Partai Digital dan Partisipasi Publik di Era Baru

Partai Digital dan Partisipasi Publik di Era Baru

Ilustrasi: chatgpt

Oleh: Ladifa Putri Marisa

Perkembangan teknologi digital telah mengubah hampir semua aspek kehidupan, termasuk dunia politik. Sebelumnya, aktivitas politik identik dengan interaksi fisik seperti kampanye dan rapat partai, kini seiring berkembangnya teknologi aktivitas politik mulai bergeser ke ruang virtual yang dapat diakses lewat perangkat digital. Munculnya media sosial, platform komunikasi virtual, serta pemanfaatan big data telah mengubah pola interaksi partai politik dengan masyarakat. Karena itu, gagasan mengenai partai digital semakin ramai dibicarakan, khususnya setelah sejumlah negara mencoba praktik demokrasi berbasis online.

Konsep partai digital sebagaimana dibahas oleh Paulo Gerbaudo dalam bukunya The Digital Party: Political Organisation and Online Democracy menawarkan model baru organisasi politik yang berbasis platform daring. Partai ini menjanjikan keterbukaan, partisipasi langsung, dan interaksi dua arah antara pemimpin dengan anggota. Gerbaudo menyebut bahwa digital party muncul sebagai respons terhadap krisis demokrasi perwakilan. Partai ini hadir dengan klaim menawarkan politik yang lebih demokratis, lebih terbuka bagi masyarakat biasa, lebih cepat dan langsung, serta lebih otentik dan transparan. Oleh karena itu, membahas masa depan politik Indonesia di era partai digital tidak bisa dipandang hanya sebagai wacana futuristik, melainkan sebagai kebutuhan mendesak untuk mengatasi krisis legitimasi yang sedang dihadapi partai politik.

Salah satu daya tarik utama partai digital adalah janji untuk menghadirkan partisipasi politik yang lebih luas. Dalam konteks Indonesia, konsep ini bisa menjadi jawaban atas rendahnya partisipasi politik substantif. Jika partai digital memungkinkan anggota untuk langsung ikut dalam perumusan kebijakan, memilih kandidat, atau memberikan masukan melalui aplikasi daring, maka jarak antara rakyat dengan partai politik dapat dipersempit.

Generasi muda yang sering disebut sebagai “digital natives” adalah kelompok yang memiliki peranan penting untuk terlibat dalam partai digital. Selama ini, mereka dikenal apatis terhadap politik konvensional karena menganggap partai penuh dengan korupsi, birokrasi, dan elitisme. Namun, generasi inilah yang paling banyak aktif dan paling sering bersuara di media sosial, menjadikan ruang digital sebagai arena utama ekspresi mereka. Dengan model partisipasi yang lebih interaktif, mirip dengan media sosial yang mereka gunakan sehari-hari, partai digital berpeluang besar menarik minat generasi ini.

Selain partisipasi, aspek transparansi juga penting. Melalui teknologi digital, laporan keuangan partai, proses seleksi kandidat, bahkan hasil musyawarah dapat diakses secara real-time oleh publik. Ini sesuai dengan janji partai digital untuk menghadirkan keterbukaan dan mengurangi praktik “politik belakang layar” yang selama ini banyak dikritik.

Namun, euphoria terhadap partai digital tidak boleh menutup mata terhadap risikonya. Gerbaudo menegaskan bahwa partisipasi digital kerap bersifat semu, “Partisipasi yang ditawarkan partai digital sering kali hanya terlihat di permukaan, rapuh seperti awan dan tidak bisa diakses oleh warga yang tidak terhubung dengan internet”. Dalam konteks Indonesia, hal ini sangat relevan. Akses internet masih timpang antara kota besar dan daerah terpencil. Artinya, jika partai digital diterapkan secara luas, ada potensi kelompok masyarakat pedesaan yang belum terlalu familiar dengan akses digital dapat terpinggirkan. Alih-alih memperluas jangkauan partisipasi, partai digital justru bisa memperdalam kesenjangan yang ada.

Tantangan lain adalah kerentanan terhadap disinformasi, hoaks dan algoritma. Di era media sosial, opini publik mudah dipengaruhi oleh kampanye yang agresif, bahkan manipulatif. Jika platform digital tidak memiliki sistem verifikasi dan literasi digital yang kuat, maka demokrasi online hanya akan menjadi arena propaganda.

Masa depan poltik Indonesia di era partai digital akan sangat ditentukan oleh sejauh mana negara, partai dan masyarakat mampu menjawab tantangan-tantangan tersebut. Pertama, regulasi yang jelas dan adaptif menjadi prioritas utama. Negara harus menyiapkan aturan hukum yang melindungi keamanan data, menjamin transparansi platform digital, serta mengatur mekanisme partisipasi daring agar tidak mudah dimanipulasi oleh elit politik. Tanpa fondasi hukm yang kokoh, partai digital hanya akan menjadi alat legitimasi kekuasaan semata.

Selain itu, peningkatan literasi digital masyarakat merupakan syarat utama agar partai digital benar-benar membawa manfaat. Literasi digital memungkinkan warga memilah informasi, menghindari jebakan hoaks, serta menggunakan platform politik secara kritis. Tanpa bekal ini, keterlibatan politik di dunia maya hanya akan menjadi ajang manipulasi dan propaganda. Lebih jauh, literasi digital juga perlu diarahkan untuk membangun kesadaran bahwa demokrasi bukan sekadar soal klik “setuju” atau “tidak setuju”, melainkan tentang keterlibatan yang bermakna dalam merumuskan masa depan bangsa.

Isu pemeratan akses internet juga tidak kalah penting. Indonesia masih menghadapi kesenjangan digital antara masyarakat rural dan urban. Jika masalah ini tidak diatasi, partisipasi tentu tidak akan mencakup luas, di mana kelompok yang tidak memiliki akses internet akan semakin terpinggirkan dan tidak diikutsertakan. Karena itu, perlu ada upaya serius memperluas infrastruktur digital hingga ke pelosok desa, agar partai digital benar-benar dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat.

Era digital membawa peluang besar untuk memperkuat partisipasi, tarnsparansi dan inklusivitas politik. Partai digital bisa menjadi jawaban atas krisis kepercayaan terhadap partai konvensional, sekaligus membuka ruang baru bagi generasi muda untuk berkontribusi. Namun, peluang ini hanya dapat terwujud jika tantangan-tantangan yang ada dapat diantisipasi dengan baik. Tanpa regulasi yang kokoh, literasi digital yang memadai, serta pemerataan akses teknologi, partai digital justru bisa memperdalam ketimpangan dan memperlemah demokrasi.

Masa depan politik Indonesia di era digital pada akhirnya, bukan hanya soal penggunaan teknologi, melainkan tentang bagaimana teknologi tersebut digunakan untuk memperkuat demokrasi yang substantif. Partai digital seharusnya tidak dilihat sebagai sekadar tren futuristik, melainkan sebagai instrumen yang jika dikelola dengan tepat, mampu menjembatani jarak antar rakyat dengan partai politik, serta memperkuat kembali legitimasi demokrasi di mata masyarakat. (*)

Ladifa Putri Marisa, mahasiswa Ilmu Politik, FISIP Universitas Andalas

Baca Juga

Gen Z dan Partai Digital: Masa Depan Politik Indonesia
Gen Z dan Partai Digital: Masa Depan Politik Indonesia
Menyoal Kebijakan Tata Ruang Kota Padang
Menyoal Kebijakan Tata Ruang Kota Padang
"Simuntuk" dalam Alek Nagari: dari Tradisi Lokal Menuju Atraksi Wisata Mancanegara
"Simuntuk" dalam Alek Nagari: dari Tradisi Lokal Menuju Atraksi Wisata Mancanegara
Ilustrasi parkir Liar
Citra Wisata Taplau Tergerus Parkir Liar
Dari Zonasi ke Domisili, Menjadi Solusi atau Komplikasi?
Dari Zonasi ke Domisili, Menjadi Solusi atau Komplikasi?
Ketika Uang Berbicara, Apakah Kejujuran Masih Punya Suara?
Ketika Uang Berbicara, Apakah Kejujuran Masih Punya Suara?