Mencari prestasi Sumbar hari ini terkadang “bagai ayam bertelur sebiji, riuh sekampung”. Sementara itu, angka pertumbuhan ekonomi Sumbar hanya 3,94 persen di kuartal II. Menempatkan Sumbar pada peringkat 31 dari 38 provinsi.
Berita ini seakan terpinggirkan dari pembicaraan, padahal sudah dirilis sejak bulan Agustus 2025. Kita disibukkan oleh cerita-cerita heroik yang dibangun citra media sosial, tapi lupa bahwa dapur rakyat tetap berasap dengan tungku yang hampir padam.
Memang benar, pertumbuhan ekonomi daerah tidak bisa dilepaskan dari kebijakan nasional. Tetapi, seberapa jauh kepala daerah memainkan peran dalam mendesain prioritas pembangunan akan menentukan seberapa sehat denyut nadi ekonomi lokal. Jika ibarat sebuah rumah tangga, maka pemerintah daerah adalah kepala keluarga: apakah uang belanja dipakai untuk membeli bahan pokok, memperbaiki atap bocor, atau malah sibuk membeli hiasan dinding agar rumah tampak indah dari luar?
Alih-alih berbenah dari segala ketertinggalan, Sumbar belakangan lebih sering memilih jalan terakhir. Skala prioritas seakan berubah menjadi postingan-postingan media sosial, bukan daftar kebutuhan mendesak. Gimik-gimik kerja yang berkilau di panggung publik lebih diutamakan daripada program nyata yang dirasakan masyarakat. Mencari prestasi Sumbar hari ini sama sulitnya dengan mencari ketiak ular: entah ada, entah tidak, dan kalau pun ada, tentu tersembunyi jauh dari pandangan.
Jika diketik “prestasi Sumbar 2025” di mesin peramban, sederet penghargaan bermunculan: mulai dari BAZNAS Awards, Provinsi Layak Anak, Penghargaan Kebersihan Data Pendidikan, hingga posisi kedua dalam Indeks Perencanaan Pembangunan (IPP). Semua ini pantas diapresiasi. Namun, prestasi semacam ini kerap hanya menjadi pajangan saja, tidak berdampak pada perubahan struktural.
Ironisnya, prestasi paling menonjol justru datang dari jagat maya: Wakil Gubernur Sumatra Barat, baru-baru ini dinobatkan sebagai wagub paling popular di Indonesia menurut riset social media analytic2025. Mungkin inilah capaian yang paling membuat hidung Pemprov mengembang. Rupanya, Sumbar harus dipoles di media sosial agar prestasinya sejajar dengan popularitas pejabatnya. Seolah-olah kinerja pemerintahan kini bisa diukur dari jumlah “likes” dan “shares,” bukan dari angka pertumbuhan atau kualitas hidup masyarakat.
Lebih aneh lagi, akhir-akhir ini Pemprov bisa begitu cepat mengurus konten “caruik” di media sosial. Seakan-akan mengelola provinsi bisa selesai dengan menandatangani surat edaran yang muncul setiap kali linimasa ribut. Padahal, membangun daerah bukan perkara meredam komentar warganet. Jika energi besar dihabiskan untuk melawan caruik, jangan heran kalau energi yangtersisa semakin kecil untuk melawan kemiskinan, pengangguran, dan stagnasi ekonomi.
Mengurus daerah tidak cukup dengan berkoar-koar sebagai tokoh yang punya banyak jaringan nasional. Jaringan itu ibarat peta jalan: berguna hanya jika benar-benar dipakai untuk bergerak. Tanpa langkah konkret, jaringan hanya menjadi “palamak ota”, bukan jalan keluar dari stagnasi pembangunan. Masyarakat tidak butuh konten-konten pertemuan dengan tokoh-tokoh nasioanl, mereka butuh bukti nyata di lapangan.
Masalahnya, gejala klasik kian menonjol: menutupi minimnya prestasi nyata dengan sensasi populis. Citra dipoles, realita dikaburkan. Ruang publik sepi dari kritik yang telanjang; pemberitaan lebih sibuk mengemas kinerja pemerintah yang dihasilkan dari rilis resmi humas dibanding laporan investigatif.
Sumatra Barat tampak kehilangan nafas panjang untuk bersaing di arena kebijakan modern.
Padahal, daerah ini punya potensi luar biasa: sumber daya alam, tradisi pendidikan, hingga diaspora yang kuat di tingkat nasional. Namun potensi itu sering terhenti pada seremoni dan penghargaan simbolis, bukan pada desain pembangunan yang konsisten.
Pertanyaannya, apakah kita akan terus puas dengan cerita kejayaan masa lalu, atau berani mengubah arah dengan kebijakan yang benar-benar berdampak? Sumbar tak butuh sekadarkepala daerah “paling popular,” melainkan provinsi yang mampu membuktikan bahwa angka ekonomi bisa lebih cepat bergerak naik daripada jumlah barisan penyuka di media sosial.
Disclaimer: Penulis bukan ekonom, bukan pula pengamat profesional. Hanya seorang warga Sumatra Barat yang rindu melihat daerahnya kembali dikenal karena prestasi nyata, bukan sekadar berita polesan atau sensasi yang lewat di linimasa.