara yang pernah mengalami fase gelap seperti Afrika Selatan dan Jerman menunjukkan bahwa rekonsiliasi membutuhkan pengakuan, kejujuran, dan mekanisme hukum yang adil.
Jika pembongkaran ini berhenti di tengah jalan, yang tersisa hanya luka dan dendam. Namun jika keberanian kolektif untuk membuka semuanya dimiliki, maka bangsa ini bisa memulai babak baru. Teori transisi keadilan (transitional justice) menawarkan kerangka bagaimana kebenaran dan keadilan bisa diinstitusikan pasca kediktatoran atau rezim otoriter.
Cermin untuk Negeri Manapun
Kisah Antalaya bukan hanya kisah fiksi, tetapi bisa menjadi refleksi dari negeri manapun yang menyimpan kepalsuan besar dan berusaha menutupinya demi kenyamanan kekuasaan. Kepalsuan, jika dilestarikan, tak hanya menciptakan luka pada masa lalu, tapi juga memproduksi ketakutan di masa kini dan mewariskan kehancuran di masa depan.
Karena itu, di mana pun ada upaya membuka kebenaran, di situlah ada harapan. Dan di mana pun ada kekuasaan yang bertahan hanya untuk menutupi aib masa lalu, di situlah potensi kehancuran mengintai. Antalaya, dalam segala tragedinya, adalah pengingat bahwa kebohongan bisa menjadi sistem—tapi kebenaran selalu punya cara untuk menembusnya.
*Penulis: Prof. Ir. Yazid Bindar, M.Sc. Ph.D (Dosen dan Guru Besar Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung)