Oleh: Sauma Anjeli
Di balik keindahan alam Tanah Datar, Sumatera Barat, tersimpan sebuah tradisi unik yang setiap tahun selalu dinanti: Simuntuk. Tradisi ini lahir dan berkembang di Nagari Andaleh Baruh Bukik, Kecamatan Sungayang, dan menjadi bagian tak terpisahkan dari pesta budaya Sepekan Alek Anak Nagari yang digelar setiap 1-7 syawal, usai Idul Fitri.
Selama sepekan penuh, nagari ini diramaikan dengan berbagai atraksi kesenian, mulai dari permainan rakyat, hingga pertunjukan tradisi yang diwariskan turun-temurun. Di antara semua pertunjukan tersebut Simuntuk adalah yang paling menarik perhatian. Sosok Simuntuk digambarkan sebagai manusia yang mengenakan kostum ijuk, dengan wajah menyeramkan yang ditutupi topeng. Penampilan Simuntuk yang unik dan misterius membuat para penonton sangat tertarik sampai menimbulkan keriuhan tersendiri. Simuntuk berjalan berkeliling nagari, menghibur sekaligus “menakut-nakuti” masyarakat, menciptakan suasana yang meriah.
Simuntuk merupakan warisan nenek moyang yang pada masa penjajahan pernah digunakan untuk menakuti para penjajah sekaligus sebagai strategi menyerang secara diam-diam. Kostum yang dibuat dengan berbalut ijuk dan topeng membuat sosok Simuntuk tampak besar, gelap, dan menakutkan, sehingga bisa mengejutkan musuh di malam hari. Hingga kini, tradisi
Simuntuk terus dilestarikan di Nagari Andaleh Baruh Bukik, tidak lagi sebagai alat perlawanan, melainkan sebagai hiburan rakyat yang dikemas dalam event Sepakan Alek Anak Nagari. Biasanya ia tampil beriringan dengan atraksi lain seperti, randai, silek, dan permainan anak nagari. Orang yang berperan sebagai Simuntuk tidak boleh diketahui identitasnya oleh siapapun.
Hanya orang yang membuat dan membalutkan ijuk ke tubuhnya yang mengetahui siapa sosok di balik kostum tersebut. Kerahasiaan ini menjadi bagian dari tradisi, sekaligus menambah aura mistis dan wibawa Simuntuk di mata masyarakat. Untuk puncak acara biasanya Simuntuk akan tampil dilapangan menghampiri penonton, terkadang juga Simuntuk ikut memainkan permainan anak nagari dan menampilkan silat.
Asal-usul Simuntuk banyak disebut berasal dari Nagari Andaleh Baruh Bukik, Kabupaten Tanah Datar. Disebutkan, dari nagari ini tradisi tersebut kemudian menyebar dan dikenal pula di berbagai daerah lain. Klaim ini perlu diteliti lebih lanjut, karena di Maninjau Kabupaten Agam juga ada tradisi serupa, yang disebut Simuntu.
Simuntuk Andaleh difokuskan untuk sekedar menghibur keliling nagari tanpa iringan musik, dan Simuntuk Andaleh juga ikut memeriahkan acara dengan menampilkan silat atau memainkan permainan anak nagari. Dalam penyelenggaraan atraksi Simuntuk di Andaleh Baruh Bukik, aspek keuangan umumnya mendapat dukungan dari para perantau. Partisipasi mereka tidak hanya meringankan beban biaya masyarakat nagari, tetapi juga menjadi wujud nyata ikatan emosional dan tanggung jawab moral untuk menjaga kelestarian budaya leluhur di kampung halaman.
Makna Filosofis
Meski sering dianggap sekadar hiburan, Simuntuk memiliki nilai budaya yang lebih mendalam. Kostum ijuk dan topeng menggambarkan kesederhanaan masyarakat nagari, yang memanfaatkan bahan alam untuk menciptakan atraksi budaya. Ia mempresentasikan kreativitas masyarakat dalam meramu simbol-simbol tradisi menjadi tontonan yang mempersatukan. Sementara interaksi simuntuk dengan warga mempresentasikan kebersamaan dan semangat gotong royong yang menjadi ruh masyarakat Minangkabau.
Simuntuk juga berfungsi sebagai media edukasi bagi generasi muda, agar tetap mengenal dan mencintai budaya leluhur. Anak-anak yang tumbuh di nagari diajak untuk tidak hanya melihat, tetapi juga terlibat dalam tradisi ini. Dengan demikian, Simuntuk bisa menjadi penghubung antar generasi, memastikan warisan budaya tidak hilang ditelan zaman, mengingat maraknya dampak dari arus globalissi pada lunturnya kebudayaan.
Kutipan dari Jurnal: Penguatan Literasi Budaya Minangkabau dalam Kegiatan Sepakan Alek Anak Nagari Andaleh Baruh Bukik, juga menyatakan bahwa “Sepakan Alek Anak Nagari tidak hanya memperkuat ikatan sosial antarwarga, tetapi juga meningkatkan pemahaman dan apresiasi terhadap warisan budaya Minangkabau di Kalangan generasi muda (Apriani, Winoto, & Samson, 2014).”
Kini, Simuntuk mulai dilirik sebagai potensi wisata budaya. Kehadirannya yang unik dan khas bisa menjadi daya tarik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Namun, tantangan besar masih ada: minimnya promosi, serta keterbatasan infrastruktur wiasata di nagari. Padahal jika dikelola dengan baik Simuntuk tidak hanya membanggakan Tanah Datar, tetapi juga Indoonesia dimata dunia. Kostum unik berbahan alam, nilai filosofis, dan momentum festival pasca Idul Fitri yang bisa menjadi agenda tahunan pemerintah.
Untuk itu, perlu adanya dukungan nyata dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat, hingga komunitas seni, serta perantau Minang. Infrastruktur pariwisata di Andaleh Baruh Bukik perlu ditingkatkan, promosi lewat media digital diperkuat, dan festival dikemas lebih profesional tanpa menghilangkan keaslian tradisinya. Dengan langkah-langkah tersebut, Simuntuk bukan hanya menjadi hiburan lokal, tetapi juga simbol kebanggaan yang mampu memperkenalkan budaya Minangkabau ke dunia.
Pada akhirnya, Simuntuk adalah bukti bahwa tradisi lokal punya nilai universal. Simuntuk bukan hanya cerita tentang orang berbalut ijuk, melainkan tentang identitas, kebersamaan, dan kreativitas masyarakat Minangkabau. Sudah saatnya, Simuntuk melangkah keluar dari batas nagari, menuju panggung internasional sebagai warisan budaya yang layak diapresiasi di mancanegara. (*)
Penulis: Sauma Anjeli, Mahasiswa Ilmu Politik, FISIP Universitas Andalas