Pemuda Tunggangan Elit Politik: Gerakan Ber-nominal Menuju Budaya Partisipasi Pragmatis

Oleh: Deza Putra Adelyen

Di tengah semangat demokrasi yang seharusnya menumbuhkan partisipasi aktif dan kritis dari seluruh elemen masyarakat, khususnya generasi muda sebagai penentu masa depan, realitas di berbagai tempat di Indonesia, justru menunjukkan fenomena memprihatinkan. Pemuda yang semestinya menjadi motor perubahan dan garda terdepan dalam menyuarakan kebenaran, kini terjebak dalam lingkaran setan politik uang yang terstruktur, diubah menjadi "tunggangan" elit politik untuk menggerakkan massa aksi sesuai pesanan, dengan imbalan materi yang menggiurkan namun merusak jati diri.

Praktik ini, yang bisa disebut sebagai "gerakan ber-nominal." Gerakan seperti ini mengubah ruang publik yang seharusnya menjadi arena perjuangan aspirasi murni menjadi panggung sandiwara politik yang dikondisikan. Kondisi ini tercipta karena segelintir oknum pemuda, yang seringkali menjadi perantara atau "broker," aktif menjual massa dan mengatur skenario aksi demonstrasi atau unjuk rasa berdasarkan "deal-deal" finansial tertutup dengan para elit politik di balik layar, baik itu di tingkat eksekutif maupun legislatif, yang membutuhkan dukungan massa untuk memuluskan agenda tertentu atau menekan lawan politik.

Mekanismenya relatif sederhana namun sangat efektif dalam merusak tatanan. Elit politik yang membutuhkan "kekuatan demonstrasi" untuk menunjukkan dukungan rakyat (palsu) atau menyerang kebijakan/pejabat tertentu, menghubungi jaringan pemuda tertentu yang dikenal memiliki kemampuan menggerakkan massa. Kesepakatan nominal per orang atau total anggaran untuk aksi pun dibuat, seringkali dengan pembayaran di muka atau sistem bagi hasil. Kemudian, pemuda "broker" ini secara sistematis merekrut warga, terutama dari kalangan menengah ke bawah atau mahasiswa yang membutuhkan uang saku, dengan iming-iming bayaran, transportasi, dan makanan.

Hasilnya adalah massa aksi yang besar dan terlihat "meriah," namun esensi protesnya telah hilang, digantikan oleh niat pragmatis semata, dan aspirasi yang disampaikan-jika ada-bukanlah suara hati rakyat melainkan naskah yang ditulis oleh sang elit politik yang membayar. Situasi ini menciptakan budaya partisipasi yang sangat pragmatis dan bahkan kriminal, di mana aksi demonstrasi kehilangan sakralitasnya sebagai puncak dari kekecewaan dan protes rakyat yang tulus, berubah menjadi komoditas politik yang diperjualbelikan, merusak kepercayaan publik terhadap gerakan sosial dan menodai citra pemuda.

Dampaknya lebih luas dari sekadar transaksi kotor: demokrasi tereduksi menjadi pertarungan siapa yang punya dana lebih besar untuk menyewa massa. Suara rakyat yang sesungguhnya tenggelam oleh teriakan massa bayaran yang berulang kali dengan tuntusan serupa namun berbeda "pemesan,". Hal yang paling tragis, generasi muda yang seharusnya menjadi kader pemimpin masa depan dengan integritas dan visi terdidik dalam lingkungan yang mengajarkan bahwa perjuangan bisa dibeli, idealisme bisa ditukar dengan rupiah, dan menjadi "tunggangan" elit adalah jalan pintas menuju popularitas atau keuntungan pribadi, bukannya melalui kerja keras, kapasitas intelektual, dan pengabdian tulus pada masyarakat.

Budaya partisipasi pragmatis ini juga menggerus solidaritas sosial dan kebersamaan, menggantinya dengan hubungan transaksional yang dingin. Pemuda yang seharusnya bersatu untuk memperjuangkan kesejahteraan bersama justru saling menjual dan membeli jasa satu sama lain atas nama kepentingan politik sesaat yang menguntungkan segelintir pihak.

Oleh karena itu, fenomena "pemuda tunggangan elit politik" ini bukan sekadar masalah individu atau kelompok kecil, melainkan ancaman serius bagi fondasi demokrasi dan masa depan pembangunan karakter bangsa. Butuh sikap tegas dari semua pihak: penegak hukum harus proaktif mengusut tuntas kasus-kasus politik uang dalam penggerakan massa, partai politik dan elitnya harus menghentikan praktik membeli dukungan dan kembali pada kompetisi berbasis gagasan.

Masyarakat juga perlu lebih kritis membedakan aksi spontan rakyat dengan aksi sewaan. Dan, yang terpenting, para pemuda harus bangkit menyadari posisi strategis mereka, menolak tawaran finansial yang merusak martabat, dan kembali pada jalan perjuangan yang benar menjadi agen perubahan yang independen, kritis, dan berintegritas, bukan lagi sekadar "tunggangan" elit politik dalam gerakan ber-nominal yang menjauhkan mereka dari esensi sejati partisipasi publik yang bermartabat. (*)

Deza Putra Adelyen_Mahasiswa Ilmu Politik, Universitas Andalas

Tag:

Baca Juga

Dari Machiavelisme Hingga Kambing dan Singa
Dari Machiavelisme Hingga Kambing dan Singa
Silaturahmi dan Kolaborasi: Demokrat Sumbar Siap Jawab Kepercayaan Rakyat
Silaturahmi dan Kolaborasi: Demokrat Sumbar Siap Jawab Kepercayaan Rakyat
Ijtihad Politik Muhammadiyah Sumbar
Ijtihad Politik Muhammadiyah Sumbar
Opini “Bersyukur Masih Nomor Dua” oleh Gamawan Fauzi (Gubernur Sumatera Barat Periode 2005-2009), mengangkat isu tentang capaian pendidikan
Pergeseran Nilai Muhammadiyah Sumbar dalam Politik?
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Politik Tanpa Akhir
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dikenal memiliki sejarah politik yang kaya dan beragam, selalu menunjukkan dinamika politik yang unik.
Rasionalkah Rasionalitas Politik Orang Minang?