Oleh: Frans Tama Lodewix
Kalau berbicara tentang Pantai Padang, sebutan yang paling familiar di telinga masyarakat adalah Taplau. Nama ini merujuk pada kawasan pantai di Kota Padang, Sumatera Barat. Taplau sendiri merupakan singkatan dari tapi lauik dalam bahasa Minang, yang berarti ‘tepi laut’.
Di Taplau, ribuan pengunjung datang untuk menikmati senja, mencicipi makanan, atau sekadar duduk santai di tepi pantai. Sebagai salah satu ikon wisata Kota Padang, Taplau harusnya mampu untuk memberikan rasa nyaman bagi siapa pun yang datang menikmati keindahannya. Namun ternyata ada satu masalah yang terus menggerus citranya. Praktik parkir liar yang sulit untuk diberantas.
Fenomena ini bukan hanya kabar buruk yang disampaikan dari mulut ke mulut. Sebagai seorang yang pernah berkunjung ke Pantai Padang saya pernah diminta tarif Rp20.000 untuk parkir mobil tanpa diberi karcis. Padahal kalau kita, merujuk pada Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi parkir di tepi jalan umum, tarif mobil seharusnya hanya Rp4.000. Ketimpangan ini tentu saja sangat memberatkan. Tidak mengherankan jika banyak para wisatawan mengeluhkan hal serupa bahkan enggan untuk kembali berkunjung.
Parkir liar bukan hanya tentang uang Rp10.000 atau Rp20.000 yang berpindah tangan. Dampaknya tentu jauh lebih besar. Pertama, pengalaman wisatawan menjadi rusak karena kesan "dipalak." Kedua, pedagang kecil kehilangan kesempatan karena pengunjung buru-buru pulang. Ketiga, potensi pendapatan daerah dari retribusi resmi justru bocor ke kantong oknum. Padahal, data Dinas Perhubungan Kota Padang mencatat retribusi parkir resmi hanya sekitar Rp5–6 miliar per tahun, angka yang terasa kecil jika dibandingkan dengan jumlah kendaraan yang membanjiri Taplau setiap akhir pekan.
Kawasan rawan praktik parkir liar dapat kita jumpai di sepanjang Jalan Samudra, sekitar Tugu IORA hingga ke arah Jembatan Siti Nurbaya. Puncaknya terlihat saat sore menjelang matahari terbenam, akhir pekan, dan pada saat libur. Sejak Taplau ditata ulang pada 2014, jumlah pengunjung ternyata meningkat secara signifikan. Tapi sayangnya, lahan parkir resmi justru tidak berkembang sebanding dengan pertumbuhan jumlah kendaraan. Celah ini langsung dimanfaatkan oleh tukang parkir liar yang memungut tarif sewenang-wenang.
Padahal aturan yang mengatur perparkiran sudah cukup jelas. Pemerintah Kota Padang tahun 2019 tentang perparkiran yang mewajibkan setiap petugas parkir memiliki izin resmi, mengenakan seragam atau tanda pengenal, serta memberikan karcis pada para pengguna jasa. Selain itu juga ada Perda Nomor 4 Tahun 2013 tentang lalu lintas yang secara tegas melarang parkir di badan jalan karena dapat mengganggu ketertiban dan arus lalu lintas, ditambah lagi, Perda Nomor 11 Tahun 2005 tentang ketertiban umum mengatur sanksi bagi parkir liar, sementara dalam skala nasional, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan menegaskan bahwa parkir di ruang publik harus sesuai dengan ketentuan pemerintah daerah. Dengan aturan ini, harusnya masyarakat dan wisatawan terlindungi dari praktik pungutan liar.
Namun ketika kita melihat realitas yang ada, aturan yang ada selama ini belum ditegakkan secara konsisten. Razia memang ada dan dilakukan tapi sifatnya masih insidental. Setelah itu, parkir liar pada akhirnya kembali muncul seolah-olah tak pernah hilang.
Mengapa persoalan ini begitu sulit untuk diselesaikan? Di sini saya melihat ada 3 penyebab utamanya. Pertama, keterbatasan lahan parkir resmi di kawasan Taplau. Kedua ada faktor ekonomi masyarakat sekitar yang menjadikan parkir liar sebagai mata pencaharian cepat. Ketiga, adanya unsur lemahnya koordinasi antar instansi, baik dari Dinas Perhubungan, Satpol PP, maupun kepolisian, sehingga langkah penanganannya tidak terpadu.
Kalau kita melihat upaya yang dilakukan oleh pemerintah, mulai dari pemasangan spanduk anti pungli, sosialisasi di media sosial hingga rencana penerapan sistem parkir berlangganan. Bahkan wacana parkir digital juga pernah digaungkan. Tetapi pengamatan yang saya lakukan menunjukkan bahwa implementasinya belum berjalan maksimal. Parkir liar masih jauh lebih mudah ditemui dibandingkan parkir resmi yang tertib.
Solusi yang perlu ditempuh adalah menyediakan kantong parkir yang luas dan mudah untuk diakses di sekitar Taplau. Sistem pembayaran harus dilakukan secara transparan, misalnya karcis resmi atau mesin tiket otomatis. Masyarakat sekitar sebaiknya juga dilibatkan sebagai juru parkir resmi dengan memberikan pelatihan untuk pelayanan yang baik, sehingga mereka tetap mendapat penghasilan, tetapi legal dan tertib. Dan yang paling penting, perda tentang ketertiban umum harus benar-benar ditegakkan secara berkelanjutan, bukan hanya saat ada razia sesaat.
Taplau ialah etalase Kota Padang. Jika setiap pengunjung disambut dengan senja indah dan pengalaman yang ramah, tentu citranya akan semakin baik. Tetapi jika yang menyapa justru parkir liar dengan pungutan yang tidak sewajarnya, surga wisata ini akan terus dicoreng. Sebagai warga Kota Padang, saya berharap pemerintah kota mampu dengan konsisten untuk menegakkan aturan. Hanya dengan cara itulah Taplau bisa kembali bersinar sebagai pantai yang indah, ramah dan membanggakan. (*)
Frans Tama Lodewix, mahasiswa Ilmu Politik, FISIP, Universitas Andalas,