Dalam Tambo Minangkabau, hubungan antara Adat dan Agama diungkapkan dalam pepatah “SYARAK MANDAKI, ADAT MANURUN.” Ungkapan ini menegaskan dinamika sejarah Minangkabau bahwa Islam berkembang dari pesisir menuju dataran tinggi (mendaki), sementara adat diturunkan dari dataran tinggi (darek) Luhak Nan Tigo ke wilayah rantau pesisir (menurun).
Wilayah rantau pesisir seperti Piaman (pada masa lalu meliputi Tiku, Pariaman, hingga Subarang Padang) merupakan kawasan strategis dalam jaringan perdagangan Internasional. Letaknya di sepanjang pesisir barat Sumatera menjadikannya pelabuhan bagi kapal-kapal dari Arab, Gujarat, dan Aceh. Arus perdagangan rempah-rempah dan komoditas laut menjadikan wilayah ini kosmopolis maritim, tempat bertemunya berbagai pedagang dan ulama dari dunia Islam. (Taufik Abdullah, 1996)
Melalui jalur perdagangan ini ajaran Islam diperkenalkan secara intens. Para pedagang muslim tidak hanya berdagang, tetapi juga membangun relasi sosial dan menikah dengan penduduk lokal.
Christine Dobbin dalam Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy (1983) mengatakan: The spread of Islam in Minangkabau began in the coastal regions, particularly around Pariaman and Ulakan, before moving inland to the hill country. “Penyebaran Islam di Minangkabau dimulai di wilayah pesisir, khususnya di sekitar Pariaman dan Ulakan, sebelum pindah ke pedalaman di daerah perbukitan.”
Perkembangan paling penting terjadi pada abad ke-17 melalui dakwah Syekh Burhanuddin Ulakan. Syekh Burhanuddin merupakan tokoh sentral dalam penyebaran Islam di Minangkabau. Dari Ulakan, ajarannya menyebar hingga Pagaruyung dan mengislamkan elite adat. (Azyumardi Azra, 1994)
Syekh Burhanuddin membawa corak dakwah yang adaptif, sehingga mudah diterima oleh masyarakat pedalaman yang masih kuat dengan struktur budaya dan ajaran Hindu-Buddha. Pendekatan dakwahnya tidak bersifat konfrontatif, melainkan menyelaraskan syari’at dengan budaya setempat, sehingga mulai meresap ke pusat kekuasaan adat di Pagaruyung.
Para penghulu, dubalang dan pemuka suku mengikuti ajaran Syekh Burhanuddin. Proses islamisasi elite adat ini memiliki implikasi besar bagi transformasi sosial dan adat di Minangkabau. Ketika elite adat menerima Islam, terjadi penyelarasan nilai antara adat yang bersumber dari tradisi lokal yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah. Maka dari sinilah lahir formula harmonis yang kemudian dikenal dengan falsafah “Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah.”
Transformasi ini bukan saja sekadar perubahan keagamaan, tetapi juga perubahan struktur sosial, norma dan praktik adat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Islam tidak menghapus adat, melainkan berjalan seiring antara adat dengan nilai-nilai syari’at Islam.
Dengan demikian, “Syarak mandaki, Adat manurun” merupakan representasi historis dari dialog panjang antara Islam dan adat Minangkabau. Proses islamisasi yang bermula dari pesisir merambat ke darek, lalu kembali membentuk tatanan adat yang dinamis ke wilayah rantau pesisir, sehingga menghasilkan sebuah tatanan sosial yang khas, di mana syari’at memberikan arah normatif, sedangkan adat menjadi kerangka budaya yang mengatur tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.






