Di Balik Demonstrasi 1 September 2025: Suara Kemanusiaan, Alarm Reformasi

Oleh: Pijar Qolbun Sallim

Kematian Affan Kurniawan seharusnya menjadi lonceng yang membangunkan seluruh nurani bangsa ini. Tragedi itu bukan sekadar kecelakaan prosedural, melainkan simbol betapa jauhnya aparat kita tersesat dari prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab. Rantis yang seharusnya menjaga, justru melindas rakyat kecil, seorang pengemudi ojek online yang sedang memperjuangkan hidupnya. Nyawa Affan direnggut oleh alat negara yang semestinya melindungi. Inilah ironi paling telanjang: negara gagal menjadi pelindung, malah menjelma predator bagi warganya sendiri.

Namun, sejarah selalu menunjukkan, di balik setiap tragedi ada kebangkitan moral. Dan tanda-tanda itu tampak jelas pada demonstrasi 1 September 2025 oleh mahasiswa Universitas Andalas di DPRD Sumbar. Aksi ini membuktikan bahwa masih ada kekuatan moral yang tegak berdiri di tengah runtuhnya solidaritas bangsa. Mahasiswa turun ke jalan, bukan dengan batu, bensin, atau amarah membabi buta, melainkan dengan gagasan, tuntutan, dan sikap bermartabat. Mereka dilepas langsung oleh rektor, membuktikan legitimasi moral dan intelektual dari gerakan ini. Dari sudut pandang ilmu politik, aksi ini bukan sekadar ekspresi marah, tetapi perwujudan kesadaran kolektif. Dari kaca mata teori gerakan sosial, aksi ini bisa dibaca dengan jelas.

Pertama, Resource Mobilization Theory menjelaskan bagaimana gerakan sosial lahir dari kemampuan mengorganisir sumber daya: manusia, gagasan, jaringan, dan legitimasi. Mahasiswa Unand membuktikan hal itu. Mereka tidak datang membawa amarah kosong, melainkan gagasan yang dirumuskan dalam 17 + 8 tuntutan. Mereka dilepas langsung oleh rektor, sebuah simbol legitimasi moral sekaligus dukungan institusional. Bahkan setelah aksi selesai, mereka memungut sampah sendiri. Itu adalah bentuk simbolik yang memperlihatkan moral resources dan kapasitas organisasi mereka. Kedua, Political Opportunity Structure menegaskan bahwa gerakan muncul ketika ada celah politik yang memungkinkan suara rakyat didengar. Tragedi Affan membuka ruang itu: publik marah, legitimasi Polri merosot, dan mahasiswa melihat peluang untuk menyalakan kembali agenda reformasi. Demonstrasi 1 September menjadi medium untuk menegaskan: mahasiswa tidak sekadar bereaksi pada kasus Affan, tetapi memanfaatkan momentum untuk mengajukan agenda perubahan yang lebih luas.

Saya hadir dan menyaksikan: pukul enam sore aksi bubar tertib, tanpa kerusakan, tanpa kekerasan. Bahkan mahasiswa Unand memungut sampah sendiri, seakan ingin berkata kepada bangsa ini: inilah wajah sejati demonstrasi, aksi damai yang lahir dari kesadaran, bukan kerusuhan. Mereka membawa 17 + 8 tuntutan, yang sesungguhnya merupakan refleksi dari keresahan rakyat. Inilah kebalikan total dari gambaran demonstrasi anarkis yang kerap dijadikan stigma oleh penguasa untuk membungkam suara mahasiswa.

Dua peristiwa ini, kematian Affan dan demonstrasi mahasiswa, adalah cermin yang saling melengkapi. Pada Affan, kita melihat wajah muram negara yang gagal menjaga kemanusiaan. Pada mahasiswa, kita melihat secercah harapan: bahwa bangsa ini belum sepenuhnya mati rasa. Bahwa masih ada generasi yang sanggup menyalakan obor moral, menyuarakan kebenaran dengan tertib, santun, dan bermartabat. Maka tuntutan reformasi Polri yang lahir dari tragedi Affan Kurniawan tak boleh berhenti pada kecaman. Ia harus menjadi agenda politik nasional yang dikawal, sama seperti mahasiswa mengawal setiap pasal dalam demonstrasi mereka. Reformasi Polri bukan hanya soal restrukturisasi, tapi juga reformasi budaya: agar aparat kembali sadar bahwa rakyat bukan objek untuk ditindas, melainkan subjek yang harus dilindungi.

Kita harus jujur: bangsa ini sedang berdiri di persimpangan. Jika tragedi Affan hanya kita tangisi, lalu kita lupakan, maka kita sedang berjalan menuju jahiliyah baru: ketika hukum tunduk pada kekuasaan, dan nyawa rakyat tak lebih dari angka statistik. Tetapi jika kita belajar dari demonstrasi mahasiswa Unand, dengan cara damai, bermartabat, konsisten, dan kolektif, maka kita masih punya harapan. Hari ini, Affan Kurniawan mungkin menjadi korban. Esok, bisa jadi siapa saja: adik kita, kakak kita, bahkan diri kita sendiri. Tapi mahasiswa sudah memberi contoh: bahwa melawan ketidakadilan tidak harus dengan amarah membabi buta, melainkan dengan keberanian, keteguhan, dan cinta pada bangsa. Pertanyaannya, apakah kita semua berani bergabung dalam barisan itu?

Penulis: Pijar Qolbun Sallim, Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas

Baca Juga

Elemen masyarakat dari mahasiswa, kelompok masyarakat sipil hingga pengemudi ojek online atau ojol akan melakukan aksi di DPRD Sumbar
Ada Aksi Demo di DPRD Sumbar Senin Siang, Hindari Ruas Jalan Ini
Alasan Dinas Pendidikan Sumbar Tak Liburkan Siswa SMA karena Demo
Alasan Dinas Pendidikan Sumbar Tak Liburkan Siswa SMA karena Demo
Pemko Padang Panjang akan meluncurkan Kartu Padang Panjang Pintar. Hal itu dimaksudkan untuk mendukung pemenuhan perlengkapan sekolah
Antisipasi Dampak Demo, Disdik Kota Padang Liburkan Siswa TK-SMP
Massa aksi yang terdiri dari mahasiswa di Kota Padang unjuk rasa di Polda Sumbar menuntut reformasi Polri pasca insiden represif polisi
Mahasiswa Geruduk Polda Sumbar, Desak Reformasi Polri
Koordinator Pusat Aksi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Sumatra Barat (SB), Rifaldi mengungkapkan bahwa 100 hari kerja Prabowo-Gibran
BEM SB Desak Presiden Berikan Pendidikan Gratis dan Cabut Inpres Efisiensi Anggaran
Beredar Video Wabup Pasaman Barat Ajak Warga Air Bangis yang Demo Pulang
Beredar Video Wabup Pasaman Barat Ajak Warga Air Bangis yang Demo Pulang