Beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 1 Oktober 2025, ketika jempol ini tak sengaja mampir di lini masa Facebook, sebuah postingan dari Sumbarkita.id muncul dengan gaya yang datar, tapi memancing debat di kolom komentar.
Beritanya tentang Mahyeldi, atau daripada saya kena marah mending saya pakai saja gelar Buya, karena orang banyak memakaikan gelar itu padanya, Buya Mahyeldi Gubernur Sumatra Barat, dan tentu saja pasangannya yang selalu jadi bumbu viral, Wakil Gubernur Vasko Ruseimy yang lebih dikenal di dunia maya sebagai “Wagub paling populer se-Indonesia.”
Isi beritanya sederhana, tapi punya daya ledak tersendiri dalam ruang publik yang sudah jenuh dengan retorika moral dan simbol religius.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data pertumbuhan ekonomi kuartal II tahun 2025. Angka untuk Sumatra Barat: 3,94 persen, menempatkannya di urutan ke-31 dari 38 provinsi. Artinya, Sumbar hanya lebih baik dari segelintir daerah, sementara tetangga dekat seperti Lampung, Jambi, Bengkulu, dan Riau melesat di atas 4,5 persen.
Nah, di titik inilah muncul sebuah komentar dari netizen bernama Arisman Trisno, yang menjadi bahan renungan sekaligus tawa saya. Ia menulis dengan:
“Yang penting pak gubernur kami rajin kamasajik dan pak Wagub kami nomor satu ngonten se Indonesia kategori pejabat, itu sebuah prestasi yang sangat kami banggakan sebagai orang Sumatera Barat. Masalah ekonomi, pengangguran dan kemiskinan nanti biar dibicarakan dalam ceramah-ceramah dan bahan ngonten berikut-berikutnya.”
Sarkasme ini menampar halus, bahkan mungkin lebih dalam dari sekadar kritik biasa. Perkataan yang sangat sadar dituliskan oleh Trisno itu bukan sekadar komentar spontan, tapi bisa saja kita anggap dari representasi yang bermuara pada kekecewaan ia barangkali atau sebagian masyarakat terhadap simbolisme dalam politik lokal.
Mari kita bedah dengan pendekatan ringan tapi ilmiah, supaya tidak hanya berhenti di tawa.
Dalam kacamata sosiologi politik, apa yang dilakukan Arisman adalah bentuk resistensi simbolik, pasti. Ia tidak menolak figur Mahyeldi atau Vasko secara personal, tapi mengkritik politik performatif yakni kecenderungan pejabat publik untuk menampilkan kesalehan dan keaktifan media sebagai simbol keberhasilan kepemimpinan.
Dalam literatur budaya, ini disebut politik representasi, di mana penampilan dan pencitraan menjadi substansi baru dari kekuasaan. Aduh, saya pribadi jadi teringat sebuah peristiwa: bahwa dahulu salah satu proses kampanye di Lima Puluh Kota ada yang memberikan jilbab ke ibu-ibu dan si pemberi berkata ”kalau Indak ibu pilih si anu, badoso lah,” ibu-ibu itu pun mengangguk saja dan menerimanya. Mungkin ada yang bertanya maksud saya apa? Tidak ada maksud kok, hanya ingat saja bahwa begitu kuatnya narasi agama sebagai alat kemenangan politik di negeri yang teramat Madani sejak dalam pikiran ini.
Balik ke topik, bahwa sampai hari ini Mahyeldi dikenal religius, dengan citra “Buya” yang melekat kuat. Sementara Vasko, sang wakil gubernur, punya persona dekat dengan anak muda dan ranah digital serta enerjik, dan sangat sadar kamera. Di tahap ini, Sumatra Barat memiliki kombinasi unik sebenarnya: seorang pemimpin spiritual dan seorang influencer pemerintahan. Secara teoretis, pasangan ini ideal untuk menjembatani politik lama dan politik baru. Namun, data BPS menunjukkan hal sebaliknya: pertumbuhan ekonomi stagnan, angka kemiskinan sulit ditekan, dan daya saing Sumbar kian tertinggal.
Komentar Trisno dengan sarkasnya menelanjangi paradoks itu. Ia menyinggung “rajin kamasajik” kalau saya coba menyelami pikiran kawan itu, dia sebenarnya bukan karena membenci religiusitas, tapi karena aktivitas keagamaan dijadikan komoditas politik moral, semacam performa rutin yang tidak otomatis berbanding lurus dengan kebijakan konkret.
Kalau kita tarik ke kajian komunikasi politik kontemporer, hal ini disebut dengan simbolic governance: kekuasaan yang dikelola melalui tanda, ritual, dan narasi kesalehan, bukan melalui hasil terukur.
Lalu datanglah “pak Wagub kami nomor satu ngonten se Indonesia kategori pejabat” Kalimat Trisno ini kalau dibaca jelas terdengar mengundang tawa, tapi menyimpan analisis serius. Aktivitas Vasko yang produktif di media sosial sejatinya bagian dari strategi mediatization of politics, yaitu kecenderungan politik untuk hidup dalam ruang digital, di mana citra dan engagement lebih penting daripada indikator kinerja. Tapi, seperti yang pernah diingatkan Pierre Bourdieu, modal simbolik tanpa modal ekonomi dan sosial hanyalah kapital yang menggantung di udara. Ia indah, tapi tidak memberi makan rakyat.
Fenomena ini menggambarkan bagaimana Tuah Politik Minangkabau Modern mengalami pergeseran nilai, ini pandangan saya silahkan setuju silahkan pula tidak. Dulu, kepemimpinan dihormati karena “kato bijak dan tangan berisi,” kini cukup dengan “feed Instagram yang bersih dan caption religius.” oiya, saya lupa: dan beberapa anak muda influencer pendukung, dah cukup itu saja.
Dalam ruang digital yang serba cepat hari ini, kesalehan dan profesionalisme dijadikan konten; bahkan kemiskinan-kemiskinan struktural bisa kita jadikan di materi khotbah-khotbah selanjutnya.
Namun yang paling menggelitik adalah bagaimana masyarakat menanggapi ini. Kolom komentar di postingan itu tidak hanya berisi kritik, tapi juga pembelaan militan. Seperti dari akun Doni Bentrock yang mengatakan, ”Lihat saja 3 tahun ke depan, Sumatera Barat Sejahtera di bawah pimpinan beliau berdua. Contohnya sekarang, pejabat-pejabat Pusat silih berganti datang ke Sumbar. Gerindra Jaya, Sumbar Sejahtera!.”
Selanjutnya, dalam pandangan ilmuwan sosial seperti Max Weber, agama seharusnya melahirkan etika kerja, bukan sekadar ritualisme simbolik. Weber menyebutnya “Protestant Work Ethic”, tapi jika diterjemahkan ke konteks lokal, mestinya kita punya “Etika Kerja Minang” kesalehan yang melahirkan produktivitas, bukan sekadar slogan.
Dalam kasus Sumatera Barat hari ini, kesalehan tampak dominan di ruang publik, tapi belum berhasil menggerakkan mesin ekonomi daerah. Angka pertumbuhan 3,94 persen seakan jadi bukti empiris bahwa spiritualitas tanpa strategi ekonomi hanyalah kesalehan yang statis.
Arisman Trisno dengan kalimatnya yang jenaka sebenarnya mengungkapkan sebuah realitas sosial juga kepada kita: politik simbolik di Sumbar tengah mengalami saturasi. Masyarakat sudah mulai lelah dengan retorika moral, tapi belum menemukan bentuk baru dari politik rasional, tapi banyak juga kok yang suka dengan konten-konten tersebut.
Komentar-komentar itu bisa membuat kita tertawa ketika membacanya, tapi di balik tawa itu ada peringatan serius juga. Ketika pejabat publik terlalu sibuk tampil saleh dan viral, ruang rasional untuk membahas kemiskinan dan pengangguran menjadi sempit. Ketika “konten” menggantikan “konsep,” dan “ceramah” menggantikan “rencana pembangunan,” maka yang tersisa hanyalah citra. Tapi dengan catatan: bagi yang sadar.
Namun, barangkali ini memang cermin zaman. Politik hari ini di tanah tempat lahirnya anak Rangkayo Sinah bernama Ibrahim Dt. Tan Malaka itu bukan lagi soal gagasan, tapi soal branding eksistensial. Gubernur bukan hanya kepala daerah, tapi juga figur publik yang harus tampil saleh sejak dalam pikiran. Wagub bukan sekadar wakil rakyat, tapi juga seleb media sosial. Dan rakyat? Menjadi audiens yang menilai bukan dari hasil kerja, tapi juga mungkin dari frekuensi tayangan. Dengan catatan juga: bagi masyarakat yang sadar.
Mungkin Trisno sendiri tak bermaksud sefilosofis itu, dan tak juga pernah membayangkan komentarnya bakal di sukai banyak orang dan direspon oleh berbagai pengguna Facebook hari itu. Dan sepertinya, ia hanya menulis dengan spontan, menumpahkan kejengkelan di ruang maya. Tapi seperti banyak hal lain di dunia sarkas, kebenaran paling pahit sering kali bersembunyi di balik tawa paling keras. Dan dari tawa itu, kita bisa belajar bahwa Sumatra Barat butuh lebih dari sekadar rajin kamasajik dan produktif ngonten ia butuh kepemimpinan yang bekerja, bukan hanya tampil dan insight jutaan begitu juga likes yang ribuan. (*)
Penulis: Habibur Rahman (Alumnus Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi). Aktif sebagai pegiat media sosial dengan konten memori kolektif ketokohan Tan Malaka.






