Tulisan Aidil Aulya yang viral tentang Mencari Prestasi Sumbar, mendadak jadi buah bibir dan menjadi diskusi hangat ruang publik pekan ini. Beragam reaksi bermunculan. Mulai dari ramainya komentar netizen, konten kreator, buzzer dan influencer, hingga kontra narasi oleh pemerintah dan simpatisan.
Para kepala daerah hasil Pemilihan Serentak Tahun 2024 silam, telah resmi dilantik berjamaah oleh Presiden Prabowo pada 20 Februari 2025. Tujuh bulan sudah mereka diambil sumpah untuk berbakti melayani masyarakat dan membangun daerah. Maka, patut pula kiranya kritikan akademis mulai bersahutan menjelang tutup buku tahunan.
Saya teringat bagaimana dulu kawan-kawan jurnalis berlomba menyisir kepala daerah yang baru dilantik. Program 100 hari kerja diliput plus minusnya. Begitu pula setiap peringatan hari jadi kota dan provinsi. Saya biasanya ditugaskan menulis indepth news atau liputan mendalam tentang capaian kinerja pemerintah, dipadukan dengan kritikan tokoh dan akademisi, disertai harapan masyarakat.
Dulu itu, para pejabat humas yang kreatif dan inovatif, biasanya akan menghubungi agen periklanan untuk menyuguhkan advertorial. Di dapur redaksi, wartawan pun boleh protes ke koordinator liputan. Berita yang ditulis secara komprehensif, tidak boleh dipangkas redaktur lantaran terdampak pesanan antara pejabat dan orang iklan. Tetap harus ada pagar api antara pencitraan dan liputan.
Kalau kini, kabarnya menunggu intruksi dulu, baru pejabat dinas tergerak memposting data statistik. Sepertinya akan ada gerakan kontra Aidil-isme di era kekinian. Saya pun termangu entah apa yang hendak disebut.
Kembali ke tulisan Aidil, sejatinya mudah bagi publik untuk mengukur kinerja pemerintah. Caranya, mampirlah ke website resmi KPU, atau media sosial yang dikelola penyelenggara pemilu. Seirama dengan penilaian keterbukaan informasi publik, masyarakat bisa datang langsung atau bersurat ke kantor KPU setempat untuk meminta salinan Visi Misi para mantan paslon itu.
Dalam sistem kepemiluan tanah air, tidak pernah ada visi dan misi Kepala Dinas dan Kepala Biro, selevel Sekretaris Daerah pun juga tidak. Yang ada hanyalah visi misi Kepala Daerah (Kada). Bahkan di pucuk pemerintahan pusat sekalipun, tidak ada visi misi menteri, melainkan hanyalah visi misi presiden dan wakil presiden.
Visi Misi Kada itu pun satu kesatuan. Dua kepala dalam satu paket. Bagai gelas dan tadah. Setelah pemilihan, Kada terpilih, tentu harus saling seirama dalam menjalankan visi dan misi itu. Jarang tadah lebih panas dari gelas. Begitupun gelas tiada pernah meninggalkan tadah.
Sebagai salah satu dokumen persyaratan pencalonan ketika mendaftar ke KPU setempat, sebagaimana Pasal 45 Ayat (2) huruf g Undang Undang Pilkada, terdapat kewajiban menyerahkan naskah visi, misi, dan program Calon Kada. Dokumen ini, mengacu pada Pasal 64 Ayat (1), wajib selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Jangka Menengah Daerah.
Penyelenggara pemilu pun sudah melakukan klarifikasi kesesuaian naskah visi misi Cakada itu ke Bappeda atau Bapelitbangda. Bila tidak lengkap dan sesuai, KPU bisa mengembalikan berkas persyaratan pencalonan itu untuk diperbaiki oleh pasangan calon.
Saat pemilihan serentak 2024, visi misi Kada itu disebarkan KPU di seluruh Tempat Pemungutan Suara. Agar pemilih bisa membaca, merenungi dan membandingkan program pasangan calon sebelum memutuskan pilihan di bilik suara.
Semasa kampanye, KPU juga telah memfasilitasi debat publik agar masyarakat luas bisa mengenal visi misi kada lebih dalam. Ada yang berbicara soal bantuan, program sosial, hal-hal gratis, lapangan kerja, investasi, pendapatan daerah, dan macam-macam.
Meski Pilkada usai, arsip Visi Misi Kada itu akan terus terpelihara disimpan KPU. Baik yang tertulis maupun yang berbentuk salinan digital. Siaran langsung media sosial KPU yang menayangkan debat publik antar kandidat, pun masih bisa diakses. Sekali lagi siapa saja boleh mampir.
Bukankah kini jamannya era kliper, konten kreator sangat paham akan hal ini. Potongan video debat publik amat mudah diviralkan kembali. Visi Misi Kada yang dulu diucap dengan lantang itu, mudah disiarkan ulang. Eits, jangan lupa berlangganan chanel Youtube KPU.
Dari tulisan Aidil Aulya kita belajar terbangun sebelum ayam berkokok. Bagi para pemimpin terpilih, bersiaplah. Kritikan akan bergelinding bak gunung es. Memang benar masyarakat kini hidup di era disrupsi informasi. Netizen akan selalu benar, dan kian bertumbuh. Jangan tunggu Generasi Z turun ke jalan, cukuplah itu tauladan di belahan dunia lain.
Rifa Yanas pernah menjadi wartawan dan kini jadi penggiat Pemilu