Gen Z dan Partai Digital: Masa Depan Politik Indonesia

Gen Z dan Partai Digital: Masa Depan Politik Indonesia

Ilustraso Gen Z dan dunia digital. (Sumber: Google Gemini)

Oleh: Intan Wahyuni

Ketika pemilu datang, jumlah pemilih muda akan selalu menjadi sorotan. Bagaimana tidak, berdasarkan data yang diperoleh dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), dari total 204.807.222 pemilik suara pada Pemilu 2024, 60% di antaranya adalah generasi muda yang diwakili oleh generasi milenial, generasi X, dan termasuk juga Gen Z individu yang lahir antara 1997 hingga 2012.

Namun, di balik tingginya angka persentase yang dicatat oleh KPU, sejumlah penelitian justru menunjukkan rendahnya partisipasi politik generasi muda. Apa sebenarnya yang menyebabkan hal tersebut terjadi? Kenapa generasi muda jarang hadir di rapat umum, enggan masuk struktur partai, dan bahkan menunjukkan sikap yang cenderung skeptis terhadap politisi?

Generasi Z dikenal sebagai kritis, inovatif, cepat bosan, dan lebih suka terhadap komunikasi dua arah. Riset yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (2023) menunjukkan bahwa sebagian besar anak muda merasa lebih nyaman dalam menyampaikan aspirasinya melalui media sosial seperti Instagram Story, thread di X, atau video singkat di akun TikTok mereka, daripada mengikuti acara politik seperti kampanye dan lain sebagainya. Menurut pengamatan saya, ini bukanlah tanda apatis, melainkan bentuk cerminan bahwa cara pendekatan berpolitik lama tidak lagi sejalan dengan pola komunikasi yang dilakukan Gen Z. Jika cara berpolitik masih hanya hadir dalam bentuk baliho dan pidato yang kaku, saya rasa wajar bila Gen Z merasa tidak memiliki ruang untuk terlibat.

Nah, di sinilah saya mulai melihat konsep partai digital (digital party) mulai relevan. Dengan memanfaatkan teknologi mulai dari platform keanggotaan online, kampanye berbasis media sosial, hingga dialog interaktif melalui aplikasi partai digital dapat hadir dalam ruang yang akrab dengan Gen Z. Seperti yang ditulis oleh Helen Margetts, “Digital parties represent a transformation of political engagement through online platforms, allowing more interactive, immediate, and inclusive participation” (2006:12). Menurut saya, inilah yang akan menjadi kunci agar politik dan generasi muda bisa kembali bertemu.

Riset Badan Pusat Statistik (2023) juga mencatat bahwa kelompok usia 19–24 tahun adalah pengguna media sosial terbesar di Indonesia. Artinya, ruang digital menjadi pintu utama bagi partisipasi mereka. Saya berpendapat, jika partai ingin didengar oleh Gen Z, maka ruang digital harus dijadikan medium utama, bukan hanya sekadar pelengkap.

Beberapa partai di Indonesia ternyata sudah mencoba untuk menyesuaikan diri. PSI, misalnya, mengandalkan branding digital dengan gaya komunikasi santai yang dekat dengan anak muda. Partai Demokrat membangun kanal Demokrat TV untuk menyebarkan pesan politik secara lebih modern. PDIP serta Gerindra aktif menggunakan TikTok, Instagram, hingga YouTube untuk melakukan pendekatan dengan generasi muda lewat konten ringan dan mudah dibagikan. Bahkan Partai Amanat Nasional (PAN) menggunakan strategi komunikasi digital berbasis media sosial untuk menguatkan citra politiknya. Langkah-langkah ini telah menunjukkan kesadaran partai bahwa masa depan politik Indonesia ada di dalam ruang digital.

Konsep partai digital ini juga telah banyak dibahas oleh para akademisi. Paolo Gerbaudo (2019) dalam bukunya The Digital Party menyebutkan bahwa partai digital meniru logika platform media sosial: cepat, cair, interaktif, dan sangat bergantung pada partisipasi anggota. Implementasinya bisa beragam: pendaftaran anggota secara online tanpa birokrasi panjang, forum diskusi virtual untuk mengumpulkan gagasan, pemungutan suara internal lewat aplikasi, hingga kampanye digital berbasis big data. Dampak positifnya adalah partisipasi politik Gen Z bisa meningkat karena hambatan masuk yang rendah. Tidak perlu hadir secara fisik, cukup dengan klik atau login, anak muda bisa ikut merasakan memiliki partai dan terlibat dalam pengambilan keputusan.

Partai digital telah menawarkan peluang besar untuk memperkuat partisipasi politik Gen Z. Karakter mereka yang digital native menuntut partai untuk menyesuaikan diri. Di sini saya melihat ada dua hal yang perlu dilakukan. Pertama, partai harus benar-benar serius membangun strategi digital yang konsisten dan inklusif, bukan hanya datang ketika masa pemilu. Kedua, di tengah maraknya penyebaran hoaks, literasi politik digital anak muda perlu ditingkatkan lagi agar mereka tidak mudah terjebak dalam disinformasi atau aktivisme semu.

Generasi Z ialah wajah masa depan demokrasi Indonesia. Mereka bukanlah generasi yang apatis, melainkan generasi yang sedang mencari bentuk baru keterlibatan. Jika partai mampu hadir dengan cara yang akrab, maka politik tidak akan lagi terasa jauh, melainkan akan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. (*)

Penulis: Intan Wahyuni, mahasiswa Ilmu Politik, FISIP Universitas Andalas

Baca Juga

Partai Digital dan Partisipasi Publik di Era Baru
Partai Digital dan Partisipasi Publik di Era Baru
Ada pepatah lama yang berbunyi, “Sedia payung sebelum hujan”. Sayangnya, bagi Generasi Z (GenZ), payung itu kadang terlupakan
Peran Komunikasi Digital dalam Identitas Sosial Generasi Z
Menyoal Kebijakan Tata Ruang Kota Padang
Menyoal Kebijakan Tata Ruang Kota Padang
"Simuntuk" dalam Alek Nagari: dari Tradisi Lokal Menuju Atraksi Wisata Mancanegara
"Simuntuk" dalam Alek Nagari: dari Tradisi Lokal Menuju Atraksi Wisata Mancanegara
Ilustrasi parkir Liar
Citra Wisata Taplau Tergerus Parkir Liar
Dari Zonasi ke Domisili, Menjadi Solusi atau Komplikasi?
Dari Zonasi ke Domisili, Menjadi Solusi atau Komplikasi?