Ironi Kapitalisme: Berharap Kemakmuran, Kesenjangan Tumbuh

Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.

Prof Dr Syafruddin Karimi SE MA (Foto: ist)

Kapitalisme hadir dengan janji besar: kemakmuran untuk semua. Ia menjanjikan pertumbuhan, kesejahteraan, dan peluang tanpa batas. Ia memuliakan pasar bebas sebagai arena keadilan, di mana siapa pun bisa naik kelas asal bekerja keras. Tapi setelah berabad-abad diterapkan dan dijaga, dunia justru menyaksikan fenomena yang sangat kontras. Ketika produktivitas meningkat dan kekayaan global melimpah, jurang antara si kaya dan si miskin melebar lebih cepat. Kapitalisme tidak sedang menciptakan kemakmuran universal. Ia sedang menanam benih ketimpangan yang kini tumbuh subur di setiap sudut bumi.

Lihat bagaimana 1 persen teratas menguasai lebih dari separuh kekayaan dunia. Sementara miliarder berlomba membangun roket pribadi, jutaan buruh hidup dengan upah yang tak cukup untuk makan bergizi, apalagi menabung. Dalam banyak negara, orang bekerja penuh waktu tapi tetap miskin. Petani tidak punya lahan, buruh tak punya jaminan, anak muda tak punya pekerjaan tetap. Ini bukan anomali. Ini buah langsung dari sistem yang membiarkan akumulasi berjalan tanpa rem, tanpa etika, dan tanpa koreksi distribusi.

Kapitalisme menempatkan laba di atas segalanya. Perusahaan wajib mengejar keuntungan maksimal bagi pemegang saham. Mereka menekan biaya, memangkas tenaga kerja, dan memindahkan pabrik ke tempat dengan upah terendah. Negara tidak cukup kuat melindungi buruh. Undang-undang kerja sering dirancang untuk kepentingan modal. Dalam logika ini, manusia bukan subjek pembangunan, melainkan variabel produksi. Kehidupan manusia dihargai sejauh ia memberi keuntungan.

Pendidikan tidak lagi dilihat sebagai hak, melainkan sebagai investasi pribadi. Kesehatan menjadi komoditas, bukan pelayanan publik. Infrastruktur kota dirancang bukan untuk kenyamanan warga, melainkan untuk menarik investor. Negara dipaksa berpikir seperti korporasi, bukan sebagai pengelola kesejahteraan rakyat. Semua diukur berdasarkan efisiensi pasar, bukan keberlanjutan sosial.

Kapitalisme global juga menciptakan ketergantungan yang menjerat. Negara berkembang didorong membuka pasar seluas-luasnya, mencabut subsidi, dan memprivatisasi aset publik demi pinjaman dan investasi asing. Sumber daya alam dikuras, tanah adat diserobot, dan masyarakat lokal terusir. Demi mendatangkan investor, negara-negara rela memberi insentif pajak besar dan membiarkan tenaga kerja dibayar murah. Janji pertumbuhan tidak sebanding dengan kenyataan yang dihadapi rakyat di lapangan.

Sementara itu, perusahaan multinasional menikmati sistem yang mendukung mereka dari segala arah. Mereka bisa menyimpan laba di surga pajak, melobi pemerintah, dan menekan pesaing lokal. Dalam struktur ini, kekayaan mengalir ke atas, bukan ke bawah. Sistem fiskal yang mestinya memperbaiki ketimpangan justru longgar terhadap penghindaran pajak dan lemah dalam redistribusi.

Kapitalisme juga menumbuhkan budaya konsumerisme yang memiskinkan batin. Iklan menyusup ke ruang privat dan menciptakan kebutuhan palsu. Identitas manusia direduksi menjadi apa yang mereka beli. Gaya hidup dipaksakan melalui layar, bukan dibangun dari kebutuhan nyata. Ketika konsumen tak sanggup mengikuti standar citra, mereka merasa gagal sebagai manusia. Kapitalisme mengatur perilaku melalui hasrat, bukan nilai.

Kesenjangan yang tumbuh bukan hanya dalam angka, tetapi dalam kenyataan hidup sehari-hari. Anak dari keluarga kaya mengakses pendidikan terbaik sejak dini, mengikuti kursus eksklusif, dan akhirnya masuk ke dunia kerja dengan jaringan kuat. Sementara anak dari keluarga miskin harus berjuang sejak awal hanya untuk menyelesaikan sekolah dasar. Struktur sosial menjadi makin tertutup. Mobilitas sosial mandek. Mimpi tentang meritokrasi hanya tinggal ilusi.

Saat terjadi krisis, kapitalisme menunjukkan wajah aslinya. Pemerintah dengan cepat menyelamatkan bank dan korporasi besar, tapi membiarkan buruh kehilangan pekerjaan. Kebijakan moneter dilonggarkan untuk menyuntik pasar modal, bukan UMKM. Di tengah pandemi, kekayaan para miliarder naik drastis, sementara jutaan orang jatuh dalam kemiskinan. Sistem ini melindungi kapital, bukan kehidupan.

Ketika kritik muncul, kapitalisme mencoba menyesuaikan diri. Ia menciptakan narasi "kapitalisme inklusif", "CSR", atau "ESG". Tapi substansi tetap tidak berubah. Struktur akumulatif tetap utuh. Ketimpangan tetap dibiarkan selama pertumbuhan ekonomi tetap positif. Narasi keadilan hanya menjadi kosmetik agar sistem terus berputar tanpa perlawanan.

Sudah saatnya kita bertanya dengan jujur: apakah sistem ini benar-benar bekerja untuk manusia, atau hanya untuk segelintir elite? Apakah kita ingin melanjutkan jalan ekonomi yang menjadikan pertumbuhan sebagai tujuan, bukan alat? Apakah kita rela membayar harga ketimpangan yang terus melebar demi menjaga wajah pasar bebas?

Manusia membutuhkan sistem ekonomi yang berpihak pada kehidupan. Kita perlu model yang menempatkan kesejahteraan bersama sebagai dasar, bukan keuntungan pribadi. Kita perlu ekonomi yang memperkuat komunitas, bukan melemahkannya. Kita perlu kebijakan publik yang menjamin hak dasar semua warga, bukan hanya melayani investor dan konglomerat.

Kapitalisme tidak bisa dibiarkan mengatur segalanya. Negara harus hadir sebagai penyeimbang. Pajak progresif perlu ditegakkan. Pendidikan dan kesehatan harus menjadi hak universal. Kepemilikan sumber daya harus kembali pada rakyat. Pekerja butuh perlindungan, bukan fleksibilitas palsu. Lingkungan harus dihargai lebih tinggi dari angka pertumbuhan.

Kemakmuran sejati tidak tumbuh dari akumulasi satu pihak. Ia hanya bisa lahir ketika masyarakat bergerak bersama. Jika kapitalisme terus membuahkan kesenjangan, maka tugas kita adalah menanam sistem baru—sistem yang menghormati martabat manusia, membagi hasil secara adil, dan menjaga bumi agar tetap layak dihuni.

*Penulis: Prof. Dr. Syafruddin Karimi, SE. MA (Dosen Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Andalas)

Baca Juga

Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Vasektomi untuk Miskin: Kebijakan yang Menyalahi Pancasila
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
IMF, Bank Dunia, dan Diamnya Kritik terhadap Sumber Tsunami Tarif Global
Selembar Ijazah, Sejuta Drama
Selembar Ijazah, Sejuta Drama
Arief Paderi
Tragedi Hukum Idham Rajo Bintang dan Hotel Maninjau Indah, “Rumah Sudah, Tukang Dibunuh”
Demokrasi dan Kebisingan Politik
Demokrasi dan Kebisingan Politik
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
TikTok, Trump dan Tiongkok