Interpretasi "Malas-Malas Aja" Bangun Kilang Minyak Baru

Interpretasi "Malas-Malas Aja" Bangun Kilang Minyak Baru

Prof. Ir. Yazid Bindar, M.Sc. Ph.D (Foto: Dok. Pribadi)

Pernyataan seorang petinggi negeri yang mengatakan: “Kilang itu bukan kita tidak bisa bikin atau kita tidak bisa proyeknya, cuman Pertamina yang malas-malas aja” memunculkan pertanyaan serius dalam wacana energi nasional. Sebuah pertanyaan timbul tentang data apa yang digunakan tentang kelahiran pernyataan kualitatif "malas-malas aja". Frasa malas
-malas aja menyiratkan bahwa ketiadaan pembangunan kilang minyak baru di Indonesia bukan semata karena ketidakmampuan teknis atau finansial, melainkan ada faktor lain yang lebih kompleks, baik terkait kebijakan, tata kelola, maupun pilihan strategi energi nasional.

Dalam konteks akademik, pernyataan tersebut dapat ditafsirkan sebagai simbol ambivalensi kebijakan energi. Di satu sisi, Indonesia membutuhkan infrastruktur pengolahan minyak untuk mengurangi ketergantungan impor. Namun di sisi lain, tidak adanya pembangunan kilang baru menimbulkan spekulasi: apakah keputusan ini didasarkan pada keterbatasan sumber daya, strategi ekonomi tertentu, atau justru kelemahan tata kelola institusional.

Pentingnya Kilang Minyak dalam Sistem Energi Nasional

Kilang minyak merupakan salah satu infrastruktur energi paling vital di sebuah negara. Fungsinya bukan hanya untuk mengolah minyak mentah menjadi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan produk turunannya, tetapi juga sebagai penopang kedaulatan energi. Tanpa kilang yang memadai, sebuah negara akan rentan terhadap fluktuasi harga energi global serta bergantung pada impor BBM.

Indonesia sendiri memiliki beberapa kilang minyak yang sebagian besar dibangun pada era 1970-an hingga 1990-an. Kapasitasnya belakangan ini relatif stagnan, sementara pertumbuhan konsumsi energi meningkat pesat seiring pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan industrialisasi. Ketidakseimbangan antara kebutuhan energi domestik dan kapasitas pengolahan minyak inilah yang membuat isu pembangunan kilang baru menjadi sangat strategis.

Apakah Keterbatasan Dana Pembangunan ?

Interpretasi awal yang dapat diajukan adalah bahwa Indonesia tidak membangun kilang minyak baru karena keterbatasan dana. Pembangunan sebuah kilang membutuhkan biaya investasi yang sangat besar. Dalam kondisi fiskal yang terbatas, terutama ketika negara harus menyeimbangkan berbagai kebutuhan pembangunan seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, proyek kilang baru mungkin dipandang tidak prioritas.

Selain itu, risiko finansial yang tinggi juga menjadi pertimbangan. Harga minyak global sangat fluktuatif, dan ketidakpastian pasar energi membuat investor enggan menanamkan modal besar dalam proyek jangka panjang. Bagi pemerintah, hal ini menciptakan dilema: apakah lebih bijak menggunakan dana untuk proyek kilang, atau mengalokasikannya pada sektor lain yang lebih cepat menghasilkan dampak ekonomi.

Apakah Fokus pada Optimalisasi Kilang yang Ada ?

Interpretasi berikutnya adalah keputusan untuk tetap berfokus pada kilang minyak yang sudah ada tanpa melakukan ekspansi pembangunan baru. Dengan pendekatan ini, strategi yang ditempuh adalah modernisasi, revitalisasi, dan efisiensi operasional kilang eksisting.

Pilihan ini dapat dianggap realistis, karena meningkatkan kapasitas dan efisiensi kilang lama jauh lebih murah dibanding membangun yang baru. Selain itu, pendekatan ini memungkinkan adanya peningkatan mutu produk BBM yang dihasilkan tanpa harus mengeluarkan biaya investasi besar. Namun demikian, strategi ini memiliki keterbatasan, karena kilang lama secara teknologi sudah banyak yang usang, sehingga kapasitas peningkatannya terbatas.

Apakah kesulitan mendapatkan Minyak Mentah sebagai bahan baku ?

Interpretasi lain yang dapat diajukan adalah bahwa pembangunan kilang baru terhambat oleh kesulitan mendapatkan pasokan minyak mentah yang memadai. Indonesia sejak awal 2000-an telah berubah dari negara pengekspor minyak menjadi negara net importer. Produksi domestik terus menurun karena lapangan minyak tua mengalami penurunan produksi, sementara eksplorasi baru berjalan lambat.

Dalam kondisi demikian, membangun kilang baru justru menimbulkan pertanyaan: dari mana minyak mentah yang akan diolah? Jika harus mengandalkan impor minyak mentah, maka kilang baru tidak memberikan keuntungan strategis yang signifikan, karena tetap menimbulkan ketergantungan pada pasar global. Selain itu, harga keekonomian antara minyak mentah impor dan harga jual BBM domestik yang dikendalikan pemerintah sering tidak seimbang, sehingga risiko kerugian finansial menjadi besar.

Apakah tetap Pilihan Kebijakan Impor BBM Jadi ?

Interpretasi terakhir adalah bahwa pemerintah secara sadar menetapkan kebijakan untuk mengimpor BBM jadi, sehingga kilang baru tidak perlu dibangun. Dalam kerangka ini, kebijakan energi dipandang pragmatis: lebih murah mengimpor BBM jadi ketimbang menanggung biaya besar membangun kilang dan risiko pasokan minyak mentah.

Pilihan ini memang secara jangka pendek memberikan keuntungan fiskal dan praktis. Namun dalam jangka panjang, kebijakan ini membuat Indonesia semakin bergantung pada negara lain dalam hal pasokan energi. Ketahanan energi nasional menjadi rentan, terutama jika terjadi gejolak harga atau konflik geopolitik yang mengganggu rantai pasok global.

Dampak Tidak Membangun Kilang Baru

Jika skenario tidak membangun kilang baru terus berlanjut, maka Indonesia akan menghadapi beberapa dampak serius. Pertama, defisit neraca perdagangan berpotensi melebar karena impor BBM terus meningkat. Kedua, APBN akan terbebani oleh subsidi energi, terutama ketika harga minyak dunia melonjak. Ketiga, ketahanan energi nasional semakin rapuh, karena pasokan energi sangat bergantung pada faktor eksternal.

Di sisi lain, ketergantungan impor BBM juga dapat menimbulkan kerentanan politik. Negara-negara pemasok dapat menggunakan energi sebagai instrumen diplomasi dan tekanan politik. Situasi ini menempatkan Indonesia pada posisi yang kurang menguntungkan dalam percaturan global.

Kebutuhan Reformasi Kebijakan Energi

Dalam perspektif kebijakan publik, pernyataan bahwa kilang tidak dibangun bukan karena tidak mampu, tetapi karena faktor “malas” atau ketidakseriusan, menunjukkan adanya masalah tata kelola. Reformasi kebijakan energi menjadi krusial agar keputusan strategis terkait kilang minyak tidak hanya dilihat dari kacamata pragmatis, tetapi juga visi jangka panjang kedaulatan energi.

Reformasi yang dimaksud mencakup perbaikan tata kelola produsen BBM Indonesia sebagai BUMN strategis, peningkatan iklim investasi energi, serta konsistensi regulasi dalam proyek kilang. Tanpa itu, Indonesia akan terus terjebak dalam siklus ketergantungan energi yang menggerus kemandirian nasional.

Antara Strategi dan Kebutuhan Nasional

Uraian ini menunjukkan bahwa ketiadaan pembangunan kilang minyak baru di Indonesia dapat ditafsirkan dalam berbagai perspektif: keterbatasan dana, fokus pada kilang lama, kesulitan pasokan minyak mentah, dan kebijakan impor BBM jadi. Semua interpretasi ini saling melengkapi dalam memahami kompleksitas kebijakan energi Indonesia.

Keputusan tidak membangun kilang baru bukanlah hal sederhana, melainkan refleksi dari dinamika politik, ekonomi, dan institusional yang menyertainya. Bagi Indonesia, tantangannya adalah bagaimana menyeimbangkan antara kepentingan jangka pendek yang pragmatis dengan visi jangka panjang untuk mencapai kedaulatan energi yang berkelanjutan.

*Penulis: Prof. Ir. Yazid Bindar, M.Sc. Ph.D (Dosen dan Guru Besar pada Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung)

Tag:

Baca Juga

Aidil Aulya
Di Balik Prestasi Sumatra Barat
Mencari Prestasi Sumatra Barat
Mencari Prestasi Sumatra Barat
Komitmen Menjaga Ekspektasi
Komitmen Menjaga Ekspektasi
Menggugat Status Gambir Indonesia sebagai Pengekspor Mentah saja dan Pasar Global Produk Olahannya
Menggugat Status Gambir Indonesia sebagai Pengekspor Mentah saja dan Pasar Global Produk Olahannya
Algoritma Kesepian Digital Manusia
Algoritma Kesepian Digital Manusia
Manifesto Kebangsaan untuk Indonesia Bangkit dari Kerapuhan
Manifesto Kebangsaan untuk Indonesia Bangkit dari Kerapuhan