Uda Dony, COO Danantara, Kepala Badan Pengaturan BUMN yang saya banggakan.
Kita hanya pernah sekali berada di ruang yang sama. Beberapa tahun lalu, pada acara launching sebuah aplikasi di Jakarta. Uda menjadi panelis pembicara, duduk di panggung. Sementara saya berada di bawah bersama pengunjung lain. Saya bangga melihat dari bawah.
Tidak banyak orang minang hari ini berada di tingkat kepemimpinan nasional yang strategis. Dan lebih sedikit lagi yang tetap peduli pada kampung halaman. Uda salah satunya.
Di Kabupaten Tanah Datar, tempat Uda berasal ada kecamatan Lintau Buo dan Lintau Buo Utara, terdapat hamparan peternakan ayam yang luas. Dari ayam pedaging sampai ayam petelur. Mulai dari skala ratusan ekor per keluarga sampai ratusan ribu yang bisa kita temui di Koto Panjang, Lintau Buo. Ekosistem ayam ini jauh dimulai dari mudiak (Kab 50 Kota dan Kota Payakumbuh) sampai ke hilir di nagari saya Kumanis, Kec Sumpur Kudus.
Saya menyebutnya koridor ayam sinamar. Karena nagari-nagari ini memang mengikuti aliran batang sinamar. Koridor ini adalah saksi bagaimana ekonomi rakyat bergerak dari satu komoditas: ayam. Tentu saja bersisian dengan pertanian dan perkebunan.
Di sepanjang koridor ini, usaha ayam berkembang secara alami. Bukan hasil proyek besar pemerintah, juga bukan intervensi perusahaan besar. Ia tumbuh organik, dengan irama rakyat.
Ekosistem ini tumbuh dari saling belajar, saling memperbaiki ketika gagal. Ada pedagang pakan, penyuplai obat dan vitamin ayam. Ada pengrajin ”lapiak talua” yang memasok dari jorong ke jorong. Ada kelompok sopir dan juragan truk colt diesel yang rutin mengumpulkan kotoran ayam dari kandang-kandang kecil. Kotoran ini nantinya akan diantar ke sentra hortikultura di Alahan Panjang, Solok.
Ini adalah bentuk ekonomi rakyat yang benar-benar dibangun dari bawah.
Keluarga saya sendiri adalah bagian dari ekosistem ini. Kami memiliki usaha ayam petelur di Kumanis. Saat ini diurus adik bungsu saya bersama suaminya. Menjalankan usaha dengan penuh perjuangan dan disiplin. Mulai dari bersih kandang, sortasi telur, kontrol pakan dan mengatur pengiriman. Dari usaha ini, dapur keluarga bisa berasap.
Usaha ini juga mengajarkan bagaimana hasil penjualan yang ditabung bertahun-tahun bisa lenyap dengan cepat. Pernah mereka sudah punya tabungan 300 juta menjadi hutang 100 juta dalam waktu hanya 6 bulan. Kenaikan harga pakan, terutama jagung, bertemu harga jual telur yang rendah.
Ini bukan pengalaman pribadi belaka, harga jagung dan harga telur menentukan napas ekonomi ribuan keluarga di koridor ini. Studi menyebutkan 70% struktur biaya peternakan ayam adalah pakan. Studi lain juga menyebutkan usaha ayam petelur skala kecil masih layak, tapi marginnya cukup tipis. Sehingga, sekecil apapun kenaikan harga pakan, terutama jagung bisa memicu kerugian yang signifikan.
Karena itu saya resah ketika mendengar Danantara masuk ke bisnis ayam, dalam konteks support program prioritas MBG. Jumlahnya pun tak tanggung-tanggung, 20 triliun siap digelontorkan. Bagi saya, langkah ini berpotensi mengubah keseimbangan ekosistem yang sudah puluhan tahun tumbuh dari bawah.
Ketika Sovereign Wealth institution, dengan modal besar dan kapasitas raksasa. Kemudian masuk ke industri yang margin-nya tipis dan sangat terubung usaha rakyat, resiko crowding out akan tak terhindarkan. Peternak kecil tidak mungkin bersaing lagi. Korporasi besar bisa mengamankan pakan dalam volume besar, mengatur supply chain, bahkan bisa menetapkan harga dalam skala industri.
Saya bukan menolak modernisasi, apalagi anti investasi. Tapi bagi usaha perunggasan, pendekatannya harus berbeda. Sektor ini bukan hanya soal ayam, pakan dan telur. Tapi dia adalah denyut ekonomi yang menghidupi ribuan keluarga, sopir truk, pengrajin bahkan sampai para petani sayur.
Jika Danantara benar-benar ingin memperkuat ketahanan pangan nasional, sebaiknya jangan mengambil ruang usaha rakyat. Danantara bisa mengambil jalan lain dengan menjadi peternak dan pengusaha lokal sebagai objek sekaligus subjek utama bisnis ayam. Bisa dengan menstabilkan harga jagung, memastikan akses pakan yang baik, atau memperbaikin risiko harga.
Memperkuat struktur modal juga bisa, karena sebagian peternak lokal ini adalah debitur KUR. Biasanya mereka meminjam uang ketika melakukan peremajaan ayam sebelum berproduksi penuh.
Karena itu, Uda Dony. Saya ingin mengundang Uda secara terbuka untuk berkunjung ke koridor Sinamar ini. Sebagai COO Danantara dan anak nagari, kita ”mailia” dari daerah 50 Kota, Tanah Datar dan Sijunjung.
Kita lihat bagaimana satu kandang menopang yang lain. Bagaimana jaringan informal bekerja. Seperti apa ribuan orang menggantungkan hidup pada industri yang rapuh tapi sekaligus penuh harapan ini. Kita bisa belajar bahwa keputusan besar di Jakarta, akan terasa langsung di kandang-kandang ayam yang jauh dari sorotan ini.
Semoga suara kecil ini bisa sampai ke meja pengambil kebijakan. Semoga rencana Danantara di bidang perunggasan ini ke depan bisa berpihak ke peternak kecil. Pada ekonomi rakyat dan pada koridor yang selama ini bekerja agak diam: Koridor Sinamar, rumah kita bersama ini.
Salam.






