Langgam.id - Rencana Menteri Pertanian RI, Amran Sulaiman, untuk segera mewujudkan program hilirisasi produk komoditi gambir asal Sumatra Barat membawa angin segar bagi para pelaku hingga petani pengolah gambir di sejumlah daerah.
Dalam sebuah petemuan di aula kantor Gubernuran bersama Gubernur Sumbar Mahyeldi Ansharullah, serta sejumlah Bupati penghasil utama komoditi gambir, Mentan Amran menyampaikan perhatiannya begitu mendengar pemaparan dan data potensi ekonomi terhadap pengelolaan industri gambir.
"Saya bahkan sampai tak bisa tidur memikirkan potensi gambir di Sumbar ini. Apakah benar angka ini, bisa Rp5.000 triliun setahun, bahkan PDB Sumbar bisa melampaui angka APBN kita," kata Amran, dalam pertemuan itu usai mendengar pemaparan sejumlah professor Universitas Andalas (Unand) di Padang, Kamis (25/9) lalu.
Mentan Amran Sulaiman, juga sesumbar menyebut ia di kementriannya akan segera membuatkan program khusus terkait hilirisasi gambir. Dia menyebut, Indonesia mengekspor sebanyak 80 persen kebutuhan gambir dunia, utamanya India.
"Jadi, komoditas ini adalah emas. Kalau kita hilirisasi, bisa jadi shampo, bisa jadi tinta, bisa jadi skincare, ini emas ini kita jaga,” tambah Amran.
Dalam pemaparannya, Amran sempat meminta penjelasan terhadap data potensi produksi dan pengolahan gambir dari Unanda dan Pemprov Sumbar. Dalam data tersebut diketahui, bahwa harga jual gambir di tangan petani, dalam bentuk daun gambir segar hanya dihargai sekitar Rp3.000 per kilogram.
Seratus kilogram daun segar nilainya sekitar Rp300 ribu, jumlah yang jelas tidak setara dengan tenaga dan waktu yang terkuras. Namun, jika melalui pengolahan, nilainya bisa melonjak tajam.
Sementara, getah gambir bisa dijual Rp30 ribu perkilogram.
Lebih jauh lagi, jika diolah menjadi tanin dengan kadar ≥ 70 persen, nilainya bisa mencapai Rp9,6 juta. Produk turunan lainnya, seperti katekin ≥ 90 persen, bernilai Rp4,5 juta, sementara Marker-API ≥ 99 persen bisa menembus Rp96 juta hanya dari 100 kilogram daun.
Rencana hilirisasi produk gambir oleh Menteri Pertanian RI, Amran Sulaiman, mendapat dukungan penuh dari sejumlah petani di Sumatera Barat, salah satunya Kabupaten Limapuluh Kota yang merupakan salah satu daerah penghasil utama komodity hijau tersebut.
Sepdi Tito, salah seorang pelaku yang juga petani gambir asal Kabupaten Limapuluh Kota berharap, pemerintah dapat menyegerakan program hilirisasi yang dicanangkan oleh pemerintah pusat dan provinsi, berbekal hasil riset dan penelitian dari akademisi Universitas Andalas Padang.
Menurutnya, di tengah harga Gambir yang kerap berafluktuasi, para petani gambir di Sumatera Barat selama ini masih menggantungkan harapan besar agar hasil panen mereka benar-benar dihargai sesuai dengan potensi ekonominya.
Tito juga menuturkan, bahwa dirinya terharu sekaligus bersemangat ketika mendengar pemaparan dan keyakinan penuh profesor Alvi dari Universitas Andalas (UNAND) Padang. Dalam paparan itu, terungkap bahwa nilai ekonomis gambir bersama turunannya bisa mencapai angka yang fantastis.
"Saya dan petani lain sangat berharap,akan segera di realisasikan. Karena dalam kondisi kami dengan harapan besar saat ini, harga Gambir justru turun," ungkap Tito kepada wartawan di Limapuluh Kota, Sabtu (2/10).
Rencana kedepannya, ia bersama teman-teman seperjuangan di Sumatera Barat akan memproduksi gambir dengan kadar katekin minimal 70 persen. Jika produksi sudah ada sekitar 5 ton, nanti ia akan mencoba mendatangi dan menjualnya ke profesor Alvi dari Unand.
"Karena hitung-hitungan kita simpel saja, Rp2.000.000 x 5000 kilogram, kami sudah mengantongi uang Rp10 miliar. InshaAllah, kami akan berbagi 50 persen dari total penjualan tersebut kepada orang yang membutuhkan di Lima Puluh Kota," ujarnya.
Mulai dari getah Gambir seharga Rp30.000 per kilogram, hingga turunannya seperti katekin dengan nilai Rp2,5 juta per kilogram, bahkan produk Marker-API, bisa mencapai Rp250 miliar per kilogram.
Angka-angka itu, menurutnya, menunjukkan betapa besar potensi gambir jika dikelola dengan serius dan tepat. Kalau harga Gambir benar-benar sesuai kajian profesor Alvi dari Unand, dia meyakini, hidup para petani pasti berubah drastis.
"Tidak akan ada lagi cerita anak putus sekolah karena orangtua tak mampu, atau petani yang terpaksa menjual kebun karena harga tak menentu," ungkap Tito dengan mata berkaca-kaca.
Gambir sendiri merupakan komoditas unggulan Sumatera Barat, sebutnya, setidaknya menyuplai sekitar 64 persen kebutuhan nasional dengan produksi 16.000 – 20.000 ton pertahun. Namun, kondisi di lapangan belum seindah angka yang dipaparkan. Harga sering kali fluktuatif, bahkan merugikan petani kecil.
"Gambir ini emas hijau Sumatera Barat. Sayangnya, selama ini kami hanya menjual bahan mentah. Padahal, jika diolah menjadi turunan seperti tanin atau katekin, nilainya bisa naik ribuan kali lipat. Itu sudah terbukti dalam kajian kampus," tambah Tito penuh harap.
Kini para petani berharap pemerintah daerah, pusat, maupun dunia usaha lebih serius dalam mengembangkan hilirisasi gambir. Dengan dukungan teknologi, investasi, dan pasar yang jelas, komoditas khas Sumbar ini diyakini mampu mengangkat derajat hidup petani sekaligus memperkuat ekonomi daerah.
"Harapan kami sederhana, semoga suatu saat harga gambir benar-benar dihargai sesuai dengan nilai yang telah dihitung para akademisi. Kami ingin jerih payah di kebun bisa membawa kesejahteraan, bukan hanya sekadar untuk bertahan hidup," tutup Tito. (*/Aking/Yh)