Kritik Program Pertanian Mahyeldi-Vasko, BEM Unand: Nilai A-, A untuk Gaya Minus untuk Kinerja

Kritik Program Pertanian Mahyeldi-Vasko, BEM Unand: Nilai A-, A untuk Gaya Minus untuk Kinerja

Wagub Sumbar Vasko Ruseimy bersama Gubernur Mahyeldi dan Kepala Bappeda Medi Iswandi. (Foto: Adpim)

LANGGAM.ID-- Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Andalas atau BEM Unand mengkritik program unggulan Mahyeldi-Vasko di bidang pertanian, yang dinilai lebih banyak gimik dari pada aksi nyata. Termasuk program alokasi 10 persen APBD untuk sektor pertanian yang belum mampu mensejahterakan petani.

Presiden Mahasiswa BEM Unand Dedi Irwansyah mengatakan program pertanian sebagai sektor unggulan Sumbar masih jauh dari harapan. Alih fungsi lahan, distribusi pupuk yang bermasalah, akses modal yang timpang, serta ketergantungan pada pasar tunggal dari luar daerah menandakan lemahnya keberpihakan pemerintah provinsi terhadap kesejahteraan petani.

"Momen Hari Tani Nasional ini seharusnya menjadi ruang refleksi atas peran petani sebagai penopang utama ketahanan pangan sekaligus fondasi keadilan sosial. Namun, hingga kini petani masih terhimpit keterbatasan lahan, modal, teknologi, serta minimnya ruang dalam perumusan kebijakan. Program pertanian tidak cukup berorientasi pada produksi, tetapi juga harus menempatkan kesejahteraan petani sebagai inti dari kebijakan," ujar Dedi Jumat (26/9/2025).

Ia memisalkan, alih fungsi lahan pertanian masih berlangsung masif, bahkan menguasai tanah ulayat yang seharusnya menjadi basis ekonomi masyarakat. Fenomena ini tidak hanya mengurangi luas lahan produktif, tetapi juga menggeser fungsi ketahanan pangan dan menjerumuskan petani ke posisi semakin rentan. 

Padahal, kata Dedi, regulasi seperti UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sudah jelas memberikan mandat perlindungan, namun implementasinya di daerah lemah.

Menurutnya, fakta ini memperlihatkan lemahnya komitmen Pemprov Sumbar dalam melindungi hidup petani. Alih fungsi lahan kerap dibiarkan atas nama pembangunan infrastruktur dan investasi, sementara dampaknya adalah runtuhnya keberlanjutan masyarakat desa serta melemahnya fondasi produksi pangan lokal.

"Patut kita pertanyakan sejauh mana gubernur dan wakilnya benar-benar memprioritaskan petani sebagai subjek pembangunan bukan sekadar jargon politik pembangunan daerah," ujarnya.

Selain itu, petani di Sumbar masih dibayang-bayangi polemik bantuan pupuk bersubsidi yang penyalurannya masih belum tepat sasaran. Akibatnya, petani justru menanggung biaya produksi tinggi karena harus membeli pupuk nonsubsidi dengan harga mahal. Kondisi ini berlawanan dengan tujuan subsidi yang seharusnya meringankan beban petani kecil.

Akibatnya, sambung Dedi, petani justru menanggung biaya produksi tinggi karena harus membeli pupuk nonsubsidi dengan harga mahal. Kondisi ini berlawanan dengan tujuan subsidi yang seharusnya meringankan beban petani kecil.

BEM Unand juga menyoroti, rantai pasok pertanian dan peternakan minim sentuhan hilirisasi sehingga masih dikuasai tengkulak. Dampaknya petani dan peternak terjebak pada pola jual hasil mentah dengan harga rendah, sementara nilai tambah produk terserap di luar tangan mereka. 

"Fasilitas pascapanen, penyimpanan, hingga pengolahan modern nyaris tidak berkembang secara merata, membuat produk lokal sulit bersaing di pasar modern maupun industri," kata Dedi.

Menurutnya, kondisi ini menunjukkan bahwa Pemprov Sumbar gagal menghadirkan kebijakan yang membangun kemandirian rantai pasok dan memperkuat posisi tawar petani. Hilirisasi yang kerap digaungkan hanya sebatas jargon, tanpa infrastruktur nyata dan dukungan pasar yang berpihak.

Ia menjelaskan, kebijakan pertanian di Sumatera Barat masih jauh dari pro-rakyat tani, meskipun pemprov Sumbar mengalokasikan 10 persen APBD untuk sektor ini. Faktanya, janji tersebut belum sepenuhnya terwujud dalam bentuk program yang berpihak pada petani kecil. 

Dedi menambahkan, pembangunan irigasi, distribusi pupuk, hingga penyediaan alsintan sering bersifat seragam dan top-down, sehingga gagal menjawab kebutuhan lapangan. Alokasi anggaran yang seharusnya menjadi instrumen kesejahteraan petani justru cenderung terserap pada proyek infrastruktur dan pengadaan yang tidak berdampak langsung pada peningkatan daya saing petani.

Kondisi ini sambung Dedi, menunjukkan bahwa visi menjadikan pertanian sebagai sektor unggulan hanya berhenti pada level wacana, tanpa implementasi nyata yang berpihak. Ironisnya, di tengah kontribusi pertanian sebagai penopang PDRB daerah, petani masih hidup dalam ketidakpastian harga, akses modal yang timpang, dan minim perlindungan sosial.

"kritik yang layak diajukan: sejauh mana janji alokasi 10% APBD untuk pertanian benar-benar diprioritaskan untuk kesejahteraan petani, bukan sekadar pemenuhan target anggaran yang berhenti pada laporan keuangan," kata Dedi.

BEM Unand menilai kinerja pemprov yang masih rendah di pertanian yang menjadi sektor unggulan. "Nilai A- untuk Pemprov. A untuk gaya. Minus untuk kerja nyata," ujarnya. (fx)

Baca Juga

Semen Padang FC bertandang ke markas Persebaya pada pekan keenam Super League 2025/2026, Jumat malam (19/9/2025) di Stadion Gelora Bung Tomo.
Starting XI Semen Padang FC vs Bali United: Pedro Matos Cedera
Tantangan Ekonomi Sumbar, Hilangnya Kepercayaan Investor Pascagempa 2009
Tantangan Ekonomi Sumbar, Hilangnya Kepercayaan Investor Pascagempa 2009
Bali United mengincar kemenangan saat menghadapi Semen Padang FC Jumat ini.
Hadapi Semen Padang FC, Bali United Incar Tiga Poin Meski Datang dengan Kekuatan Tidak Penuh
Permasalahan Klasik Gerogoti Ekonomi Sumbar Bergerak Lambat
Permasalahan Klasik Gerogoti Ekonomi Sumbar Bergerak Lambat
Perkuat Media Lokal, Tempo Kembangkan Platform Teras.id
Perkuat Media Lokal, Tempo Kembangkan Platform Teras.id
Pembangunan Gedung Kebudayaan Sumbar. (Foto: Irwanda/langgam.id)
Pemicu Lambatnya Ekonomi Sumbar: Kalah Gesit dari Provinsi Tetangga