Hari Pahlawan Dalam Bayang-Bayang Sang Otoritarian (Menolak Soeharto Jadi Pahlawan, Menagih Janji yang Terlupakan)

Oleh: Yogi Yolanda

Pertanyaan yang kerap mengemuka di benak penulis setiap menjelang peringatan 10 November ialah apakah pemerintah telah keliru memahami esensi peringatan Hari Pahlawan dengan merasa wajib menganugerahkan gelar pahlawan kepada berbagai tokoh nasional sebagai bentuk peringatan hari bersejarah ini. Bukankah esensi Hari Pahlawan sejatinya tidaklah terletak pada siapa yang diberi gelar, melainkan pada pengakuan terhadap kenyataan sejarah bahwa rakyatlah yang sesungguhnya menginginkan kemerdekaan bangsa ini, rakyatlah yang rela berkorban mempertahankan kedaulatan NKRI. Semangat 10 November tidak (saja) lahir dari dekrit negara, melainkan dari keberanian rakyat yang menolak menyerahkan kemerdekaanya kepada pasukan penjajah. Mereka berjuang bukan demi penghargaan tentunya, melainkan demi kehormatan dan kebebasan yang baru saja dirasakan.

Negara saat ini tampak lebih sibuk menimbang siapa yang layak mendapat gelar daripada menumbuhkan nilai kepahlawanan itu sendiri dalam karya hidup masyarakat sehari-hari. Padahal, semangat kepahlawanan tidak hanya hidup di monumen, nama jalan, atau piagam penghargaan, melainkan di setiap tindakan kecil yang mencerminkan keberanian, kejujuran, dan pengorbanan bagi sesama.

Penulis dalam hal ini memahami bahwa makna kepahlawanan sudah seharusnya menemukan relevansi baru, paling tidak dalam keberanian melawan ketimpangan, menegakkan integritas, serta memperjuangkan keadilan sosial di ruang-ruang kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, Hari Pahlawan tidak berhenti sebagai ritual tahunan, melainkan menjadi cermin bagi bangsa untuk menilai sejauh mana semangat perjuangan dalam bingkai nasionalisme itu masih hidup di tengah masyarakat.

Sekadar pengingat, penetapan 10 November sebagai peringatan nasional baru dilakukan empat tahun setelah pertempuran Surabaya usai. Melalui Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 tentang Hari-hari Nasional yang Bukan Hari Libur yang ditandatangani Presiden Soekarno, pemerintah secara resmi menetapkan tanggal tersebut sebagai Hari Pahlawan. Penetapan ini bukan hanya bentuk penghormatan kepada para pejuang yang gugur di Surabaya, tetapi juga upaya politik untuk membangun kesadaran nasional tentang arti pengorbanan dalam mempertahankan kemerdekaan. Dengan menjadikan satu peristiwa lokal sebagai simbol perjuangan nasional, negara berupaya menanamkan semangat heroik kepada generasi berikutnya agar mengingat bahwa kemerdekaan tidak pernah diberikan (take for granted), melainkan direbut dengan jiwa keberanian.

Sementara itu, 10 November ditahun 2025 menurut hemat penulis akan menjadi Hari Pahlawan yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto telah memicu kontroversi luas. Keputusan ini bukan sekadar pertarungan simbolik tentunya, ini mencerminkan bagaimana negara dan elit politik berupaya menulis ulang narasi kepahlawanan, sekaligus menguji sejauh mana publik mampu mempertahankan kebenaran sejarah.

Jika pada 1945 Surabaya menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme, maka pada 2025 bangsa ini diuji untuk melawan bentuk-bentuk baru penjajahan, entah dalam wujud korupsi, manipulasi sejarah, maupun banalitas moral yang mengaburkan batas antara pahlawan dan pelaku penyalahgunaan kekuasaan.

Penulis dalam hal ini menduga jika tidak banyak masyarakat kita yang tahu bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI pada September 2024 telah mencabut penyebutan nama Soeharto dari Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998, sebuah ketetapan yang pada awalnya justru memerintahkan penegakan hukum terhadap Soeharto dan keluarganya atas dugaan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme selama berkuasa.

Langkah pencabutan itu disebut dilakukan karena Soeharto telah wafat dan dianggap tak lagi bisa dimintai pertanggungjawaban hukum. Namun keputusan tersebut memunculkan tafsir publik yang keliru, yakni seolah nama Soeharto dihapus karena terbukti bersih, padahal TAP itu sendiri lahir sebagai bagian dari semangat reformasi untuk menuntut pertanggungjawaban atas penyalahgunaan kekuasaan selama 32 tahun pemerintahannya.

Sementara itu, kini muncul lagi suara-suara yang berupaya memulihkan nama Soeharto dan bahkan mengusulkannya sebagai Pahlawan Nasional. Sebuah ironi yang menampar ingatan kolektif bangsa tentang perjuangan reformasi yang lahir untuk mengakhiri kekuasaan korup dan otoriter. Lebih jauh, wacana ini bukan datang dari ruang kosong. Ia justru menguat di tengah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, melalui pernyataan dan dorongan politik yang muncul dari Kementerian Kebudayaan di bawah Fadli Zon.

Upaya ini tentu menimbulkan pertanyaan lanjutan, apakah negara sedang berupaya merekonstruksi narasi sejarah dengan menempatkan figur kontroversial dalam posisi terhormat? Reformasi 1998 menjadi tonggak perlawanan terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan praktik korupsi yang sistematis selama Orde Baru.

Maka, mengusung kembali nama Soeharto sebagai pahlawan bukan hanya bentuk pelupaan sejarah, tetapi juga pengaburan batas antara pelaku dan penyelamat, antara rezim yang dipertanggungjawabkan dan generasi yang berjuang untuk membebaskan diri darinya.

Bagi penulis, menolak Soeharto menjadi Pahlawan Nasional bukanlah sikap kebencian personal, melainkan panggilan moral untuk menjaga ingatan bangsa dari penyelewengan sejarah. Rezim Soeharto meninggalkan luka kolektif yang mendalam, pembantaian massal 1965–1966 yang menewaskan lebih dari 500 ribu jiwa tanpa proses hukum, tragedi Tanjung Priok 1984 dengan ratusan korban sipil, serta pembantaian Talangsari 1989 yang menelan puluhan korban dan menyisakan trauma panjang.

Belum lagi praktik penembakan misterius (Petrus) pada awal 1980-an yang merenggut ribuan nyawa tanpa pertanggungjawaban negara. Di atas semua itu, tiga dasawarsa kekuasaan Rezim Soeharto juga ditandai oleh pembungkaman kebebasan sipil, korupsi yang sistemik, serta ketimpangan ekonomi yang melebar.

Lebih dari sekadar penolakan, sikap ini adalah seruan untuk menagih janji kepada rakyat yang terlupakan, mereka yang kehilangan hidup dan martabat demi tegaknya kebenaran yang hingga kini masih ditunda oleh negara.

Pernyataan Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan bahwa Soeharto “tidak pernah terbukti bersalah” memang benar secara yuridis, tetapi keliru secara moril dan historis. Tidak adanya vonis pengadilan bukan berarti tiadanya kejahatan, melainkan cerminan dari betapa kuatnya kekuasaan politik yang mampu mengatur hukum pada zamannya. Semua peristiwa kelam seperti pembantaian massal 1965–1966, tragedi Tanjung Priok, Talangsari, hingga operasi Petrus, terjadi di bawah rezim yang Soeharto pimpin dan dalam struktur kekuasaan yang sepenuhnya ia kendalikan.

Dalam konsep tanggung jawab negara, seorang kepala pemerintahan tidak harus “menembak sendiri” untuk dianggap bertanggung jawab atas kejahatan yang terjadi dalam masa kekuasaannya. Negara modern mengenal asas command responsibility, tanggung jawab moral dan politik atas tindakan aparat di bawahnya. Maka, yang dipersoalkan bukan hanya soal pembuktian hukum semata, melainkan soal keberanian moral untuk mengakui luka sejarah bangsa.

Hari Pahlawan sejatinya menjadi momentum untuk meneguhkan kembali makna kepahlawanan sebagai keberanian menanggung risiko demi kepentingan rakyat, bukan keberhasilan mempertahankan kekuasaan dengan segala cara. Pada 10 November, kita memperingati mereka yang gugur mempertahankan kemerdekaan, bukan mereka yang mengikis makna kemerdekaan dengan penindasan dan korupsi. Karena itu, ketika negara justru membuka ruang bagi glorifikasi figur yang pernah menjadi simbol penyalahgunaan kekuasaan, maka peringatan Hari Pahlawan kehilangan substansinya.

Dalam perspektif politik sejarah, upaya pemulihan nama Soeharto tidak dapat dilepaskan dari anggapan terhadap rekayasa memori yang dilakukan oleh negara. Sejarawan Prancis Pierre Nora (1989) menyebut fenomena ini sebagai lieux de mémoire, yang dalam hal ini tentu dimaknai sebagai tempat negara “menanamkan” makna-makna baru atas masa lalu melalui simbol dan penghormatan resmi.

Sejarawan Asvi Warman Adam dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam beberapa kesempatan diskusi publik perihal ini pernah menegaskan bahwa “ketika negara gagal menempatkan kebenaran sejarah di atas kepentingan politik, maka bangsa itu sedang menyiapkan amnesia kolektif.” Begitu pula menurut Benedict Anderson (1991), bangsa selalu dibayangkan (imagined community), dan cara bangsa mengingat masa lalunya tentu akan turut menentukan arah moral politiknya di masa depan. Karena itu, mengangkat kembali Soeharto dalam bingkai kepahlawanan bukan hanya soal penilaian terhadap masa lalu, melainkan juga pertaruhan terhadap kesadaran sejarah bangsa hari ini.

Presiden Prabowo sejatinya harus menyadari betul bahwa di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil, langkah politik yang sarat simbol seperti pemulihan nama Soeharto berpotensi menimbulkan polemik yang tidak perlu. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 hanya mencapai 5,03%, sementara tingkat pengangguran terbuka masih berada di kisaran 4,91%. Angka ini menggambarkan masih minimnya lapangan kerja baru di tengah meningkatnya biaya hidup dan ketimpangan ekonomi antarwilayah.

Di sisi lain, situasi global juga tengah bergejolak dengan perlambatan ekonomi Tiongkok dan ketegangan geopolitik di Timur Tengah yang dapat berimbas pada harga energi serta stabilitas fiskal nasional. Dalam konteks seperti ini, energi politik semestinya difokuskan pada pemulihan ekonomi rakyat dan penguatan kepercayaan publik, bukan pada romantisasi figur masa lalu yang justru dapat membuka luka kolektif bangsa.

Hari Pahlawan ditahun 2025 ini mesti menjadi momentum reflektif bagi pemerintah untuk menyalakan kembali semangat pengabdian kepada rakyat yang baru saja mengalami puncak akumulasi kekecewaan terhadap berbagai persoalan. Hemat penulis, daripada memaksakan pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional yang justru berpotensi menimbulkan kegaduhan politik, akan jauh lebih bermakna jika pemerintah memusatkan energinya untuk memastikan target 82,9 juta penerima manfaat Program Makan Bergizi Gratis (MBG) benar-benar tercapai.

Pemerintah juga akan lebih bermanfaat jika berfokus dalam memperkuat peran Koperasi Merah Putih agar menjadi penggerak ekonomi desa yang nyata, bukan sekadar jargon politik, serta memperluas jangkauan Sekolah Rakyat sebagai langkah konkret menghadirkan keadilan pendidikan bagi seluruh anak bangsa.

Di tengah kondisi sosial ekonomi yang masih rentan, langkah-langkah tersebut akan jauh lebih merefleksikan semangat kepahlawanan sejati, yakni bekerja untuk rakyat, bukan memuja simbol traumatis masyarakat.

*Ketua DPD PA GMNI Sumbar

Baca Juga

Mengenal Rahmah El Yunusiyah, Peraih Gelar Pahlawan Nasional Asal Sumbar yang Ditetapkan Hari Ini
Mengenal Rahmah El Yunusiyah, Peraih Gelar Pahlawan Nasional Asal Sumbar yang Ditetapkan Hari Ini
Rahmah El Yunusiyah Pendiri Diniyah Putri Padang Panjang
Rahmah El Yunusiyyah Pendiri Diniyah Putri Padang Panjang Raih Gelar Pahlawan
Anggota DPRD Limapuluh Kota Fajar Rillah Vesky, bersama Mensos.
Khatib Sulaiman Masuk Calon Pahlawan Nasional, Anggota DPRD Limapuluh Kota Apresiasi Mensos
40 Nama Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional Tahun 2025, 3 Sosok dari Sumbar
40 Nama Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional Tahun 2025, 3 Sosok dari Sumbar
Chatib Soelaiman Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Anggota DPRD Pertanyakan Tindak Lanjut ke Mensos
Chatib Soelaiman Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Anggota DPRD Pertanyakan Tindak Lanjut ke Mensos
Gubernur Sumatra Barat (Sumbar) Mahyeldi Ansharullah mengharapkan agar Bagindo Dahlan Abdoellah segera dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Gubernur Sumbar Harap Bagindo Dahlan Abdoellah Jadi Pahlawan Nasional, Ini Alasannya