Menjaga Hulu Batanghari, Merajut Lanskap “Mudiak Baduo”

Menjaga Hulu Batanghari, Merajut Lanskap “Mudiak Baduo”

Wengki Purwanto. (Foto: Dok. WALHI)

Sumatera Barat (Sumbar) merupakan provinsi yang kaya dan punya sumber daya alam yang melimpah, baik dari lautan, hutan, danau, sungai maupun tanahnya yang subur. Bagi masyarakat di Sumbar, alam tidak hanya sebagai sumber penghidupan tetapi juga kehidupan itu sendiri. Alam merupakan jati diri, identitas dan menghubungkan masyarakat dengan leluhur dan generasi berikutnya. Dengan posisi demikian, maka kehidupan sosial, ekonomi dan budaya yang terbentuk di provinsi ini, menempatkan masyarakat adat terdepan menjaga alam, hutan termasuk di enam kabupaten/kota yang menjadi hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Hari atau Lanskap Mudiak Baduo.

Lanskap tersebut berada di enam kabupaten/kota di Sumbar yaitu Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Sijunjung, Kota Sawahlunto, Kabupaten Solok Kota Solok, dan Kabupaten Solok Selatan. Keenam kabupaten/kota tersebut meliputi 42 kecamatan dan 207 nagari / desa. Luasnya lebih kurang 720.311 hektare. Disebut Lanskap Mudiak Baduo karena kawasan ini terletak di hulu Batanghari II. Kawasan ini menjadi sangat penting dan strategis bagi Sumbar dan Jambi hingga pantai timur Pulau Sumatra.

Meski demikian, pembangunan ekonomi nasional dengan pendekatan investasi rakus ruang dan ekspolitatif, pada sektor perkebunan, pertambangan dan kehutanan telah menjadi beban ekologi di hulu DAS Batanghari termasuk memicu konflik agraria dan persoalan sosial ekonomi lainnya.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) di Sumatera Barat melalui Program Green Livelihood Alliance (GLA) mencoba memperkuat hak-hak rakyat melalui tata keola hutan yang inklusif dan berkeadilan. WALHI melakukan tiga pendekatan. Pertama, pengentasan kemiskinan melalui penciptaan mata pencaharian baik melalii program perhutanan sosial maupun membentuk ekonimi kerakyatan atau ekonimi nusantara. Kedua, memperkuat elemen masyarakat sipil dengan kerja kolektif, belajar dan memperkuat agenda advokasi bersama dan ketiga, melakukan advokasi kebijakan agar kebijakan pembangunan lebih adil bagi masyarakat dan lingkungan hidup.

Upaya yang dilakukan ini berbentuk penciptaan mata pencaharian, memperkuat elemen masyarakat sipil dan advokasi kebijakan. Semua itu dilakukan dalam rangka memperkuat hak-hak rakyat sehingga mewujudkan tata kelola hutan yang adil, berkelanjutan. Dengan menguatnya hak-hak rakyat, maka pembangunan berkelanjutan akan lebih memulihkan lingkungan hidup. Sehingga kawasan yang sangat penting ini dapat dipulihkan dari krisis ekologi yang selama ini terjadi dari investasi rakus ruang dan lebih eksploitatif.

Di Kota Sawahlunto, misalnya, WALHI bersama ibu-ibu pejuang lingkungan dan korban dari perusahaan tambang batu bara, membangun suatu inisiatifekonomi baru, memanfaatkan pekarangan rumah dengan budidaya madu kelulut. Inisiatif ini telah mendorong lahirnya kesadaran kolektif bahwa kita mesti berani keluar dan meninggalkan ekonomi yang eksploitatif, tidak ramah lingkungan dan berpotensi melanggar hak-hak rakyat serta menurukan kualitas lingkungan hidup, yaitu batubara ke ekonomi yang lebih produktif, adil bagi lingkungan dan adil bagi masyaraiat.

Semenjak budidaya madu kelulut yang diinisiasi oleh ibu-ibu pejuang lingkungan di Desa Sikalang, maka pemerintahan desa dan elemen pemerintahan lainnya, mulai berpikir ulang bahwa ekonomi batubara yang telah diwariskan sejak zaman Hindia Belanda hingga Indonesia merdeka hanya melahirkan penderitaan dan persoalan lingkugan bagi Kota Sawahlunto. Untuk itu mesti keluar dengan ide dan ekonomi yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjuyan.

Di Kabupaten Solok, WALHI bersama para pejuang di selingkar Gunung Talang dan berbagai elemen organisasi masyarakat sipil berhasil mengagalkan rencana investasi pembangkit lkistrk tenaga panas bumi. Perjuangan ini menjadi sangat penting, karena proses investasi yang mengabaikan hak rakyat dan lingkungan tidak boleh dibiarkan ada di Sumbar. Investasi seperti itu, tidak hanya merugikan lingkungan dan merampas ruang hidup rakyat tapi di masa depan juga akan menjadi beban bagi negara.

Masih di Kabupaten Solok juga, WALHI bersama tokoh masyarakat dan adat berhasil mendesak negara untuk menghukum dan menghentikan investasi yang mencoba mereklamasi Danau Singkarak secara melawan huum. Akhirnya perusahaan tersebut dihukum menghentikan investasinya dan memulihkan Danau Singkarak.

Pada sektor pertambangan, gerakan yang dibangun secara kolektif bersamaorganisasi masyarakat sipil lainnya melibatkan para pakar dari berbagai kampus di Sumbar, telah mendorong pemerintah menghukum perusahaan tambang di Kawasan Air Dingin yang selama ini mengabaikan prinsip-prinsip lingkungan hidup untuk menerapkan dan menghentikan praktek-praktek tersbut.

Karena Air Dingin merupaan kawasan penting yang menghubungkan antar kabupaten/kota di dalam Provinsi Sumbar juga menghubungkan Sumbar dengan Jambi melalui Kerinci. Pembiaran aktivitas tambang di kawasan yang rentan terhadap bencana dan prakteknya tidak baik secara ekologi, telah menjadi beban bagi negara. Saat ini Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat juga tengah menyelidiki dugaan korupsi sektor tambang karena aktivitas tambangnya kemudian menyebabkan kerusakan ekologis dan menjadi beban bagi keuangan negara.

Di Kabupaten Solok Selatan bersama-sama pejuang dari Nagari Bidar Alam dan Ranah Pantai Cermin, KPA Winalsa, LBH Padang, Perkumpulan Qbar, PBHI Sumatera Barat dan elemen masyarakat sipil lainnya, bersama-sama berjuang untuk menghentikan praktek investasi perkebunan kelapa sawit PT RAP yang melanggar hak-hak rakyat.

Dulu, masyarakat Bidar Alam telah menjaga Republik Indonesia melalui Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Para pejuang PDRI dahulunya tinggal di nagari ini dan dibantu secara bergotong-royong oleh masyarakat Bidar Alam. Masyarakat melebur bersama perjuangan PDRI. Tentu semangat ini mengantarkan masyarakat Bidar Alam dan Ranah Pantai Cermin dan elemen masyarakat sipil lainnya tidak boleh membiarkan praktek investasi yang melanggar hak-hak rakyat. Apa lagi itu dilakukan di nagari yang pernah menyelamatkan Indonesia melalui perjuangan PDRI.

Perjuangan hak-hak masyarakat tersebut, sejauh ini berhasil. Hak-hak rakyat yang selama ini tak pernah diberikan oleh perusahaan, dirampas oleh perusahaan, kini tanah dikuasai kembali oleh masyarakat Bidar Alam dan Ranah Pantai Cermin. Meskipun masyarakat telah kembali menguasai tanahnya, tentu perjuangan tidak berhenti di sini.

Hari ini dan ke depan, masyarakat terus menyatukan kekuatan bersama elemen masyaraiat lainnya untuk menyiapkan diri dengan segala kemungkinan penyalahgunaan kekuasan dan hukum oleh perusahaan untuk kembali ke Bidar Alam dan Ranah Pantai Cermin, merampas apa yang menjadi hak rakyat. Dan dengan tekad yang bulat dengan semangat menghentikan segala investasi yang rakus ruang dan merampok hak-hak rakyat tidak boleh lagi terjadi sana.

Selain program advokasi, di Nagari Padang Gantiang, Solok Selatan, WALHI bersama tokoh dan elemen masyarakat mencoba insiatif tanaman jernang. Tanaman jernang sebagai tanaman hutan, tidak hanya sebagai ekonomi bagi masyarakat Padang Gantiang tapi juga simbol perlawanan dari ekspansi rakus ruang perkebunan kelapa sawit, yang masuk merangsek ke kampung-kampung menguasai tanah masyarakat dan kemudian menimbulkan konflik demi konflik. Tanaman jernang tidak hanya bertumbuh secara ekonomi tapi juga memulihkan ekologi dan menghentikan investasi yang tidak baik secara lingkungan dan juga keadilan ruang dan generasi di Nagari Padang Gantiang.

Sementara, di Nagari Lubuk Gadang, WALHI bersama petani kopi dan KPA Winalsa juga mencoba melawan sistem ekonomi kapitalis yang selama ini menguasai sistem ekonomi kopi dengan menyatukan kekuatan, membangun kesadaran kolektif dengan pendidikan dan pengetahuan dari hulu hingga ke hilir bisnis ekonomi. Saat ini masyarakat telah mengorganisir diri melalui Koperasi Kopi Rakyat. Melalui wadah kolektif ini, kemudian petani kopi bertumbuh secara bersama. Hari ini, sistem ekonomi yang bertumpu pada kekuatan petani kopi telah mengantarkan petani lebih sejahtera dibandingkan selama ini tergantung sistem ekonomi kopi yang sifatnya kapitalistik menindas.

Hari ini praktek budidaya, pengolahan kopi telah membuat petani kopi lebih percaya diri dan masuk terhubung dengan akses pasar ekonomi dan ekologi. Karena praktek pertanian yang dilakukan mulai bergeser dari sistem konvensional yang mengandalkan pupuk pestisida yang mengandung racun ke pertanian yang ramah lingkungan.

Untuk merawat dan menjaga gerakan kolektif itu, WALHI dengan dukungan GLA melalui Program GLA juga membangun akademi ekologi Pondok Belajar Pangan Berkelanjutan.

Akademi ini terhubung dengan komunitas rakyat, masyarakat adat dan pemuda. Pondok belajar didirikan di atas lahan seluas 1.600 meter persegi, bangunan kayu dua lantai, dilengkapi dengan fasilitas ruang belajar, ruang istirahat, alat roasting kopi dan di lahannya juga tersedia budidaya maggot, madu kelulut, lahan untuk mempraktekkan pertanian terpadu yang ramah lingkungan seperti sawah pokok murah. Juga ada kolam ikan untuk mempraktekkan budidaya perikanan. Dan juga aneka tanaman pangan.

Pondok Belajar Pangan berkelanjutan ini menjadi tempat dan ruang yang bisa digunakan siapa saja, baik oleh Walhi dan komponennya. Maupun jaringan WALHI, termasuk oleh pemerintah, dunia pendidikan (sekolah maupun perguruan tinggi). WALHI sebagai rumah gerakan rakyat, menyiapkan pondok ini menjadi wadah yang bisa diakses semua pihak. Baik oleh bersama berkolaborasi membangun sistem ekonomi yang adil, inklusif dan berkelanjutan. Sehingga tantangan global yang kita hadapi hari ini seperti krisis iklim dapat kita jawab melalui pembangunan ekonomi di kampung-kampung dengan menjaga hutan, masyarakatnya sejahtera, dan hutannya tetap lestari.

Semua agenda yang dilakukan WALHI di Lanskap Mudiak Baduo, akan berkontribusi kepada menjaga hutan di lanskap ini, sebagai sumber penghidupan di dua provinsi, Sumatera Barat dan Jambi. Bahkan juga akan berdampak pada ekosistem Pantai Timur Pulau Sumatra. Dengan lahirnya inisiatif ekonomi, utamanya di dalam dan sekitar kawasan hutan yang lebih inklusif, adil dan berkelanjutan, maka segala tekanan lingkungan hidup seperti deforestasi yang semakin luas di kawasan hutan dapat ditekan dan dapat kita pulihkan. Sehingga pembangunan berkelanjutan betul dapat diterapkan di enam kab/kota di hulu DAS Batang Hari II dan akan berdampak situasi lingkungan hidup di Provinsi Jambi dan pantai timur Pulau Sumatra.

Inisiatif dan kerja-kerja kolektif yang selama ini dilakukan melalui dukungan Program GLA ke depan harus tetap dilanjutkan, karena melihat kebijakan kehutanan yang diluncurkan oleh pemerintah hari ini bergerak pada eksploitasi hutan. Hal ini sudah ke luar dari tujuan utama menjaga dan merawat hutan unruk masa depan yang lebih adil. Ke depan, tekanan di sektor ke kehutanan melalui kebijakan nasonal akan jadi tantangan tersendiri dan upaya yang selama ini kita lakukan, menyelamatkan Lanskap Mudiak Baduo terancam oleh kebujakan nasional. Untuk itu, insiiatif dan kerja kolektif selama ini harus terus dilanjutkan, sehingga daoat mendorong kebijakan di sektor kehutanan yang inklusif dan akan menjawan keadilan ruang dan antargenerasi, membawa manfaat untuk Sumbar, Jambi dan pantai timur Sumatera. (*)

Wengki Purwanto, Direktur WALHI Sumatera Barat

Baca Juga

Walhi Sumbar menyebut gubernur Sumbar sudah memberikan dukungan terhadap perusahaan untuk mengembangkan PLTS Singkarak. Dukungan
Kata Walhi Sumbar Soal Rencana Pembangunan PLTS di Danau Singkarak
KPU Sumbar menetapkan pasangan Mahyeldi Ansharullah dan Vasko Ruseimy sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih pada Pilkada 2024
Ditetapkan Jadi Gubernur dan Wagub Sumbar, Ini 10 PR Mahyeldi-Vasko Soal Lingkungan
Walhi Sumbar Laporkan Oknum Kepolisian ke Kompolnas, Kapolda Sumbar: Perlu Pendalaman
Walhi Sumbar Laporkan Oknum Kepolisian ke Kompolnas, Kapolda Sumbar: Perlu Pendalaman
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatra Barat menyebut insiden penembakan Kasatreskrim Polres Solok Selatan, AKP Ryanto
Kasus Penembakan Kasatreskrim Solsel, WALHI Sumbar Sebut Ini Tragedi Kejahatan Lingkungan
Bencana longsor di tambang emas ilegal di Nagari Sungai Abu, Kecamatan Hiliran Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatra Barat, pada Kamis (26/9/2024)
Ini Kata Walhi Sumbar Soal Longsor Tambang Emas Ilegal di Solok
Walhi Sumatra Barat secara resmi melaporkan dugaan maladministrasi terkait penundaan pembongkaran bangunan hotel
Walhi Laporkan Dugaan Maladministrasi Soal Penundaan Pembongkaran Hotel di Lembah Anai ke Ombudsman