Oleh: Yuwanda Efrianti
Dewasa ini, politik tidak lagi hanya hidup di ruang sidang DPR dengan segala drama pengesahan UU-nya, melainkan juga berseliweran di layar ponsel kita. Instagram, yang tadinya cuma tempat pamer outfit, makanan, atau liburan, sekarang jadi arena baru untuk menggubah ulang narasi politik. Menariknya, publik tidak menciptakan isu baru. Mereka hanya mencomot, mengutip, lalu mengemas ulang pernyataan-pernyataan DPR. Bedanya, di tangan warganet, kalimat resmi DPR yang biasanya berbungkus jargon formal tiba-tiba berubah jadi meme, parodi, atau bahkan sindiran visual yang lebih pedas daripada rapat paripurna.
Dengan 90 juta lebih pengguna Instagram di Indonesia (data NapoleonCat 2025), wajar kalau platform ini jadi “medan tempur” narasi politik. Anggota DPR boleh saja berusaha membangun citra positif lewat unggahan manis, lengkap dengan jargon kesejahteraan rakyat. Tapi sekali publik mencium aroma kontroversi, narasi itu bisa hancur seketika lewat meme yang viral. Singkatnya, DPR ngomong satu kalimat, publik bisa bikin seribu tafsir dan biasanya hasil tafsir itu tidak seindah yang DPR bayangkan.
Fenomena ini memperlihatkan pola yang konsisten, setiap kali DPR merilis pernyataan, publik tidak membiarkannya berdiam dalam ruang formal. Narasi itu segera direproduksi ulang dalam bentuk meme, infografis, atau komentar satir. Kasus Perppu Cipta Kerja pada 2023 adalah contoh paling jelas. DPR menekankan bahwa kebijakan tersebut bertujuan menciptakan lapangan kerja. Namun, publik di Instagram menampilkan foto-foto buruh yang berdemonstrasi, menegaskan ketimpangan antara klaim politik dan realitas sosial. Data dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menunjukkan sepanjang 2023 terjadi lebih dari 50 aksi protes buruh terkait aturan ini. Fakta di lapangan langsung menjadi bahan bakar bagi publik untuk menyusun ulang narasi DPR dalam bentuk yang lebih tajam, lebih kontras, dan tentu lebih menggigit.
Publik tidak sedang menciptakan isu baru. Mereka justru setia pada sumber resmi mengambil kata-kata DPR, menempelkannya pada visual yang nyata, lalu menyerahkan kembali pada ruang publik. Inilah yang membuat rekonstruksi di Instagram terasa otentik sekaligus menohok. Setiap meme adalah catatan kecil bahwa narasi DPR tidak pernah berdiri sendiri, melainkan selalu berkelindan dengan pengalaman sosial masyarakat.
Survei APJII (2024) mencatat bahwa isu politik merupakan 24,7 persen dari total hoaks yang beredar di media sosial. Fakta ini mengindikasikan betapa besarnya perhatian publik terhadap narasi politik. Namun menariknya, dalam banyak kasus yang melibatkan DPR, publik tidak sekadar menyebarkan isu palsu. Mereka mengutip langsung pernyataan resmi dan mengemas ulang dengan bahasa visual. Dengan demikian, publik hadir bukan sebagai pencipta “hoaks”, tetapi sebagai pengolah narasi yang sebenarnya berasal dari DPR itu sendiri.
Penelitian seperti Meme Politik dalam Ruang Wacana Komunikasi Politik di Indonesia (Prabawangi & Fatanti, 2022) menegaskan bahwa meme politik adalah medium kritik, bukan sekadar hiburan. Meme memungkinkan publik menyampaikan kemarahan, kekecewaan, dan refleksi sosial dengan cara visual yang ringan namun menyentuh. Hal serupa terlihat dalam studi Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 dalam Meme (N. Kurniasih, 2017) menunjukkan bahwa meme yang beredar sebelum Pilkada dipakai masyarakat untuk merepresentasikan ulang narasi politik, termasuk kritik terhadap kandidat dan kecemasan sosial. Jadi, publik bukan main-main, mereka menjalankan fungsi kritik politik dengan kreativitas visual, bukan sekadar hiburan semata.
Sejak era reformasi, DPR selalu berusaha menjaga citra melalui media massa arus utama. Namun, di era digital, narasi mereka tidak bisa lagi dimonopoli. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan sebanyak 529 anggota legislatif, baik di tingkat DPR maupun DPRD, terlibat dalam kasus korupsi sepanjang tahun 2011 sampai dengan 2023. Fakta ini memperburuk citra lembaga legislatif, dan ketika DPR berbicara soal “komitmen antikorupsi”, publik langsung menabrakkannya dengan realitas sejarah. Meme pun lahir, memperlihatkan betapa narasi resmi hanya menjadi bahan mentah untuk sindiran.
Inilah dinamika baru komunikasi politik bukan lagi top-down, melainkan interaktif dan partisipatif. DPR bisa saja berusaha merawat citra, tetapi publik memiliki alat yang lebih cepat, lebih kreatif, dan lebih dipercaya. Instagram, dengan karakter visual dan kecepatannya, menjadi ruang di mana narasi resmi segera berhadapan dengan tafsir kritis masyarakat.
Pertanyaannya sekarang, apakah DPR harus terus-menerus jadi bahan satir? Tidak selalu. Ada solusi, meski terdengar sederhana tapi sering diabaikan. Transparansi dan komunikasi yang jujur. Mereka perlu sadar bahwa tidak lagi bisa bersembunyi di balik kata-kata indah. Kalau memang ada kebijakan yang tidak populer, jelaskan apa adanya. Data BPS, survei publik, hingga riset independen bisa dipakai sebagai bahan penjelasan.
Rekonstruksi narasi politik DPR di Instagram memperlihatkan satu hal mendasar ketika tidak ada lagi kata-kata politik yang bisa berjalan tunggal. Setiap kalimat akan ditafsirkan ulang, diolah, dan dipantulkan kembali oleh publik. Meme, gambar, hingga komentar bukan sekadar hiburan, melainkan instrumen komunikasi politik yang membentuk persepsi kolektif.
Dari sini, jelas bahwa DPR boleh saja punya panggung megah di Senayan. Tapi di Instagram, panggungnya milik publik. Narasi yang ingin mereka jaga rapat-rapat bisa runtuh secepat “klik share”. Meme memang terlihat receh, tapi ia menyimpan kekuatan yang menjadi cermin memantulkan wajah asli politik, bukan versi polesan. Jika DPR ingin narasinya bertahan lebih lama dari satu siklus viral, mereka harus memahami bahasa digital. Transparansi, penggunaan data nyata, dan komunikasi yang lugas perlu diutamakan. Membanjiri publik dengan jargon atau retorika kosong hanya akan mempercepat proses rekonstruksi satir. Sementara itu, publik akan tetap memegang peran sebagai editor paling kritis, sekaligus pengingat bahwa politik bukan monopoli elite, melainkan ruang partisipasi bersama.
Dengan demikian, fenomena rekonstruksi ini bukan sekadar tren digital, melainkan sinyal kuat ketika rakyat tidak lagi diam. Mereka menulis ulang politik dengan cara mereka sendiri, dan sejauh ini, suara itu jauh lebih menggema daripada pernyataan resmi DPR. Inilah yang saya sebut sebagai penyakit baru DPR bukan virus, bukan bakteri, melainkan serangan publik lewat meme, gambar, dan satir di Instagram. Sebuah “penyakit” yang tidak bisa diobati dengan konferensi pers atau pernyataan manis, karena sumbernya adalah suara rakyat yang menemukan medium kreatifnya. (*)
Penulis: Yuwanda Efrianti, Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam, UIN Imam Bonjol, Padang