Memaksa Orang untuk Tidak Memaksa Tuhan

Lirik asli lagu tersebut adalah 'Kok ndak jodoh, tuhan kuaso.' Ini sepertinya ungkapan biasa. Lalu ada ungkapan lain dalam ranah yang sama yaitu "cinta ditolak, dukun bertindak". Jika didampingkan ungkapan pertama dengan ungkapan ke dua maka nilai moralnya menjadi lebih tinggi karena ungkapan kedua merepresentasikan perbuatan syirik. Makna memang sejatinya begitu. Secara teoritis makna ditentukan dari relasi yang dibuat. 

Pada dasarnya sesuatu yang ada bersifat netral. Adanya ruang dan waktu memungkinkan segala sesuatu dihubung-hubung-kaitkan. Dimensi ruang dan waktu mengakibatkan relasi dapat dikonstruksi yang kemudian melahirkan makna, nilai, dan seterusnya. Hanya jika ada ruang dan waktu lah tindakan dapat berlaku dan malaikat bekerja mecatat apakah itu termasuk dosa atau termasuk berpahala. Secara alamiah ruang dan waktu menyediakan kebebasan.

Dalam beberapa video unggahan, liriknya diubah menjadi ’kok indak jodoh, tuhan den paso.’ Lagu itu dinyanyikan dalam suasana pertunjukan langsung. Tidak saja di waktu sekarang ini, di ranah digital, di tempat tongkrongan anak simpang pengubahan lirik itu sudah lama terdengar. Orang-orang memiliki kuasa untuk melakukan itu.

Ungkapan yang sama muncul di sebuah konser musik di Payakumbuh. Viral dan menjadi polemik. Setiap orang dapat berkomentar. Seperti hukum tadi, dalam ruang dan waktu, orang bisa berbuat sekehendaknya mengomentari. Malaikat nanti akan mencatatnya.

Ada dua realitas yang perlu dilihat. Pertama realitas asli ketikakonser itu digelar di Payakumbuh yang sejuk di malam hari, diapit gunung Sago dan gunung Bonsu. Realitas kedua adalahrealitas digital. Pada saat ini dua realitas itu harus dibedakan karena sistem pemaknaan yang berlaku akan tidak sama. Walaupun begitu, keduanya dapat disebut sebagai sebuah teks.

Suzzane Eggins mendefinisikan teks sebagai produk interaksisosial yang otentik. Sebagai sebuah semiotika sosial, teks itu bersifat utuh. Ada orang, ada musik, ada lirik, malam hari, di Payakumbuh, ada orang melompat-lompat, dan lain-lain. Itu teks dari realitas pertama.

Kemudian ada realitas teks kedua di ranah digital. Teks itu rekaman pendek dari realitas pertama, momen ketika reff dimana ungkap ’tuhan den paso’ dinyanyikan. Teks itu juga utuh dalam realitas digital. Dia hadir diantara teks lain seperti genosida rakyat Palestina, diantara keracunan makanan di Lubuk Basung, di tengah ramainya postingan orang pergi umroh, dan di tengah algoritme layar masing-masing. Jadi ungkapan ‘tuhan den paso’ ada dalam dua realitas, realitas asli dan realitas turunan.

Untuk mendapatkan pemaknaan yang tepat terhadap teks, penafsir harus mengikutkan semua elemen pembentuk teks. Jika elemennya dipisahkan maka maknanya tidak akan seutuh yang seharusnya. Gabungan elemen-elemen yang membentuk teks itu disebut dengan tekstur.

Tekstur adalah pelibatan dari dua komponen yaitu koherensi dan kohesi. Ungkapan ’tuhan den paso’ itu harus dimaknai dengan menghubungkannya dengan seluruh lirik dalam lagu (kohesi) dan menghubungkannya dengan kontek sosial dan kultural Payakumbuh yang punya sejarah basijontiak (koherensi). Dalam tradisi tafsir juga begitu. Ayat ditafsirkan secara lughowiyah dan juga dikaitkan dengan asbabun nuzulnya(konteks).

Ketika malam semakin pekat di simpang jalan, lirik ’tuhan den paso’ juga keluar dari mulut berasap rokok pemuda-pemuda kampung. Saat itu tidak direkam. Amaknya pun mungkin sudah tidur di rumah. Abaknya mungkin masih di kedai. Itu dulu. Mereka yang ada di tongkorangan itu saja yang memaknai dan memiliki relasi badani dengan ungkapan itu. Ada yang tertawa kecil. Ada yang mengeraskan suara ketika lirik itu disemburkan. Memang relasi antara individu dengan teks tersebut dapat menciptakan pemaknaan yang beragam. Mereka yang sedang putus cinta akan merasuki teks itu lebih dalam. 

Realitas digital adalah realitas turunan. Penonton akan menafsirkan apa yang dia tonton di media digital. Dia akan menghubungkan perasaanya, pengetahuannya, kesolehannya, dan latar belakang ekonomi dan lain-lain dengan apa yang sedang dia tonton. Hal yang sama sebenarnya terjadi saat berada di realitas asli. Namun hal yang berbeda adalah keutuhan dari teks yang ditonton.

Ketidaksamaan elemen-elemen pembentuk teks tentu akan berpotensi mempengaruhi hasil pemaknaan. Orang yang pernah pergi umroh dan pernah berada secara fisik di dekat ka’ba memiliki pemaknaan yang berbeda dengan orang yang baru mengalami ka’ba melaluivideo atau gambar di layar hp. 

Ranah digital adalah realitas baru. Dia ada dan tidak bisa lagidisebut sebagai dunia maya. Maksiatpun terjadi secara lebihleluasa di ranah digital. Pendakwah pun lebih produktif di ranah-ranah digital. Termasuk para pengajar seperti guru dan dosen, kadang lebih serius di ruang medsos dari pada ruangkelas. Jangan-jangan realitas turunan ini adalah realitas yang lebih nyata. Apa pun itu, ’kok indak jodoh, ndak asi lo paso-paso.’[]

Nofel Nofiardi adalah Dosen UIN Imam Bonjol Padang

Baca Juga

SAR Mentawai melaksanakan operasi pencarian nelayan yang hilang kontak di perairan Pulau Niau Mentawai Sabtu (4/10/2025).
Tiga Nelayan Hilang Kontak di Pulau Niau Mentawai
Aidil Aulya
Di Balik Prestasi Sumatra Barat
Trickle-Down Effect: “Mitos yang Gagal Menetes”
Trickle-Down Effect: “Mitos yang Gagal Menetes”
Mencermati analisis Statistik Pendidikan Indonesia yang diluncurkan Badan Pusat Statistik pada 2023 lalu, terutama jenjang perguruan tinggi.
Membaca Ulang Hubungan Teater dengan penontonnya: Catatan Festival Teater Sumatra Barat 2025
110 Siswa Keracunan MBG di Kabupaten Agam, Pemkab Tetapkan KLB dan SPPG Ditutup Sementara
110 Siswa Keracunan MBG di Kabupaten Agam, Pemkab Tetapkan KLB dan SPPG Ditutup Sementara
54 Siswa SD di Kabupaten Agam Diduga Keracunan MBG
54 Siswa SD di Kabupaten Agam Diduga Keracunan MBG