Media digital yang di dalamnya penuh dengan media sosial adalah pasar malam tanpa henti, tanpa tidur. Ketika diikuti, hingga 40 tahun ke depan, video-video pendek itu tidak habis ditonton! Lampu-lampu notifikasi menyala, tawa virtual terdengar, tetapi di balik keramaian itu ada kesepian yang sunyi. Kesepian modern lahir dari keramaian virtual itu. Ketika berkumpul sesama, di ruang keluarga, di manapun, sering sekali suasana menjelma sunyi. Masing-masing asyik dengan smartphone sendiri. Adab berteman bisa hanyut jauh ke muara sunyi.
Seterusnya, kini algoritma mengatur lalu lintas emosi, menentukan apa yang dilihat, siapa yang didengar, dan bagaimana merasa. Semua menjanjikan kepastian, yang muncul di layar adalah “yang terbaik untuk kita.” Inilah yang relevan dikritik Imam Al-Ghazali dalam Tahâfut al-Falâsifa (1095), klaim kepastian yang rapuh ketika diuji dengan standar rasionalitas yang dibangun dengan filsafat. Berdasarkan ini, algoritma seperti pemberi kepastian, padahal hanya memantulkan citra dunia yang dipilihkan penggunanya, bukan dunia sebagaimana adanya.
Sir Muhammad Iqbal mengungkapkan konsep Khudi dalam Asrar-i-Khudi (1915). Sastrawan cum filosof yang berasal dari anak benua India itu menulis, segala yang kita lihat adalah cermin dari diri (The form of existence is an effect of the Self, whatsoever thou seest is a secret of the Self). Pada konteks ini, algoritma itu memberi cermin. Self kita yang awalnya terbentuk oleh kebebasan memilih kini digiring oleh pola klik, scroll, dan like. Iqbal bahkan menyerukan dalam bait terkenalnya: “Khudi ko kar buland itna…” — tinggikanlah dirimu sedemikian rupa hingga takdir sendiri bertanya apa kehendakmu. Seruan ini hendak menegaskan; jangan biarkan algoritma membentuk diri, melainkan tegakkan Self yang otonom.
Karl Marx dalam A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right (1843) menulis kalimat yang kemudian sangat terkenal: “Religion is the heart of a heartless world, and the soul of soulless conditions.” Jika agama pada abad ke-19 ia sebut demikian, maka timeline media sosial pada abad ke-21 bisa kita sebut sebagai “soulless conditions” — kondisi tanpa jiwa, penuh konten, miskin makna. Marx juga mengingatkan dalam Theses on Feuerbach (1888), “The philosophers have only interpreted the world, in various ways; the point, however, is to change it.” Kalimat ini terasa relevan: persoalan kita hari ini bekerja menafsirkan algoritma, seterusnya menuntut perubahan bagaimana menjalin percakapan digital yang lebih manusiawi.
Max Weber dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1920), menulis modernitas lahir dari rasionalisasi kerja dan disiplin. Namun rasionalisasi itu juga membangun “sangkar besi” (stahlhartes Gehäuse) yang menjerat manusia. Begitulah sebenarnya algoritma bekerja hari ini, membuat kita rasional dalam klik, efisien dalam scroll, cepat dalam respons, tetapi kehilangan keutuhan diri. Kita menjadi spesialis dalam kecepatan, tetapi miskin kedalaman.
Al-Ghazali mengingatkan manusia untuk meragukan klaim kepastian, Iqbal menyalakan api otonomi diri, Marx menuntut perubahan struktural, dan Weber memperingatkan jebakan rasionalisasi, maka refleksi mereka bertemu di sini; algoritma hanyalah cermin kusam yang memperbesar kesepian, bila manusia menyerahkan dirinya sepenuhnya. Jadi, agak-agak jugalah di depan smartphone. 'Kan bitu?
Kesepian digital adalah kesepian yang disamarkan oleh keramaian. Manusia modern seakan punya seribu teman, tetapi tak ada yang mendengar dengan sungguh-sungguh. Jalan keluarnya mungkin sederhana, tapi radikal; berhenti sejenak dari layar, menatap mata seseorang di hadapan kita, hadir dalam percakapan tanpa algoritma. Sebab pada akhirnya, manusia lebih besar daripada sistem mana pun, subjek penting di atas dunia ini. Bukan mesin, bukan robot, bukan algoritma. Dan percakapan, betapapun ringkas, lebih bernilai daripada seribu scroll yang sunyi. Yo, ndak? []
Abdullah Khusairi adalah Dosen Islamic Studies; Pengkajian Media Dakwah dan Politik pada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Imam Bonjol Padang