Dalam kebudayaan Minangkabau, merantau bukan sekadar tradisi, melainkan bagian dari jati diri. Ia adalah ujian untuk menguji batang tarandam—akar kehidupan seseorang ketika dihadapkan pada kenyataan keras dunia luar. Dari sanalah falsafah “manjapuik nan lapuak, manampuah nan lanyau” lahir dan menjadi panduan hidup banyak perantau Minang. Ungkapan ini secara harfiah dapat berarti “memungut yang terbuang, menampung yang tercecer, maju menempuh yang sudah jelas sulit dilalui”. Namun dalam makna batin, pepatah ini menuntun manusia agar pantang menyerah, tidak malu memulai dari bawah, serta pandai memanfaatkan peluang sekecil apa pun untuk menegakkan marwah diri.
Bagi orang Minang, keberangkatan ke rantau adalah peristiwa spiritual sekaligus sosial. Di sana seseorang tidak hanya mencari penghidupan, tetapi juga membangun kehormatan keluarga dan suku. Dalam perjalanan panjang itu, sering kali yang dihadapi bukan jalan lapang, melainkan semak belukar persoalan. Namun, justru di situlah “manjapuik nan lapuak, manampuah nan lanyau” membuktikan dirinya sebagai panduan yang realistis—mengajarkan bahwa di balik kegagalan dan sisa-sisa kecil kehidupan, selalu ada kemungkinan untuk bangkit dan mencipta nilai baru.
Etos Memulai dari yang Kecil
Perantau Minang dikenal tidak gengsi memulai dari pekerjaan yang dianggap yang mungkin tampak sulit, tampak tidak punya prospek dan bahkan tingkat bawah. Mereka bisa menjadi pedagang kecil, kerja mengaki dengan urang, baikpun pekerja kasar sekalipun. Namun, yang kecil itu bukan tanda kelemahan, melainkan ladang penggemblengan. Filosofi “manjapuik nan lapuak, manampuah nan lanyau” mengajarkan bahwa dari sisa-sisa kecil itu lahir kebesaran. Yang rusak bisa diperbaiki, yang tercecer bisa dikumpulkan, dan yang dianggap remeh bisa menjadi jalan menuju kemuliaan jika dijalani dengan tekun dan jujur.
Banyak kisah sukses perantau Minang yang dimulai dari kesederhanaan. Dari menjual bubua samba (lontong sayur), gorengan hingga membuka warung nasi Padang, dari berdagang kecil (kaki limo) di pasar hingga menjadi pengusaha besar. Semua berawal dari kesanggupan memungut “yang lapuk” —peluang kecil yang diabaikan orang lain—dan menampung “yang lanyau”—pengalaman pahit yang dijadikan pelajaran. Prinsip ini adalah bentuk keberanian untuk tidak menyerah kepada keadaan dan tidak menunggu nasib baik datang dengan sendirinya.
Membaca Peluang di Tengah Kesempitan
Dalam konteks modern, makna pepatah ini tetap relevan, terutama bagi generasi muda Minangkabau yang merantau di kota-kota besar atau luar negeri. Tantangan hidup hari ini bukan lagi keterbatasan lahan atau modal, melainkan keterbatasan kemampuan beradaptasi di tengah perubahan yang cepat. Manjapuik nan lapuak, manampuah nan lanyau menjadi ajaran tentang kreativitas sosial: kemampuan melihat peluang di antara kesempitan, dan mengubah keterbatasan menjadi kekuatan.
Perantau yang menghayati falsafah ini tidak mudah mengeluh. Ia tidak menunggu keadaan ideal untuk bertindak. Jika tidak ada kesempatan, ia menciptakannya. Jika tidak ada ruang, ia mempersempit jarak agar muat untuk satu langkah. Prinsip ini juga meneguhkan karakter kaum dagang Minangkabau yang terkenal ulet: lebih memilih bergerak dengan apa yang ada daripada berhenti menunggu apa yang belum pasti datang.
Kreativitas sebagai Bentuk Ketahanan
Falsafah ini sekaligus mencerminkan ketahanan budaya Minangkabau dalam menghadapi perubahan zaman. Di rantau, banyak nilai adat dan tradisi yang harus dinegosiasikan dengan kenyataan modern. Namun, prinsip manjapuik nan lapuak, manampuah nan lanyau menuntun perantau untuk tidak kehilangan jati diri. Mereka boleh menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, tetapi tetap memegang teguh nilai asal: kerja keras, tanggung jawab, dan marwah.
Dalam dunia yang kini didominasi oleh logika digital dan kapital, sikap seperti ini menjadi modal sosial yang langka. Sementara banyak orang sibuk mengejar hal besar dengan jalan pintas, falsafah ini mengingatkan bahwa kemajuan sejati dibangun dari hal-hal kecil yang dikerjakan dengan tekun. Kreativitas yang lahir dari keterbatasan jauh lebih berkelanjutan daripada ambisi yang lahir dari kemewahan semu.
Dari Lembah ke Kota Menempa Diri dan Marwah
Di banyak daerah rantau, perantau Minang hadir dengan wajah tangguh dan penuh daya cipta. Mereka menjadi contoh konkret dari pepatah ini. Di balik keberhasilan rumah makan Padang yang menjamur di seluruh Indonesia, tersimpan filosofi manjapuik nan lapuak, manampuah nan lanyau. Dari dapur sederhana di kontrakan sempit, mereka membangun jaringan kuliner yang menjadi simbol ketekunan dan disiplin kerja.
Namun perjuangan itu bukan semata soal ekonomi. Ia juga soal harga diri. Dalam pandangan Minang, seorang perantau tidak hanya membawa dirinya, tetapi juga membawa nama kaum dan nagari. Maka, ketika ia berhasil mengubah yang “lapuk” menjadi “baru”, dan yang “lanyau” menjadi “berharga”, keberhasilannya menjadi kebanggaan bersama. Ia bukan sekadar individu sukses, tetapi representasi dari daya hidup budaya yang tahan uji.
Menolak Putus Asa dan Menyulam Kembali Harapan
Falsafah ini juga mengandung dimensi spiritual yang halus. Ia mengajarkan bahwa tidak ada yang benar-benar sia-sia dalam hidup jika seseorang mau belajar darinya. Apa yang tampak sebagai kegagalan hari ini mungkin hanyalah bahan mentah bagi keberhasilan esok hari. Dalam istilah Minang, hidup adalah lapiak nan tabang, batu nan tagamang—lapisan-lapisan pengalaman yang harus dilewati untuk mencapai kedewasaan jiwa.
Perantau yang menghayati nilai ini tidak akan takut kehilangan. Sebab ia percaya bahwa selama tangan dan niat masih bekerja, harapan bisa disulam kembali. Dalam kesunyian rantau, di antara kesulitan ekonomi dan rindu kampung halaman, falsafah ini menjadi suluh kecil yang menjaga semangat agar tidak padam. Ia mengajarkan bahwa manusia bukan diukur dari berapa kali jatuh, melainkan seberapa banyak ia memungut kembali serpihan hidup yang berserak.
Nilai yang Melampaui Zaman
Menariknya, pepatah manjapuik nan lapuak, manampuah nan lanyau tidak hanya relevan untuk individu, tetapi juga bagi bangsa. Ia mengandung pelajaran tentang pembangunan yang berbasis keberdayaan, bukan ketergantungan. Dalam konteks Indonesia modern, falsafah ini bisa dibaca sebagai ajakan untuk memulihkan potensi lokal, menghidupkan kembali nilai-nilai yang “lapuk” oleh modernitas, dan mengumpulkan kembali kearifan yang tercecer di antara arus globalisasi.
Masyarakat Minangkabau telah membuktikan bahwa filosofi lama bisa menjadi modal baru. Mereka menghidupkan ekonomi rantau dengan modal kejujuran dan jaringan sosial, bukan hanya uang. Mereka memperbarui adat tanpa meninggalkan akar, dan membangun reputasi melalui kerja keras, bukan warisan. Nilai-nilai inilah yang seharusnya menjadi sumber inspirasi dalam membangun bangsa: menghidupkan yang mati, memperbaiki yang rusak, dan menegakkan kembali yang runtuh.
Implementasi dalam Kepemimpinan: Dari Perjuangan ke Kemerdekaan
Peribahasa “manjapuik nan lapuak, manampuah nan lanyau” bukan hanya panduan moral bagi individu perantau, tetapi juga menjadi napas kepemimpinan orang Minangkabau dalam sejarah perjuangan bangsa. Sejak masa pergerakan nasional, tokoh-tokoh Minang seperti Haji Agus Salim, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Muhammad Natsir, Buya Hamka, Tan Malaka, dan Sutan Sjahrir menunjukkan semangat untuk “memungut yang lapuk” dalam arti membangkitkan kesadaran nasional dari sistem kolonial yang usang. Mereka menampung “yang lanyau” dengan menghidupkan kembali semangat rakyat yang tercerai-berai oleh penindasan dan perbedaan kelas. Kepemimpinan mereka bukan berdiri di atas kemewahan, melainkan dari kedalaman intelektual, kesederhanaan, dan kemampuan mengolah gagasan kecil menjadi kekuatan besar yang mengguncang penjajahan.
Setelah Indonesia merdeka, falsafah ini tetap hidup dalam gaya kepemimpinan Minangkabau yang cenderung egaliter, musyawarah, dan berpihak pada nilai kerja keras. Mohammad Hatta misalnya, menerapkan semangat manjapuik nan lapuak, manampuah nan lanyau dalam merancang ekonomi kerakyatan—berusaha memulihkan yang rusak akibat kolonialisme dan menyatukan yang tercerai-berai menjadi sistem koperasi yang berkeadilan. Spirit yang sama tampak pula dalam sikap para pemimpin Minang di daerah: mereka tidak menunggu perubahan datang dari pusat, tetapi menciptakan perubahan dengan menggali potensi yang ada di nagari. Dengan demikian, peribahasa ini bukan hanya cermin etos kerja perantau, melainkan juga fondasi moral kepemimpinan Minangkabau dalam perjalanan panjang bangsa Indonesia menuju kemerdekaan dan pembangunan.
Implementasi dalam Dunia Pendidikan dan Pembentukan Intelektual Minangkabau
Falsafah “manjapuik nan lapuak, manampuah nan lanyau” juga tercermin kuat dalam semangat orang Minangkabau membangun sumber daya manusia melalui jalur pendidikan. Dalam sejarahnya, masyarakat Minang tidak pernah memandang pendidikan sebagai urusan orang kaya, tetapi sebagai tanggung jawab moral untuk memperbaiki diri dan menegakkan marwah kaum. Dari surau-surau kecil di kampung hingga perguruan tinggi di kota, semangat memungut yang lapuk dan menampung yang lanyau menjadi roh bagi para pelajar Minang: memungut ilmu dari mana saja, bahkan dari keadaan yang sulit, dan menampung pengetahuan dari pengalaman orang lain tanpa merasa cukup dengan apa yang telah dimiliki. Karena itu, sejak masa kolonial hingga kini, banyak cendekiawan dan pemikir bangsa lahir dari rahim Minangkabau—menandakan bahwa keterbatasan bukan penghalang bagi lahirnya keunggulan intelektual.
Kecintaan pada ilmu ini melahirkan generasi Minangkabau yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga kuat secara moral dan sosial. Mereka mengamalkan semangat manjapuik nan lapuak dengan terus memperbarui pengetahuan agar tidak lapuk oleh zaman, dan manampuah nan lanyau dengan menghimpun pengalaman serta kebijaksanaan dari berbagai tradisi berpikir dunia. Itulah sebabnya, banyak tokoh intelektual Minang—dari Haji Agus Salim, Mohammad Hatta, hingga generasi akademisi masa kini—menjadi contoh nasional tentang bagaimana pendidikan dijadikan tangga pengabdian, bukan sekadar alat mencari pekerjaan. Pendidikan bagi orang Minang bukan tujuan akhir, melainkan proses berkelanjutan untuk memperbaiki yang rusak, memperbarui yang usang, dan mengumpulkan serpihan ilmu menjadi peradaban.
Bara dari Abu
Hidup di rantau adalah perjalanan spiritual dan aktualitas hidup yang panjang. Banyak yang datang dengan tangan kosong, tapi pulang membawa pengalaman, kebijaksanaan, dan kehormatan. Pepatah manjapuik nan lapuak, manampuah nan lanyau menjadi semacam doa tersembunyi dalam setiap langkah mereka—doa agar manusia tidak cepat menyerah pada nasib, tetapi terus berusaha memperbaiki dan mencipta dari sisa-sisa yang tersisa.
Pada akhirnya, filosofi ini mengajarkan bahwa hidup bukanlah soal memiliki segala sesuatu, melainkan kemampuan untuk menyalakan api dari abu yang tersisa. Di sanalah letak sejati ketekunan dan martabat seorang perantau Minangkabau: menjadikan segala kekurangan sebagai bahan bakar untuk berdiri lebih tegak, hidup lebih bermakna, dan pulang membawa nama baik bagi diri serta kampung halamannya.
*Penulis: Yazid Bindar (Dosen dan Guru Besar Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung)



