Amukan Siklon Tropis 95B di wilayah Malaysia yang memiuhkan angin baratan telah menelanjangi kerapuhan sebagian besar wilayah Sumatra Barat dari sisi bencana. Cuaca ekstrem yang menghantam Sumatra Barat sejak tanggal 22 November 2025 hingga 26 November 2025 ini, memicu sejumlah bencana hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, longsor, angin puting beliung di 13 kabupaten/kota. Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumatra Barat per Rabu, 26 November 2025, melansir ada puluhan ribu warga terdampak, dengan kerugian sementara ditaksir Rp. 5 miliar.
Menariknya, sejumlah kawasan diterpa bencana bersifat perulangan. Untuk Kota Padang, kawasan terendam banjir adalah langganan banjir bila diguyur hujan dengan intensitas tinggi berdurasi lama. Misalnya kawasan Nanggalo, Koto Tangah, dan juga di Batu Busuak Kecamatan Pauh. Sementara di daerah lain seperti Palupuah di Agam kerap diterjang longsor. Begitu juga di Malalo, Kabupaten Tanah Datar. Dan teranyara Malalak di wilayah Agam.
Bambang Istijono (2013), menjelaskan bahwa 87 persen wilayah Sumatra Barat adalah kawasan pegunungan terjal. Dari total luas sekitar 4,23 juta hektare, sebagian besar lahannya merupakan lereng-lereng curam yang menjadi bagian dari pegunungan Bukit Barisan.
Di wilayah yang curam ini, mengalir sekitar 600 sungai yang menghubungkan lereng-lereng bukit dengan pesisir barat dan timur Pulau Sumatra. Kondisi geografis seperti ini menjadikan wilayah ini sangat rentan terhadap aliran puing atau debris flow, apalagi ketika curah hujan tinggi mengguyur kawasan hulu dalam waktu singkat
Perlu disadari, bencana alam seperti banjir, longsor, galodo (banjir bandang), bukan kontemporer saja, tapi sedari dulu sudah ada. Mamangan Minangkabau lainnya, yakni ‘sakali aia gadang, sakali tapian barubah (sekali air besar, sekali tepian berubah), selain bermakna bahwa masyarakat Minangkabau meyakini bahwa perubahan adalah sebuah keniscayaan, juga menggambarkan kesadaran mereka terhadap adanya fenomena alam berupa ‘air besar’ atau banjir.
Sepanjang sejarah, sama halnya dengan gempa bumi, bencana banjir atau pun banjir bandang memang sering terjadi di berbagai tempat di Sumatra Barat. Penelitian pengetahuan lokal kebencanaan masyarakat Sumatra Barat yang penulis lakukan setahun terakhir, menemukan pengalaman diterjang bencana diabadikan menjadi nama tempat (daerah). Misalnya Ampang Gadang, Galudua, Bungo Pasang, Tarandam, Kubang Putiah, Batuhampa, Malalo. Secara lisan juga, gambaran peristiwa banjir juga dikisahkan dalam cerita-cerita kaba.
Selain wujud dalam tradisi lisan, rekaman peristiwa banjir juga dapat ditemukan dalam bentuk tertulis (naskah). Menurut Guru Besar Pakar Kajian Manuskrip dari Universitas Andalas, Pramono, salah satu naskah yang secara khusus mengisahkan tentang bencana banjir di Minangkabau adalah naskah “Syair Nagari Talu Taloe Tarendam 1890”. Rekaman peristiwa banjir tersebut dapat dijadikan sumber untuk memetakan wilayah rawan banjir di Sumatra Barat.
Toponimi dan Bencana yang Mendekap
Senin, 24 November 2025, Nofizar, tetua di Jorong Duo Koto, Nagari Guguak Malalo, Kecamatan Batipuh Selatan, Kabupaten Tanah Datar, mengabarkan kampungnya diterjang banjir, persisnya sungai Duo Koto meluap. Imbasnya, sejumlah bangunan di pinggir sungai disapu luapan sungai yang berwarna coklat tua.
Malalo utamaya Jorong Duo Koto memang kerap disapa banjir, bahkan banjir bandang. Seperti pada Jumat, 17 Januari 2020, guyuran hujan lebat berjam-jam yang tak berkesudahan, meluruhkan regolit yang mencengkeram bukit-bukit penudung kampung di pinggiran Danau Singkarak itu. Seketika debris menyambangi rumah warga yang berada di bantaran sungai dengan membawa serta daya rusaknya. Setidaknya 8 bangunan terdiri dari 6 unit rumah, 1 unit toko dan 1 bengkel motor turut hanyut bersama 1 mobil dan 1 sepeda motor, puluhan ekor ternak warga.
Pada tahun yang sama, persisnya 5 April 2020, kawasan Malalo kembali diterjang galodo. Kali ini galodo menghantam Nagari Guguak Malalo. Bencana alam ini merenggut nyawa dua orang dengan nama Bainar (75) dan Zulparman alias Ijun (45). (pasbana.com: 2020).
Ditarik lagi pada peralihan abad 20 ke 21 atau disebut milenium, mewariskan jejak galodo atau longsor dahsyat di tanah Malalo. Titimangsa 24 November 2000, hari Jumat, mungkin paling diingat orang Malalo sebagai hari paling kelam. Kala itu, galodo menerjang Jorong Duo Koto, Nagari Malalo, tercatat sebanyak 11 orang meninggal dunia dan 60 rumah rusak, 200 hektare sawah rusak (keterangan Riya Darma (Eri Malalo) Datuak Rang Kayo Endah, niniak mamak Malalo).
Syahdan, pengalaman bencana menjadi ihwal toponimi Malalo. Secara leksikal dari kata malolo berasal dari kata loloh menurut dialek Malalo, yang artinya longsor atau runtuh. Loloh juga bermakna melorot, yang artinya turun.
Leksikal ini menandakan kawasan bernama Malalo sekarang sering dan rawan longsor. Sayang, dari video yang beredar dari kejadian luapan sungai di Duo Koto, Senin lalu, tampak masih ada bangunan yang berada di bibir sungai. Dan tentu hal ini kurang peka dengan kerentanan Malalo itu sendiri.
Selain di Malalo, Jorong Galudua di Nagari Koto Tuo Agam juga bertoponimi bencana. Menurut tetua di sana, penamaan Galudua bagi kampung di bawah kaki Gunung Singgalang itu karena kejadian galodo (banjir bandang) masa silam. Dan kemudian terbukti, Galudua kembali diterjang galodo pada bulan Mei 2024.
Suatu hari pakar tambo dari Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol, Padang yang kini sudah purnabakti, Sheiful Yazan, mengungkapkan Galudua ini semacam tambo bencana karena ada toponimi (asal muasal nama tempat atau kampung) yang mengajarkan mitigasi bencana.
Ditambahkannya, nama kampung lainnya yang berangkat dari pengalaman bencana selain Galudua, ada Ampang Gadang dan sebagainya. Ada nagari-nagari itu yang menjelaskan kondisi alamnya sekaligus dan jadi mitigasi bencana bagi masyarakatnya.
Mitigasi Kultural
Berangkat dari kejadian bencana akhir-akhir ini, sepertinya kita lupa bahwa ada pengetahuan lokal dalam merespons bencana itu sendiri. Sebagian pengetahuan lokal itu mungkin masih ada ada yang arif mematuhi dan menjalankannya, tapi sebagian besar sudah banyak yang abai.
Ketangguhan dalam menghadapi bencana kalau dilayangkan pandangan jauh ke belakang, tentunya menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri: warga yang hidup berdampingan dengan ancaman bencana. Mendiami wilayah rawan dan ditimpa bencana bertalu-talu, membuat masyarakat Sumatra Barat kenyang dengan pengalaman.
Ketangguhan bencana masyarakatnya terpatri dalam pengetahuan lokal bagaimana bertahan, belajar, dan hidup berdampingan dengan alam. Pengetahuan ini, meski sering terabaikan dalam perencanaan modern, menyimpan pelajaran berharga tentang cara hidup selaras dengan alam.
Adat Minangkabau selalu menganjurkan sifat waspada atau siaga. Pepatah yang mewanti-wanti kesiapsiagaan seperti berikut:
Maminteh sabalun anyuik (memintas sebelum hanyut)
Malantai sabalun lapuak (dibuat lantai baru sebelum lapuk)
Ingek-ingek sabalun kanai (siaga sebelum kena (bahaya)
Sio-sio nagari alah (sia-sia negeri akan kalah)
Sio-sio utang tumbuah (sia-sia hutang timbul)
Siang dicaliek-caliek (siang di lihat-lihat (waspada)
Malam di danga-danga (malam di dengar-dengar).
Pengetahuan kebencanaan terpumpun dalam labirin tradisi lisan, dengan penguasaan pencerita yang terbatas. Padahal, jika ditilik pengetahuan lokal kebencanaan di Sumatra Barat yang dominan berbasis tradisi lisan, bukan saja mengalirkan kesejarahan, akan tetapi juga memuat pesan kebencanaan dari perspektif keagamaan, nilai-nilai moral, cerita-cerita khayali, mantra, nyanyian, peribahasa, dan adat-istiadat. Di samping itu, rumah gadang Minangkabau dan uma Mentawai, dua jenis rumah adat di Sumatera Barat, adalah contoh adaptasi masyarakat terhadap lingkungan yang rentan dari ancaman gempa. Konstruksi rumah yang elastis mampu meredam goncangan sehingga dapat mengurangi kerusakan saat terjadi gempa. Pengetahuan ini penting untuk didokumentasikan dan dijadikan pedoman dalam mitigasi bencana khususnya mitigasi kultural
Dalam masyarakat adat Minangkabau, terdapat petuah-petuah berbasis “alam takambang jadi guru” (alam terkembang jadi guru) yang memanfaatkan tanda-tanda alam sebagai panduan menghadapi bencana.
Misalnya, petuah “badantuang guruah di hulu” mengartikan petir keras di hulu sebagai sinyal gempa besar, dan “babunyi gaga di lautan” berarti gelombang keras dari laut yang merujuk pada tsunami. Tradisi ini diturunkan melalui lisan, membantu masyarakat menafsir tanda-tanda alam sebelum bencana terjadi.
Pentingnya pemanfaatan kearifan lokal dalam mitigasi bencana juga pernah diungkapkan mantan Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati. Ia mencontohkan ilmu titen, kearifan lokal yang hidup di tengah masyarakat Jawa, biasanya digunakan masyarakat untuk mengamati dan memahami tanda-tanda alam untuk berbagai kepentingan, seperti menentukan musim tanam, dan lain sebagainya. Tapi di luar itu, juga bisa digunakan untuk membaca tanda alam yang dapat mengindikasikan potensi bencana.
“Jadi pakai ilmu kearifan dengan melihat sekitarnya, kalau orang Jawa ilmu titen, harus mempunyai kearifan melihat sekitar, biasanya kalau awan sudah tebal, menghitam, itu segera mencari tempat yang aman, masuk ke rumah atau ke gedung ya, karena biasanya akan ada hujan lebat, dapat disertai kilat dan petir, bisa disertai angin puting beliung,” kata Dwikorita di Antara Heritage Center Jakarta Pusat pada Rabu, 5 Februari 2025, dilansir dari Kompas.com.
Salah satu contoh tanda alam yang dikenal dalam ilmu titen adalah fenomena awan berekor. Awan yang menunjukkan bentuk ekor atau belalai bisa menjadi indikasi bahwa angin puting beliung sedang terbentuk. “Kalau sampai ada gambar ekor seperti belalai, itu bisa jadi angin puting beliung. Jadi itu kalau ada, segera cari tempat yang aman, jangan berteduh di bawah pohon atau di bawah tegakan-tegakan, itu bisa roboh, bahkan rumah yang tidak kokoh bisa roboh juga,” kata Dwikorita.
Syahdan, demi keselamatan, maka penting kiranya menghindari tempat-tempat yang berpotensi roboh, seperti pohon besar atau bangunan yang tidak kokoh.
Prinsipnya, ilmu titen menempatkan tanda-tanda alam menjadi pedoman dalam mitigasi bencana. Pola-pola ini nyaris sama seperti halnya yang berlaku di Sumatra Barat atau Ranah Minang. Misalnya, ilmu titen bisa digunakan memprediksi bencana di wilayah sungai dan pegunungan. Dalam hal ini, jika cuaca tampak cerah, namun ada tanda-tanda mendung yang muncul di hulu sungai, ini bisa menjadi pertanda bahwa banjir bandang akan terjadi.
Semantik yang sama terungkap dalam mamangan di Minangkabau yakni “cewang di langik tando ka paneh, gabak di ulu tando ka ujan” dalam bahasa Minangkabau memang bisa diterjemahkan menjadi: “terang di langit tanda akan panas, mendung di hulu tanda akan hujan.”
Makna mamangan itu, segera saja keluar dari sungai, meskipun mendungnya itu masih terlihat di hulu. Sebab, bisa terjadi banjir bandang, apalagi kalau air sungai tiba-tiba menjadi keruh.
Hal yang sama berlaku untuk kawasan pegunungan, jika terlihat tanda-tanda retakan atau tanah ambles di lereng gunung, atau bahkan munculnya rembesan air keruh secara tiba-tiba karena ini menunjukkan potensi bencana tanah longsor atau banjir bandang.
Musim penghujan di Minangkabau selalu menjadi momen kewaspadaan. Masyarakat diajarkan untuk bersiap sebelum bencana terjadi, seperti pepatah: sediakan payung sebelum hujan. Hal ini tidak hanya berlaku pada cuaca, tetapi juga pada ekonomi. Misalnya, saat musim penghujan datang, masyarakat dahulu mempersiapkan kebutuhan dengan menjemur gabah dan menumbuk padi sebagai persediaan.
Dalam konteks mitigasi bencana, melalui ingatan bencana banjir itu dapat belajar tentang bagaimana menyikapi dan menghadapi bencana banjir hari ini dan masa yang akan datang. Orang yang arif bijaksana, adalah orang yang dapat memahami pandangan orang lain. Dapat mengerti apa yang tersurat dan yang tersirat. Tanggap artinya mampu menangkis setiap bahaya yang bakal datang. Sabar artinya mampu menerima segala cobaan dengan dada yang lapang dan mampu mencarikan jalan keluar dengan pikiran yang jernih.
Ketiga sifat ini termasuk yang dinilai tinggi dalam adat Minang, seperti kata pepatah berikut :
“Tahu di kilek baliuang nan ka kaki, kilek camin nan ka muka. Tahu jo gabak di ulu tando ka ujan, cewang di langik tando ka paneh. Ingek di rantiang ka mancucuak, tahu di dahan ka maimpok. Tahu di unak ka manyangkuik. Pandai maminteh sabalun anyuik.” (Tahu kilat beliung arah ke kaki, kilat cermin arah ke muka. Tahu mendung di hulu tanda akan hujan, cerah di langit tanda akan panas. Ingat ranting yang akan menusuk, tahu dahan yang akan menimpa. Tahu duri yang akan menyangkut. Pandai memintas sebelum hanyut)
Mamangan ini secara sempit berarti, jangan sampai beliung (alat pertukangan yang tajam) melukai kaki, waspada apabila kilat cermin sampai ke wajah. Tahu dengan tanda-tanda alam bila akan hujan dan cerah. Bila berjalan, waspada juga bila ada ranting yang akan menusuk, dahan kayu yang akan menimpa atau duri yang akan membuat tersangkut. Pandai juga memintas atau mencegah sebelum segala sesuatu yang penting dan berharga hanyut oleh air. Secara luas, kiasan ini mengandung makna mendalam tentang kebijaksanaan dan kehati-hatian dalam menghadapi berbagai situasi.
Kala didera hujan lebat berkepanjangan, masyarakat Tanjung Sani di tepian Danau Maninjau, lazimnya dulu mempedomani gelagat alam terutama kondisi bukit-bukit curam yang mengurung nagari sebagai sebuah kesiapsiagaan.
Bila intensitas hujan meningkat, warga mulai berjaga dan memperhatikan kondisi tali-tali air atau bandar-bandar yang mengiris kontur perbukitan. Perubahan warna atau bau pada aliran air menjadi sinyal awal bagi mereka untuk waspada. Menurut seorang warga Tanjung Sani yang bergiat sebagai aktivis kebencanaan, Hafizul Hamdi, mitigasi berbasis pengetahuan lokal ini terbukti efektif.
Ia mencontohkan, longsor pada 2 Desember 1980, dengan korban meninggal puluhan orang. Korban yang berjatuhan pada longsor perbukitan Leter W di pinggiran Danau Maninjau kawasan Tanjung Sani, disinyalir tak memerhatikan tanda-tanda longsor yang menjadi alarm bagi masyarakat setempat secara turun temurun. (Hamdi: Wawancara pada 23 Maret 2025).
Kejadian serupa pun terulang pada awal Oktober 2009, dan juga di tahun 2010. Tahun 2010, seorang ibu dan anak meninggal diterjang longsor. Hafizul mengatakan, beberapa waktu sebelum longsor menujam, ada imbauan untuk meninggalkan lokasi. Rumah korban terletak persis di pinggir aliran banda, dan saat bencana terjadi, sang ibu sempat keluar namun kembali masuk ke rumah untuk mengambil pakaian dan selimut anaknya, lalu tertimbun longsor. Menurut Hafizul, kejadian ini dianggap sebagai takdir.
Masih di Tanjung Sani, ketika tanah di tepi danau mulai retak, itu menjadi pertanda bahaya. Warga tahu, mereka harus bersiap. Sampan dan biduk menjadi sarana penyelamatan. Saat gempa 2009 mengguncang, banyak warga yang melarikan diri ke keramba di tengah danau. Informasi disebarkan terlebih dahulu oleh Kepala Jorong dengan memukul canang, sebagai tanda siaga. Pola bunyi canang menandakan tingkat bahaya.
Tanjung Sani dulunya telah menyiapkan alat evakuasi berupa Biduak Pincalang dalam merespons ancaman longsor. Biduk pencalang adalah sejenis perahu besar yang terbuat dari sebatang kayu panjang sepanjang 10 – 12 meter dan dapat menampung hingga 10 – 15 orang. Dalam kondisi genting, seperti saat musim hujan disertai gelombang dan riak air danau, muatan aman hanya sekitar 8 orang.
Sejak beberapa dasawarsa terakhir, pencalang sudah sulit dijumpai. Terlebih, dibukanya akses jalan lingkar danau tahun 1983, memudahkan aksesibilitas ke Tanjung Sani via darat. Dan masyarakat lebih memilih moda transportasi kendaraan bermotor ketimbang pencalang yang mesti mengayuhnya di danau.
Menurut Hafizul, masa jayanya, setiap kampung biasanya memiliki 2 hingga 3 unit pencalang, namun penggunaannya lebih dikenal dan lazim di Nagari Tanjuang Sani dibandingkan wilayah lain di sekitar danau. Meski pencalang sudah jarang ada, namun masyarakat Tanjung Sani tetap menjadikan bibir danau sebagai pilihan untuk lokasi evakuasi. Hanya saja bentuknya berubah.
Sekaitan dengan mitigasi bencana, palangkahanbisa menjadi salah satupedoman BMKG untuk prakiraan cuaca dan juga potensi bencana hidrometeorologi. Logikanya, BMKG yang senantiasa memprediksi waktu setiap hari, bahkan tiap jam, juga menaruh perhatian pada gejala atau kondisi alam sebagai sebuah strategi berbasis kearifan lokal (palangkahan).
Palangkahan itu ibarat pedoman, penentuan kalender waktu bagi masyarakat Minangkabau untuk mencari hari baik, bulan baik, dalam berkegiatan.
M. Yunis dari Universitas Andalas yang mengkaji dalam soal palangkahan menyebut, palangkahan itu sesuatu yang berulang nan bersifat alamiah. Misal keluarnya hewan buas dari habitatnya, itu mesti dipahami suatu strategi mereka mengamankan diri. Harimau menampakkan diri adalah petanda alam, bukan prediksi waktu. “Penampakkan harimau seperti itu adalah pengalaman berulang-ulang sebelumnya, bagian dari palangkahan yang langsung dari tanda alam, bukan metode melihat prediksi berbasis waktu,” kata Yunis.
Artinya, binatang buas yang turun dari gunung ke arah pemukiman dalam jumlah banyak misalnya, diposisikan sebagai isyarat akan terjadi sesuatu seperti letusan gunung api. Sebagai pemberi tanda, maka kapan? Kisaran tanggalnya? Hari apa? Bisa dilihat dalam rumusan palangkahan.
Menurut Yunis, erupsi dahsyat Gunung Marapi tanggal 3 Desember 2023 yang menyebabkan 24 orang pendaki meninggal dunia, memunculkan simbol ‘silang’ dalam tanda waktu “kalender palangkahan”.
Palangkahan sebagai bagian mitigasi bencana, tentu bisa meminalisir korban lebih banyak. Meski bencana (alam), suatu hal yang tidak bisa ditolak, namun korban bisa ditekan dengan memahami kalender simbol palangkahan. Caranya, pada hari tertentu yang ditemukan dalam palangkahan bersifat buruk, maka hindari beraktivitas dan buat keramaian pada hari itu.
Dengan demikian, tanda-tanda alam adalah alarm bagi masyarakat dalam mengantisipasi potensi bencana, sebagai upaya mengurangi risiko kerusakan atau korban jiwa. Artinya, pada tiap bencana alam, kehancuran fisik bisa saja suatu keniscayaan, namun jika digali lebih dalam, mungkin ada respons masyarakat dalam menghadapi krisis dan rekonstruksi sosial sebagai bentuk ketangguhan. Adaptasi terhadap ancaman bencana melalui inisiatif lokal.
*Periset dan Penulis Sejarah Kebencanaan | Patahan Sumatra Institute






