Dalam salah satu episode kanal YouTube Greatmind berjudul “On Marissa’s Mind: Stoikisme, Filosofi Anti Cemas – Bagian 2” yang diunggah pada 8 Mei 2021 dan telah ditonton lebih dari 642 ribu kali, jurnalis sekaligus aktris Marissa Anita berbicara tenang, tapi tegas. Ia membahas bagaimana sebuah filsafat kuno yang lahir di Yunani ribuan tahun lalu masih punya denyut relevansi kuat di tengah hiruk pikuk dunia modern yang serba cepat dan penuh tekanan: Stoikisme.
“Stoikisme adalah kerangka berpikir dalam hidup yang sangat berguna, terutama ketika menghadapi situasi yang sangat menantang atau stres, kecemasan atau amarah,” ujarnya dalam video berdurasi 5 menit itu. Ia menyebut bahwa prinsip Stoikisme membantu manusia tetap tenang, berpikir jernih, dan menghindari stres berlebih. Dalam konteks psikologi modern, Marissa menegaskan bahwa pola pikir stoik bahkan menjadi dasar bagi terapi kognitif perilaku (cognitive behavioral therapy) yang digunakan untuk menangani depresi dan kecemasan.
Menurut wanita lulusan Universitas Loughborough ini, Stoikisme bukan sekadar teori filsafat yang mengawang, tapi juga praktik hidup yang bisa dilatih setiap hari. Ia lalu memaparkan enam latihan yang bisa diterapkan. Pertama, latihan kemalangan melatih diri menghadapi skenario terburuk agar tak gentar bila penderitaan sungguh datang. Ia mencontohkan filsuf stoik Seneca yang dua kali setahun sengaja hidup dalam kesederhanaan ekstrem: memakai pakaian lusuh, tidur di lantai, dan makan roti keras. “Tujuannya bukan menyiksa diri, tapi menguatkan mental ketika hidup tiba-tiba berbalik arah,” jelasnya.
Kedua, dikotomi kendali, yakni kemampuan membedakan mana yang bisa dikendalikan dan mana yang tidak. “Sekeras apa pun berusaha, kita tak bisa memaksa orang lain menyukai kita. Jadi gunakan tenaga untuk hal yang bisa kita ubah,” ucapnya. Ketiga, latih persepsi. Marissa mengutip Marcus Aurelius: ‘Pilih untuk tidak tersakiti, maka kamu tidak akan tersakiti.’
Keempat, melihat kehidupan dengan perspektif luas, seperti astronaut yang memandang bumi dari kejauhan. “Kekuasaan, kemewahan, bahkan perang, tampak konyol ketika kita melihatnya dari atas,” katanya, mengutip filsuf Pierre Hadot. Kelima, mengingat bahwa tak ada yang kekal. Semua status, reputasi, atau hubungan pada akhirnya akan berlalu.
Dan yang terakhir, memento mori, ingatlah kematian. Marissa mengutip Marcus Aurelius yang menulis, “Kita bisa meninggalkan hidup ini kapan saja. Jadikanlah ini penentu apa yang kita lakukan.” Bagi Marissa, kesadaran akan kefanaan bukan untuk menakuti, tapi untuk menuntun agar hidup dijalani dengan makna.
Di era penuh kecemasan ini, kata Marissa Anita, Stoikisme mengajarkan manusia modern untuk menenangkan diri, bukan dengan menghindari badai, tapi dengan belajar menari di tengahnya. (*)
Penulis: Habibur Rahman (Alumnus Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi). Aktif sebagai pegiat media sosial dengan konten memori kolektif ketokohan Tan Malaka.






