“Djangan sekali-kali meninggalkan sedjarah! Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sedjarahnya sendiri. Dari sedjarah itulah kita belajar bagaimana kita berdiri tegak dan bagaimana kita harus melangkah ke depan,” ungkapan ini sangat terkenal.
Bagian yang perlu diingat dari pidato Presiden Republik Indonesia, Ir Soekarno dalam peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-21 di Jakarta, 17 Agustus 1966. Konteks sosial politik pada waktu itu, situasi politik pasca-G30S dan menjelang peralihan kekuasaan kepada Soeharto.
Judul asli pidato dari “Djangan Sekali-kali Meninggalkan Sedjarah” diterbitkan oleh Departemen Penerangan RI, juga dimuat di dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (Cindy Adams, 1965).
Ketika revolusi teknologi informasi hari ini, dengan segala kemudahan yang didapatkan, apakah sejarah masih penting dipelajari? Inilah sebuah kegelisahan mendalam menyaksikan realitas generasi muda hari ini.
Banyak dari anak muda yang fasih menyebut nama pemain bola terkenal atau bercerita panjang lebar tentang kehidupan selebriti, namun gagal ketika diminta menyebutkan nama-nama pahlawan nasional atau menceritakan peristiwa penting dalam perjalanan bangsa.
Fenomena ini bukan sekadar kebetulan dari kenyataan yang ada hari ini, fenomena yang ada ini merupakan gambaran tentang bagaimana peradaban bangsa telah kehilangan arah dan mengkhawatirkan.
Ada hal menarik terkait dengan penyebutan identitas generasi sekarang, yaitu Gen-Z dan kemudian muncul istilah baru terhadap penyebutan kepada generasi setelah Gen-Z yaitu Generasi Alpha, sebutan-sebutan itu sama sekali tidak terlihat tolak ukurannya, apalagi jika dihubungkan secara sederhana dengan kebangsaan.
Sebutan yang sekedar memperlihatkan identitas berbeda dengan generasi sebelumnya, sama sekali tidak melekatkan sebuah karakter baru yang unik dan berkesinambungan sebagai sebuah nation building.
Gen-Z maupun Gen-alpha, jika diperhatikan dari pola dan tingkah laku keseharian mereka, baik secara langsung maupun di media sosial, sepertinya mereka adalah generasi yang cenderung membentuk sejarah mereka sendiri dengan gaya ingin keluar dari karakter budaya dan sejarah yang sudah terbentuk.
Mereka tidak ingin dilekatkan dengan simbol-simbol masa lalu bangsa, mereka hadir dan merasa sebagai generasi berbeda yang tidak dilahirkan dari sebuah kebudayaan yang gagal. Dan karenanya, mereka kemudian tidak penting untuk mengenal sejarah bangsanya.
Dalam hubungan kausalitas dunia pendidikan, apakah ada korelasi kurikulum dengan hilangnya kesadaran sejarah ini. Apakah kurikulum tidak lagi mengangap penting pelajaran sejarah, atau jangan-jangan sedang terjadi kesengajaan untuk mencerabut ruh bangsa ini, khususnya anak mudanya dari fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga mereka kehilangan kepedulian terhadap sejarah bangsa mereka sendiri.
Pendidikan sejarah, dengan sengaja dilawankan dengan kompetensi.Kompetensi dianggap sebagai out-put pendidikan yang paling utama dibandingkan dengan sejarah. Kompetensi siswa dianggap menentukan terhadap masa depan mereka, sedangkan sejarah tidak lebih sebagai pelajaran “sambil lalu” yang tidak urgen untuk mengantarkan siswa-siswa meraih masa depan mereka.
Mengacu kepada sejarah pendidikan Indonesia di Era Orde Baru, pendidikan karakter kebangsaan melalui Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), baik tingkat sekolah dasar maupun sekolah menengah menjadi sangat penting. Mata pelajaran ini tidak hanya berisi rangkaian tahun dan peristiwa, tetapi lebih menekankan pada penanaman jiwa patriotisme, semangat pengorbanan, dan pemahaman mendalam tentang perjuangan para founding fathers.
PSPB memberikan ruang pengenalan kepada sejarah masa lalu bangsa, karakter dan maupun nilai-nilai nasionalisme dan sekaligus membentuk memori kolektif dan identitas nasional. Kini, porsi pembelajaran sejarah terserap dan terdilusi dalam pelajaran Kewarganegaraan dan Pancasila.
Pelajaran Kewarganegaraan dan Pancasila lebih sebagai sarana pengenalan materi-materi tertentu yang sama sekali tidak memberikan ruang pengetahuan terhadap nilai-nilai perjuangan bangsa.
Pertanyaan kritis kemudian muncul, ada apa? Apakah pengurangan porsi dan kehadiran khusus pelajaran sejarah ini merupakan sebuah kebijakan pendidikan yang tidak terencana dengan baik, ataukah ia adalah bagian dari upaya sistematis untuk melonggarkan ikatan kebangsaan generasi muda?
Melemahnya pemahaman sejarah akan berimplikasi pada lunturnya nasionalisme, hilangnya rasa cinta tanah air, dan mudahnya generasi penerus terpengaruh oleh nilai-nilai asing yang tidak selaras dengan jati diri bangsa. Sebuah bangsa yang kehilangan akar sejarahnya bagai kapal yang berlayar tanpa kompas, yang dengan mudah terombang-ambing dan kehilangan arah.
Bulan November yang selalu diperingati sebagai Hari Pahlawan yang jatuh pada tanggal 10 November, momentum ini bagi dunia pendidikan dan seluruh stakeholders bangsa harus memanfaatkan momen Hari Pahlawan untuk menggaungkan kembali pentingnya pendidikan sejarah perjuangan bangsa dijadikan sebagai entri untuk mengembalikan sejarah yang hilang itu.
Sudah saatnya Kementerian Pendidikan melakukan evaluasi mendalam terhadap kurikulum pelajaran terkait dengan pendidikan karakter bangsa yang salah satunya pelajaran sejarah perjuangan bangsa. Amerika sampai hari ini masih mengajarkan American History, di Inggris siswa diperkenalkan dengan perjuangan pahlawan mereka, mulai dari abad pertengahan sampai abad modern, di Jepang, di Jerman mereka semua mengajarkan sejarah bangsa mereka sendiri untuk memperkuat identitas kebangsaan dan maupun kekuatan mereka sebagai suatu bangsa.
Sudah waktunya untuk mengembalikan roh dan porsi yang signifikan bagi pelajaran sejarah, atau bahkan mempertimbangkan untuk menghadirkan kembali mata pelajaran yang secara khusus membangun karakter bangsa melalui sejarah perjuangan. Tindakan ini bukanlah sekadar romantisisme, melainkan sebuah langkah strategis untuk menyelamatkan memori kolektif dan masa depan Indonesia.
Jangan biarkan api semangat perjuangan para pahlawan padam karena generasinya sendiri tidak lagi mengenal siapa mereka dan untuk apa mereka berkorban. Kekhawatiran akan memudarnya pemahaman generasi muda terhadap sejarah bangsa bukanlah isu yang berdiri sendiri.
Jika kita telusuri lebih dalam, fenomena ini justru merupakan konsekuensi logis dari sistem pendidikan kita yang semakin pragmatis dan berorientasi pada pasar tenaga kerja. Pendidikan hari ini telah bergeser dari cita-cita Ki Hajar Dewantara untuk menciptakan “manusia merdeka” yang berpikir kritis dan berkarakter, menjadi mesin produksi “buruh terdidik” yang hanya disiapkan untuk mengisi pos-pos dalam roda industri.
Dalam paradigma yang sempit ini, pelajaran sejarah dianggap tidak “produktif” karena tidak langsung menghasilkan keterampilan teknis yang dapat diuangkan. Seorang senior dan tokoh pendidikan Resnalius Mantan Kepala SMA 1 Payakumbuh, semasa hidupnya menyebutkan “kurikulum berbasis kebutuhan dunia kerja hanya menyiapkan “tukang cebok terdidik” dari pada pemikir”. Yang dalam bahasa sekarang dapat kita narasikan dengan “ pelayan kaum kapitalis di dunia industry”
Kondisi ini sepertinya tidak berdiri sendiri, tumbuhnya logika efisiensi kapitalistik dalam kurikulum, maka pelajaran seperti Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) yang sarat dengan nilai-nilai kebangsaan, keteladanan, dan filosofi perjuangan dianggap tidak relevan karena tidak meningkatkan “employability” atau daya saing ekonomi. Sistem pendidikan kita terobsesi menciptakan tenaga kerja yang patuh, terampil dalam menjalankan tugas.
Padahal, kesadaran kritis dan jati diri bangsa itu tumbuh dan lahir dari pendidikan sejarah, dimana pengetahuan mereka akan pemberontakan melawan penjajah, perdebatan sengit para pendiri bangsa, dan semangat untuk berdaulat penuh, justru dapat membentuk manusia yang merdeka berpikir kritis, produktif dan demokratis.
Dengan direduksnya sejarah menjadi sekadar sisipan dalam pelajaran lain, kita sedang melakukan dehumanisasi terhadap generasi muda. Kita mencabut mereka dari akar narasi kolektif yang membentuk identitas dan harga diri sebagai sebuah bangsa.
Seorang buruh di pabrik mungkin terampil memasang komponen mesin, tetapi tanpa pemahaman sejarah, ia tidak akan pernah menyadari posisinya dalam rentetan perjuangan panjang kaum buruh untuk memperoleh hak-haknya. Ia akan menjadi roda gigi yang pasif, tanpa kesadaran untuk melanjutkan perjuangan para pendahulunya dalam konteks kekinian.
Perjuangan untuk mengembalikan mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa bermakan sebagai sebuah bentuk perlawanan terhadap pendangkalan pendidikan. Ini adalah upaya untuk merebut kembali kedaulatan pemikiran. Kita tidak hanya membutuhkan tenaga kerja yang terampil, tetapi lebih penting lagi, kita membutuhkan warga negara yang memahami dari mana bangsa ini berasal, pergulatan apa yang telah dilalui, dan untuk apa kemerdekaan ini diraih.
Sejarah bukanlah kenangan usang, melainkan alat untuk membaca masa kini dan merancang masa depan. Menghidupkan kembali PSPB adalah sebuah tindakan pencerahan untuk melawan kegelapan yang ingin menjadikan generasi kita sebagai sekumpulan robot pekerja yang melupakan jati dirinya sendiri. Jika kita diam saja, maka kekhawatiran Ibnu Sina dan Bung Karno bukan lagi sekadar peringatan, melainkan ramalan yang sedang kita wujudkan dengan tangan kita sendiri.
Dalam konteks globalisasi yang menghadirkan tantangan tanpa batas, lemahnya nasionalisme ini akan menjadi bom waktu. Generasi yang tidak memiliki fondasi sejarah yang kuat dengan mudah terpesona oleh narasi-narasi asing tanpa kemampuan untuk menyaringnya. Mereka akan lebih mudah menerima mentah-mentah budaya pop Korea atau nilai-nilai individualistik Barat, tanpa memiliki filter kebangsaan yang kuat untuk memilah mana yang sesuai dengan kepribadian bangsa.
Lebih berbahaya lagi, ketika dihadapkan pada konflik kebangsaan atau ancaman terhadap kedaulatan, generasi tanpa kesadaran sejarah tidak akan memiliki “dendam historis” untuk mempertahankan tanah airnya. Jiwa patriotisme yang seharusnya menggelora dalam diri setiap pemuda, justru kalah dengan kepentingan pragmatis individu.
Sejarah adalah “vaksin” mental yang akan membentuk antibodi kebangsaan pada generasi muda, membuat mereka kebal terhadap berbagai bentuk penjajahan gaya baru, baik secara budaya, ekonomi, maupun politik. Tanpa vaksinasi sejarah ini, bangsa kita ibarat pasukan yang maju perang tanpa tahu apa yang sedang mereka pertahankan. Kita membutuhkan generasi yang tidak hanya cerdas secara teknis, tetapi juga memiliki kebanggaan historis dan kesadaran untuk melanjutkan estafet perjuangan bangsa dalam bentuknya yang baru.
Mengabaikan sejarah sama saja dengan menggoroti pondasi bangsa kita sendiri, dan membiarkan Indonesia menjadi rumah besar yang megah namun rapuh karena para penghuninya tidak lagi mengenal fondasi yang menopangnya. Tidak mungkin bangsa ini menyerahkan estafet bangsa ini kepada generasi yang lahir dengan tarian-tarian barat, makanan barat, dan gaya hidup barat.
Selamat Hari Pahlawan, Dan Pahlawan yang Sebenarnya Tidak Butuh Pengakuan Karena Pahlawan hanya Berjuang dan Berbuat Untuk Negaranya Tanpa Memikirkan “Gelar”.
*Penulis: Wendra Yunaldi (Ketua Majlis Hukum dan Ham Pengurus Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat)






