Dalam kondisi cuaca yang tidak menentu, antara mendung dan hujan, silih berganti panas dan dingin, terdengar berita wafat salah seorang ulama lokal dari Tobek Panjang, Kecamatan Payakumbuh, Kabupaten Limapuluh Kota pukul 14:00 WIB (23/5/2024). Beliau Buya Amrialis Imam, saya biasa menyebutnya Buya Imam Amrialis. Saya punya beberapa kenangan bersama beliau, dan itu sangat berkesan dihati saya.
Beliau sosok yang teguh pendirian, termasuk dalam mempertahankan Ahlussunnah wal Jama'ah. Kokohnya tidak kepalang. Apabila beliau bertemu dengan yang muda-muda yang cenderung kepada kaji tua ini, dibanggakannya, ditepuknya pundaknya, seakan berkata: "kita berkanti".
Beliau sosok yang sangat hormat kepada gurunya. Hampir setiap saya bercerita dengan beliau, tersebut gurunya Syaikh Mukhtar Ongku Lokuang (w. 1978), ulama tua yang legendaris di Payakumbuh-Limapuluh Kota ini.
Beliau yang sangat sederhana. Demi mengajar ke Tobek Godang, beliau bersepeda dari Tobek Panjang; jalan yang cukup jauh. Dengan kondisi mata yang mulai kabur, beliau kayuh sepeda itu. Kesetiaan pada Tobek Godang dan Kitab Kuning tiada disangsikan lagi.
Beliau mumpuni salam faraidh. Apabila ada hal yang musykil dalam faraidh, beliau tempat bertanya. Beliau menyebutkan pada saya, bahwa beliau sudah menulis kitab faraidh sendiri, sayang kata beliau bahwa kitab itu tak sempat diperlihatkan ke Ongku Lokuang buat ditaqrizh.
Dari tahun 2019-2000, saya mengajar di Tobek Godang, dapatkan saya bertemu beliau. Saya berkisah dengan orang-orang dulu yang arif bijaksana. Saya perhatikan takbiat dan sifat, serta semangat yang luar biasa dari beliau. Saat bercerita beliau seperti anak muda berusia 25 tahun yang semangat dan berapi-api. Beliau suka humor, sangat bersahabat.
Tahun 2015-2018, saya ikut yang tua-tua membahasa kitab Hikam di Mesjid Muslimin Mungka. Ada kalanya beliau hadir. Hadirnya beliau membawa semangat lebih sebab beliau memberikan jawab-jawab dari i'rab yang sedang diperdebatkan. Ketika i'rab tepat setelah sekian lama debat, maka beliau tertawa, tanda "kaji taraso".
Banyak hal lain yang tidak terungkap. Kepada saya beliau sangat antusias, karena saya muda saat itu, dan bersemangat membela kaji surau. Meskipun saya bukan tamatan sekolah formal PERTI, beliau menitipkan harapan. Saat-saat tertentu beliau tidak sungkan duduk di belakang, mendengarkan saya mengaji. Sayang saya tidak tau bahwa beliau menjadi pendengar.
Sekarang beliau berpulang. Tinggalkan semua menjadi cerita. Dan tentu pengganti ulama-ulama teguh ini hampir sulit untuk dicari. Saya sudah berkeliling pesantren-pesantren yang konon melahirkan ulama besar Ahlussunnah wal Jamaah itu di kampung saya, saya perhatikan tabiat alumninya, saya pelajari, kadang saya seperti pewawancara, rasa-rasanya belumlah dapat menambal ganti ulama-ulama yang wafat ini. Kebanyak menang di gaya. Banyak yang hebat baca kitab kuning di pesantren yang saya lihat itu, ada yang menang lomba berkali-kali, tapi baru untuk dirinya sendiri, belum seperti ulama-ulama yang wafat ini, yang memberi manfaat untuk masyarakat banyak. Termasuk saya, saya yang digadang-gadangkan itu, kadang tergelincir oleh dunia ini.
Semoga Allah mengampuni dosa-dosa beliau. Menjadikan ilmu beliau bagi sekalian murid-muridnya. Allahu yarham.
Penulis: Apria Putra, MA.Hum (Filolog dan Dosen UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi)