Sipora: Pulau Kecil, Beban (Bencana) Ekologis Besar

Sipora: Pulau Kecil, Beban (Bencana) Ekologis Besar

Jemari Ibiari T Oinan, 54, menunjuk jejak lumpur banjir pertengahan bulan Juli 2025 yang membekas tipis di dinding rumahnya, di Dusun Mangilik, Desa Saureinu, Kecamatan Siporan Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Foto: Yose Hendra

Langgam.id - Jemari Ibiari T Oinan, 54, menunjuk jejak lumpur yang membekas tipis di dinding rumahnya di Dusun Mangali, Desa Saureinu, Kecamatan Siporan Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, sore nan garang, akhir bulan Juli 2025. Jejak lumpur bekas banjir besar 14 Juli lalu itu membias secara horizontal dengan tinggi sekitar satu meter dari dasar lantai.

Banjir bergenang lama di rumahnya, merendam segala perabotan yang ada. Dan Ibiari sekeluarga pun mengungsi hingga banjir surut. Selain rumah Ibiari, banyak lagi rumah-rumah di Saureinu yang terdampak, barang-barang basah, sebagian tidak sempat diselamatkan.

Rumah Ibiari tak begitu jauh dari sungai Saureinu. Jaraknya sekitar 30 meter dari sempadan sungai. Banjir yang menggenangi rumah Ibiari akibat luapan sungai tersebut. Data dari Pemerintah Desa Saureinu, banjir pertengahan Juli itu merendam 225 rumah yang dihuni 225 kepala keluarga.

“Kalau jiwa keseluruhan terdampak banjir bulan Juni di Saureinu itu 435 kepala keluarga atau lebih kurang 800 jiwa. Itu lebih setengah populasi desa yang berjumlah 1535 jiwa,” terang Kepala Desa Saureinu Tirjelius, 49, Kamis (31/7/2025) di Desa Saureinu.

"Untungnya tidak ada korban jiwa, tapi masyarakat benar-benar kewalahan,” Tirjelius menambahkan.

Lampiran Gambar
Kepala Desa Saureinu Tirjelius. Foto: Yose Hendra | Langgam.id

Sungai besar yang membelah Desa Saureinu, menjadikan kawasannya rentan banjir. Bila intensitas hujan tinggi dalam durasi lama, maka alamat akan terjadi banjir. Seperti banjir besar bulan Juli lalu, terjadi karena hujan mendera sekitar 48 jam yang membuat sungai Saureinu tak berdaya menampung.

Banjir di Saureinu, kata Tirjelius, normalnya datang dua tahun sekali, dan untuk skala banjir besar kadang lima tahun sekali. Namun beberapa tahun belakangan sudah tiap tahun. Bahkan untuk tahun ini, hingga bulan Juli sudah dua kali.

Dan biasanya juga ketinggian banjir tak terlalu tinggi. “Kalau di jalan ini setengah meter, maksimal 75 cm,” ujarnya.

Namun peristiwa banjir pertengahan bulan Juli lalu termasuk paling besar dalam riwayat banjir yang kerap mendera Saureinu. Menurut Tirjelius, ketinggian banjir pada bulan Juli itu 2,5 meter dari permukaan tanah. Jika dari dari kedalaman sungai, 4-5 meter.

Tirjelius juga membandingkan keadaan banjir dulu dengan sekarang. Kalau banjir yang dulu, katanya, air banjirnya tak terlalu keruh. Sementara banjir sekarang ini, keruh karena bercampur lumpur.

“Ya kan bisa kita bedakan banjir itu dari keruhnya itu. Artinya kan keruhnya itu kan kental dia. Kayak lumpur dia. Artinya memang sedimen daerah aliran sungai yang terbawa,” bilang Tirjelius.

Bulan Juli itu, banjir besar di Pulau Sipora bukan saja melanda di Saureinu, melainkan juga desa-desa lain di sisi timur pulau yang dibelah sungai. Antara lain, Desa Gosooinan, Matobe, Nemnemleleu. Banjir yang melanda sejumlah desa ini, hanya berselang satu bulan dari kejadian banjir yang terbilang besar juga pada 9-10 Juni 2025.

Lampiran Gambar
Banjir merendam kampung-kampung yang ada di Desa Saureinu, Kecamatan Siporan Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai bulan Juni 2025. Banjir besar juga kembali terjadi pada pertengahan bulan Juli 2025. Kerusakan tutupan hutan dan lahan di kawasan hulu Sungai Saureinu diduga menjadi biang banjir. Foto: Dok. Kepala Desa Saureinu Tirjelius.

“Banjir besar lalu, masyarakat terdampak di dua kecamatan 877 kepala keluarga (KK) dari ratusan kk terdampak banjir,” kata Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik dan Manager Pusdalops PB BPBD Kabupaten Kepulauan Mentawai Amir Ahmari.

Amir mengatakan Mentawai sangat rentan banjir. Adapun yang sudah dikategorikan wilayah langganan banjir terjadi di sejumlah desa di Kecamatan Sipora Selatan, Kecamatan Sipora Utara, Kecamatan Siberut Daya, Siberut Selatan, Siberut Utara.

Untuk Sipora Utara, banjir kerap terjadi di Tuapeijat, Gosooinan, Sido Makmur. Sementara di Sipora Selatan, banjir sering melanda Matobe, Saureinu, Mara, Bosua.

Menurut Amir, penyebab banjir di Mentawai karena daerah aliran sungai (DAS) tidak bersih dan tidak rapi, drainase bermasalah seperti mampet oleh sampah, penebangan-penebangan pohon dekat DAS.

 “Desa yang kerap banjir tidak serta merta dipicu deforestasi, tapi penyebab banjir salah satunya itu,” tukas Amir.

“Rutin tiap tahun.  Rata-rata sekali. Tergantung curah hujan,” bilang Amir.

Beberapa waktu belakangan rutinitas banjir besar tak lagi sekali setahun. Di sejumlah desa di Sipora, banjir besar sudah dua kali menyapa hingga bulan Juli 2025.

Sekaitan dengan kondisi ini, warga hanya bisa menghela napas, sebab sungai merupakan sumber air bersih, sekaligus sumber ekonomi bagi desa-desa di Sipora.

Kebanyakan perempuan yang bermukim di kampung-kampung yang dialiri sungai, berendam sepanjang hari dengan mengais ulat bernama toek yang tersuruk dalam keratan kayu mengapung di sungai. Toek yang akan protein dijual dengan harga cukup menjanjikan.

Nah, bila terjadi banjir, bilang Tirjelius, mereka yang bermata pencaharian lewat usaha toek, tak bisa lagi beroperasi karena air besar dan kadang keratan kayu tempat bersarangnya toek hanyur dibawa arus.

Ketua Forum Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Mentawai Sandang Paruhum Simanjuntak, menegaskan Kepulauan Mentawai merupakan wilayah dengan kerentanan tinggi terhadap berbagai bencana alam. Menurutnya, kondisi geografis dan geologi Mentawai menjadikan pulau ini harus lebih serius dalam membangun ketangguhan.

"Pertama, Mentawai adalah pulau kecil dengan sungai-sungai pendek, sehingga sangat rentan terhadap banjir, termasuk banjir rob di Mapaddegat, Tuapeijat, dan Sioban. Kedua, dari sisi geologi, tanah kita terdiri dari batuan muda yang rapuh sehingga rawan longsor. Kasusnya sering terjadi di Sipora, seperti di Gosooinan, Matobe, Bosua, Berilou, hingga SP2 dan SP3, serta di Siberut Selatan," jelas Sandang.

Selain banjir dan longsor, Mentawai juga menghadapi ancaman gempa, tsunami, banjir rob, hingga likuifaksi dan puting beliung.

“Kalau hutannya asli saja sudah banjir, apalagi kalau dirusak. Bahayanya makin besar,” ucap Tirjelius.

Deforestasi Biang Banjir di Sipora

Tirjelius menilai, banjir seperti lumpur hanyut di Saureinu imbas rusaknya aliran sungai karena masifnya kegiatan-kegiatan perusahaan kayu di bagian hulu sungai. Dan itu sudah berlangsung lama.

Salah satu hulu sungai Saureinu berada di kawasan hutan di Bukit Pamewa SP3, Kecamatan Sipora Utara. Wilayah adat Saureinuk yang merambat riam sungai Saureinu di dalamnya, berbatasan punggungan gunung dengan Bukit Pamewa SP3. Sementara Bukit Pamewa sendiri berbatasan dengan wilayah Tuapeijat yakni kampung Berimanua, Dusun Berkat itu. Kawasan ini bersinggungan dengan konsesi PT Bhara Union yang dulunya mendapatkan mendapatkan izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Pulau Sipora seluas 43 ribu Ha.

Bhara Union merupakan satu dari enam perusahaan yang mendapatkan izin HPH di Kepulauan Mentawai pada tahun 1971. Lima perusahaan lainnya adalah PT Cirebon Agung, PT Jaya Sumber Indah, PT CPPS, CV Minas Lumber Corporation, dan PT Kayu Siberut. Sejak saat itu, deru mesin gergaji mulai menembus sunyi hutan Mentawai.

Menurut catatan Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM), Lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang konsentrasi pada advokasi hak masyarakat adat Mentawai, sejak adanya izin HPH di Mentawai seperti Pulau Sipora, maka kayu-kayu di hutan banyak dibabat, menyisakan persoalan ekologis dan sosial.

Lampiran Gambar
Bagian hulu sungai di kawasan Bukit Pamewa, Kecamatan Sipora Utara, tak begitu jauh dari PDAM Bukit Pamewa, berada di kawasan tutupan hutan yang sudah terbuka. Foto: Yose Hendra | Langgam.id

Telusur hulu sungai Saureinu yang dilakukan penulis bersama rekan jurnalis lain dalam liputan kolaboratif Depati Project, akhir bulan Juli lalu, mendapati bagian hulu sungai di kawasan Bukit Pamewa tak begitu jauh dari PDAM Bukit Pamewa, berada di kawasan hutan yang sudah meruyak. Saujana rimba rimbun dari kejauhan sepertinya hanya fatamorgana, sebab pepohonan besar berganti lahan yang diolah untuk perkebunan. Kawasan itu berdekatan dengan konsesi Bhara Union.

Jejak tikaman Bhara Union berpuluh tahun pada tubuh hutan Pulau Sipora masih terlihat dan terasa hingga saat ini. Jalan lansir kayu yang lebar membelah punggungan bukit di kawasan hutan seperti Hutan Berkat, bertudung kanopi hutan yang renggang. Kiri kanan jalan terlihat kayu-kayu muda dan sebagian baru bertunas. kayu kruing merah ada disela-selanya, dan jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Kruing merah merupakan salah satu kayu berkualitas tinggi yang selama ini ditebangi perusahaan tersebut.

Jika perjalanan dilanjutkan hingga ujung jalan maka akan terhenti di Dusun Pukarayat, Desa Tuapeijat. Pukarayat yang berada di sisi barat Pulau Sipora akan dijumpai log pond (tempat penimbunan kayu) usaha penebangan kayu berbasis SIPUHH. Dan kini lokasi yang sama sudah diproyeksikan menjadi log pond PT Sumber Permata Sipora (SPS) yang sedang menjalani proses Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH).

Lampiran Gambar
Log pond atau tempat penimbunan kayu kelola hutan berbasis SIPUHH di kawasan APL di Dusun Pukarayat, Desa Tuapeijat, Pulau Sipora, diproyeksikan menjadi log pond PT SPS bila beroperasi nantinya. Foto: Dok. Tommy Adam | WALHI Sumbar

Syahdan, sejak adanya aktivitas perusahaan di bagian hulu sungai Saureinu, warga setempat sering ketiban banjir.

“Hujan lebat berturut-turut 3-6 jam saja itu pasti banjir. Kalau dulunya ya banjir juga sama durasinya. Tapi dia kan ada limit, ada tahapan. Artinya banjir dulu nggak terlalu ditakuti. Tetapi perusahaan kayu yang sudah lama beroperasi, menjadikan kampung kami sering banjir. Bahkan kemarin itu banjirnya paling terbesar,” ungkap Tirjelius.

Dewan Pengarah Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Provinsi Sumatra Barat  Khalid Syaifullah mengatakan, banjir yang kerap melanda Pulau Sipora dipicu perubahan tutupan lahan akibat deforestasi dan degradasi kawasan hutan.

Syaiful yang pernah bekerja di Sekretariat Pengembangan Masyarakat Mentawai Sumbar (SPKM-Sumbar) selama dekade 1990-an, menyaksikan langsung geliat perusahaan kayu seperti Bhara Union membabat hutan Pulau Sipora. PT Bhara Union mendapatkan izin HPH dari pemerintah pada 1971, dengan luas 43.000 hektar. 

Sebelum Bhara Union beroperasi, katanya, juga sudah ada perusahaan menebangi hutan di Sipora. Tahun 2005 Kementerian Kehutanan tak lagi memperpanjang izin HPH PT Bhara Union. Estafet pembabatan hutan di Pulau Sipora kemudian berlanjut pada perusahaan-perusahaan yang beroperasi melalui skema Izin Pemanfaatan Kayu (IPK). Dan kontemporer, maraknya akses pengelolaan kayu berbasis Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH).

Lampiran Gambar
Aktivitas penebangan kayu dengan dasar SIPUHH menyisakan onggokan kayu yang sudah dipotong berbentuk balok, tak jauh dari alat berat pengelola di kawasan hutan di Sipora Utara. Foto: Yose Hendra | Langgam.id

Secara prinsip, IPK peruntukan izinnya untuk kebun. Kendati demikian, perusahaan yang mendapatkan IPK akan melakukan proses pembukaan dan pembersihan lahan dari vegetasi (pohon, semak, dan lainnya.) sebagai persiapan lahan untuk berkebun. Dan di konsesi APK biasanya kerapatan kayu masih ada. Alhasil, polanya tetap menebangi kayu, dan berdampak pada berkurangnya tutupan hutan.

Menurut Syaifullah, IPK izin tidak di hutan produksi, tapi luar area produksi. Sebab Secara administrasi izin kebun, karena tidak boleh di hutan negara, maka pihak perusahaan itu bikin di Areal Penggunaan Lain (APL) yang berbatas dengan hutan produksi.

“Secara administrasi kelua di APL dengan perizinan untuk kebun, tapi mengambil hutan produksi yang dulunya menjadi areal konsesi Bhara Union. Secara administrasi legal, praktik illegal. Itu makanya marak illegal logging di Pulau Sipora,” terangnya.

Sementara obral izin SIPUHH kepada warga selama ini, sangat berdampak pada kerusakan vegetasi hutan. Dalam SIPUHH, izin yang diperbolehkan cuma 50 ha, namun faktanya di lapangan satu orang pemilik izin kadang menebangi area 4 x 50 ha. Terkadang siasatnya, memperbanyak SIPUHH. Alhasil, luasan itu cukup berdampakpada vegetasi hutan, meluruhkan DAS yang saat ini kerap dilanda banjir seperti Saureinu.

Lampiran Gambar

Berdasarkan interpretasi citra satelit, organisasi non pemerintah Komunitas Konservasi Indonesia Warsi mencatat kurun waktu 2019 hingga 2024, Kepulauan Mentawai kehilangan hutan seluas 58.000 Ha.

“Karena analisis tersebut interpretasi, maka kita hanya menduga, tidak bisa memastikan penyebab deforestasi tersebut. Dugaan kami, deforestasi tersebut dikontribusikan oleh terbitnya sejumlah izin HTI di Mentawai,” kata Direktur KKI Warsi Adi Junedi.

Lampiran Gambar

Dan desa-desa yang kerap disapa banjir seperti Saureinu disebut dalam dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) PBPH milik PT SPS. Di atas kertas setebal 952 halaman itu, PT SPS menuliskan niatnya: membuka ruang pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu di bentang seluas ±20.706 hektare, yang merentang di Sipora Utara hingga Sipora Selatan, Kepulauan Mentawai.

Rinciannya, izin pemanfaatan hasil hutan kayu seluas 20.506 hektare, serta 200 hektare untuk jasa lingkungan. Luas konsesi tersebut mencakup sekitar sepertiga dari total luas Pulau Sipora yang hanya 61.518 hektar, sehingga menempatkannya dalam kategori pulau kecil.

Dokumen yang diterbitkan Maret 2025 itu menjadi rujukan utama untuk menakar risiko ekologis dan sosial dari sebuah rencana besar. Di dalamnya, batas wilayah studi tak hanya digambar dengan garis koordinat. Ada empat bingkai yang membatasi: proyek, ekologis, sosial, dan administratif.

Namun sesungguhnya, batas yang paling menentukan adalah batas ekologis. Di sinilah air dan udara menjadi medium penyampai akibat. Salah-salah bisa menjadi pendulum bencana. ANDAL mencatat ada 18 DAS yang beririsan langsung dengan areal PBPH. Yakni DAS Beriulou, Bosua, Bulak, Gegetaet, Masokut, Saureinu,  Sibagau, Siberumanua, Sibetumonga, Sigitci, Simabolat, Simanggai, Simapupu, Simatobaerak, Sioban, Sipasosoat, Taigemgem dan Teraet.

Lampiran Gambar
Tangkapan layar Dokumen ANDAL PT SPS dalam PBPH Hasil Hutan Kayu dan Hasil Hutan Bukan Hutan Seluas 20.706 Ha di Pulau Sipora

Semua DAS itu membentuk jaring kehidupan yang halus, tempat air hujan turun, meresap, lalu mengalir sebelum bermuara ke laut.

Perspektif ekologis yang diuraikan dalam Andal ini menegaskan: rencana pemanfaatan hutan di Sipora tak bisa hanya dipandang sebagai urusan izin dan angka hektare. Ia berkelindan dengan sistem alam yang jauh lebih luas, 18 DAS yang menjadi nadi kehidupan Mentawai. Menjaga DAS berarti menjaga keseimbangan tanah, air, udara, dan pada akhirnya, menjaga manusia yang hidup di dalamnya.

Dari sisi geomorfologi, sungai di Sipora termasuk aliran sungai pendek tapi bercabang-cabang. Pola sungai seperti ini, memungkinkan jarak aliran air dari sumber hulu itu akan lama proses sampai Samudera Hindia, muara semua sungai di Sipora. Dengan sungai pendek bercabang, perubahan yang terjadi di hulu sungai, dari hutan menjadi nonhutan akan memperparah alur sungai.

“Dalam artian bisa memperlebar sungai, anak sungai, kemudian pada akhirnya memperparah kondisi banjir di hilir DAS. Sementara hilir DAS sebagian besar areal pemanfaatan masyarakat yakni pemukiman, jalan, sarana prasarana ibadah, areal pertanian,” kata Koordinator Divisi Penguatan Kelembagaan dan Hukum Lingkungan WALHI Sumatra Barat (Sumbar) Tommy Adam.

WALHI Sumbar membuktikan teori dan hipotesa tersebut dengan melakukan analisis spasial di DAS Mappadegat, terkait banjir yang terjadi pada 9-10 Juni 2025.

“Ternyata kami menemukan di rentang waktu 2011-2025, DAS Mappadegat kehilangan hutan seluas 540 Ha yang sebagian besar berada di hulu dan tengah DAS. Kondisi alih fungsi lahan akibat deforestasi diduga menjadi penyebab terjadinya banjir di bulan Juni itu. Tidak ada lagi sistem hutan yang berfungsi melindungi kawasan-kawasan penyanggah atau kawasan yang dimanfaatkan oleh masyarakat di daerah hilir. Daerah langganan banjir seperti itu polanya,” beber Tommy.

Kepala Desa Tuapeijat, Pusubiat T. Oinan, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kondisi hutan di wilayahnya. Menurutnya, hulu DAS Mappadegat kini berada dalam kondisi rentan, salah satunya karena areal bekas konsesi PT Bhara Union.

Ia menjelaskan, di Dusun Berkat, kayu-kayu berdiameter besar, bahkan mencapai 50 sentimeter, telah banyak diambil. Kondisi ini membuat benteng alami penahan air semakin berkurang.

“Di Desa Tuapeijat saja ada lebih dari 6.000 jiwa. Mereka sangat rentan terdampak bencana, terutama masyarakat di Dusun Mappadegat yang kerap menghadapi ancaman banjir,” ujarnya.

Lampiran Gambar
Peta kondisi DAS Mappadegat. Foto: Dok. Tommy Adam | WALHI Sumbar

Semua DAS di Pulau Sipora berbatasan dengan punggungan bukit. Sebab, sungainya berhulu dari pegunungan dan relatif pendek. Sebanyak 18 DAS yang bersinggungan dengan tumpang tindih izin komitmen PBPH PT SPS, menurut Tommy sebagian besar di daerah hulu atau daerah yang menjadi mata air.

Imbasnya kata Tommy, pengambilan kayu selama ini mengubah bentang alam dan mempengaruhi kondisi DAS.

“Prosesnya berpengaruh ke arah negatif seperti pelebaran hulu sungai karena tak ada lagi tajuk pohon yang berfungsi menahan atau meredam energi kinetik dari percikan atau curah hujan,” jelasnya.

Tommy menjelaskan, persoalan serius yang muncul di Pulau Sipora bukan hanya deforestasi, tetapi juga sedimentasi. Pembukaan lahan besar-besaran menyebabkan erosi di hulu, dan material tanah yang terbawa aliran air akhirnya bermuara ke pesisir. Akibatnya, kawasan pantai menghadapi sedimentasi yang mengganggu banyak aspek kehidupan.

“Sedimentasi ini memengaruhi hasil tangkapan nelayan, merusak ekosistem terumbu karang karena tertutup lumpur, hingga menghambat masuknya cahaya matahari yang sangat penting bagi kehidupan bawah laut. Dampak paling nyata terjadi pada daerah habitat ikan karang,” ujar Tommy.

Ia juga menyoroti lemahnya kajian lingkungan dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). “Kami tidak menemukan analisis yang memadai soal sedimentasi. Padahal, sedimentasi dapat mengubah proses alami pasang surut dan gelombang, bahkan mengganggu ekosistem surfing yang menjadi daya tarik utama Sipora,” tambahnya.

Dalam dokumen AMDAL, isu banjir memang disebutkan, tetapi hanya digambarkan dalam skala minor hingga menengah. Menurut Tommy, hal itu keliru, karena faktanya dampak banjir di Sipora bisa sangat besar, terutama setelah proses penebangan hutan berlangsung masif.

Organisasi non pemerintah lainnya, Trend Asia melihat jika konsesi HTI diberikan kepada PT SPS, sama saja menabalkan ancaman ekologis karena berpotensi mengubah bentang alam Sipora.

 “Intensitas banjir yang berlipat hingga tiga kali dalam setahun menunjukkan bahwa Sipora adalah pulau kecil yang rentan terhadap krisis iklim. Pulau ini kini merasakan dampak nyata berupa cuaca ekstrem dan pergeseran musim. Ditambah lagi dengan hadirnya ancaman-ancaman baru yang berpotensi mengubah bentang alam Sipora,” ujar Amalya Reza, Juru Kampanye Bioenergi Trend Asia.

Berdasarkan data Trend Asia, 6 DAS yang beirisan dengan areal PBPH, di antaranya lebih dari 50% areanya masuk ke dalam wilayah izin. Kondisi ini berpotensi mengubah aliran sungai dan tutupan lahan di sekitarnya. Karakteristik DAS di pulau kecil yang cenderung pendek membuat risiko banjir semakin besar.

“Izin PT SPS berpotensi mendeforestasi 20.143 hektar hutan alam, atau setara 97% dari total konsesi. Perubahan bentang alam akibat deforestasi ini akan memperbesar frekuensi banjir, sehingga meningkatkan kerentanan pulau-pulau kecil dan masyarakat yang tinggal di dalamnya,” tambah Amalya.

Sekaitan dengan pemrosesan izin PBPH PT SPS, Tommy melihat pemerintah tidak mau patuh dalam aturan perundangan yang ada.

Baginya, izin untuk eksplotasi kayu di areal dengan luas izin komitmen yang terbit melalui skema OSS (Online Single Submission) atau sistem perizinan berusaha yang terintegrasi secara elektronik yang dikelola oleh pemerintah seluas 20.706 Ha, artinya seperti daratan Sipora akan dikuasai dengan cara mengeksploitasi hutannya.

Padahal, kata Tommy, secara geomorfologi, Pulau Sipora sangat rentan erosi dan membiak menjadi banjir.

Kerentanan Pulau Sipora sebagai pulau kecil juga diliputi faktor iklim yang sering membelitnya. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), iklim di Sipora panas dan lembab, curah hujan mencapai 2.500–4.700 mm/tahun dengan hari hujan hingga 267 kali setahun. Hujan deras mengguyur lereng-lereng yang rapuh, lalu mengalir deras ke sungai-sungai pendek dan curam. Tak jarang, banjir mendadak melanda dusun-dusun pesisir.

Data BPS menunjukkan 33 dari 43 desa di Mentawai berada di pesisir. Di Sipora, pemukiman tumbuh di tepi pantai, di teluk, atau di dekat pelabuhan. Inilah yang membuat banjir, selain tsunami menjadi ancaman nyata. Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2017 bahkan menetapkan beberapa pulau kecil di Mentawai sebagai pulau terluar strategis, menandakan betapa rentannya kawasan ini terhadap guncangan laut dan bencana iklim.

BPBD Kepulauan Mentawai menyebut, hazard Mentawai yang sifatnya mengancam antara lain, banjir, rob (ketika pasang besar, pasang naik), tanah longsor, gempa bumi. Mentawai juga pernah diterjang tsunami, cuaca esktrem, gelombang ekstrem, kekeringan, likuifaksi (seperti Palu).

“Yang tidak ada satu-satunya adalah gunung api. Beragam jenis bencana, yang sering dari 10 bencana tadi adalah banjir, gempa, longsor dan cuaca ekstrem seperti abrasi pantai, gelombang tinggi. Sering terjadi dari tahun ke tahun di 10 kecamatan,” kata Amir.

Investasi Penebangan Kayu di Atas Tanah Lempung, Kran Banjir di Sipora Terancam Melebar

Pulau Sipora sudah terlanjur berkubang dalam kekalutan perihal investasi. Jenis investasi besar seperti penebangan kayu dalam konsep HPH dan skema lainnya, mewariskan kerusakan vegetasi dan merentankan pulau kecil terluar di sisi barat Republik Indonesia ini.

Kini kran banjir di Pulau Sipora berpotensi membesar jika perusahaan kayu seperti PT SPS menapak dan memulai pekerjaan menebangi kayu-kayu di Pulau Sipora yang tersisa.

Di dalam proposal permohonan PT SPS, Direktur PT SPS Bakhrial mengatakan, kegiatan usaha yang diusulkan meliputi multiusaha yakni, tidak semata-mata pengelolaan Hutan Produksi TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) atau sistem silvikultur, tetapi juga ekowisata, termasuk fasilitas penunjangnya (sawmill).

Sekaitan dengan penebangan kayu sebagai entitas usaha PT SPS, Bakhrial berdalih tidak semua pohon ditebang. Dia mengklaim perusahaannya tidak akan membabat hutan.

Lampiran Gambar
Investasi dengan entitas menebangi kayu secara masif di hutan Pulau Sipora seperti konsesi Bhara Union di kawasan hutan Sipora Utara, mewariskan tutupan hutan yang sudah renggang, kayu-kayu besar sulit dijumpai, dan berganti dengan kayu-kayu baru yang bertunas dan bertumbuh muda meski sudah puluhan tahun perusahaan tak beroperasi. Foto: Yose Hendra | Langgam.id

Namun tentu sulit memastikannya belajar dari pengalaman orang-orang yang pernah bekerja di perusahaan kayu. Marjohan Samaloisa saat ini menjabat Kepala Dusun Satgici Tengah, Desa Nemnemleleu, Kecamatan Sipora Selatan, pernah punya pengalaman sebagai penanda kayu di PT Bhara Union.

Pekerjaan yang digelutinya sekira tahun 1992-1995, Marjohan menandai kayu yang layak ditebang tanpa mempertimbangkan aspek perlindungan DAS dan ekosistem lainnya di kawasan hutan.

“Sekitar tahun 1992-1995, saya ikuti survei di PT Bhara Union untuk pemetaan penumbangan kayu setiap hari. Ada di daerah dataran, dekat sungai, di pegunungan,” ujarnya.

Ia pun melihat dampak langsung dari aktivitas yang digelutinya turut merusak hutan, mendatangkan bencana.

“Setelah ditebang, sungai yang ada di Satgici Desa Nemnemleleu, dan Desa Mara, rusak. Ditambah dengan limpahan oli dan minyak. Padahal di sungai ada kebutuhan kami seperti usaha toek, dan juga ikan dan udang sulit, karena air keruh dan banyaknya kayu membusuk,” terangnya.

Bagaimana pun, usaha berupa penebangan kayu secara masif di kawasan hutan, di atas tanah dan batuan berjenis lempung potensial menjadi perkawinan yang sempurna untuk melahirkan intensitas banjir di Sipora.  

Berdasarkan peta geologi Mentawai yang tertuang dalam dokumen Bappeda Kepulauan Mentawai, jenis tanah di Pulau Sipora adalah tanah liat (lempung) yang berwarna keputihan dan juga tanah mineral (alluvial) di beberapa area, terutama di lahan sawah. Tapi di sisi lain, sebagian besar fisiografi daerahnya rawa atau selalu digenangi air.  

Tanah lempung di Sipora memiliki kualitas yang baik untuk pembuatan batu bata dan tanah mineralnya berpotensi untuk pengembangan lahan pertanian seperti sawah. Namun lemah dalam penyerapan air.

Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Pengurus Daerah Sumatera Barat Dian Hadiyansyah mengatakan, secara umum Kepulauan Mentawai terutama Pulau Sipora terbentuk dari pertemuan lempeng, zona subduksi.

Dalam konteks geologis, tumbukan kerak atau lempeng samudera dengan lempeng benua yang bertemu di Mentawai, melahirkan batuan bercampur. Menurut Dian, ada tiga jenis batuan di Mentawai yakni batuan beku, batuan sedimen (lempung, karang orang, aluvial), batuan metamorf.

“Karena secara tektonik, tumbukan itu menyebabkan batuan itu banyak hancur. Selain batuan lempung, juga batu karang. Batu karang banyak dimanfaatkan masyarakat untuk batuan pondasi, mengganti batuan gunung, andesit. Ternyata tidak ada batuan gunung, andesit di Mentawai setelah kita survei,” terangnya.

Karakteristik geologis demikian menabalkan kerentanan Mentawai terutama Pulau Sipora dari ancaman banjir. Dian menjelaskan, pada batu lempung, air lambat meresap ke bawah kala terjadi hujan. Bahkan bisa menggenang dalam waktu lama. Maka secara geologi, akan terjadi banyak run off atau aliran permukaan.

Nah, jika ada perubahan lahan seperti deforestasi, maka akan semakin memicu aliran permukaan bergerak secara cepat dengan debit besar.

Lampiran Gambar
Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Pengurus Daerah Sumatera Barat Dian Hadiyansyah. Foto: Dokumen Pribadi Dian.

“Ini menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir,” tukas Dian yang merupakan Pejabat Fungsional Penyelidik Bumi Ahli Muda Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Sumatera Barat ini.

Peneliti senior di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Semeidi Husrin mengatakan, dilihat dari citra satelit selama 20 tahun terakhir, banyak perubahan signifikan di kawasan hutan.

“Setelah reformasi, perubahannya masif. Saya pernah ke Sipora, dan memang sudah habis hutannya. Tinggal kayu-kayu baru yang tumbuh,” kata Semeidi.

Menurutnya, kondisi hutan gundul otomatis akan membuat lapisan tanah mudah terkikis, lalu terbawa menuju kawasan pesisir. Pulau kecil Sipora dengan penduduk paling bnayak di Mentawai, deforestasi sudah lama terjadi. Dan ini membuat kawasan pesisir kerap banjir dan menyisakan sedimen yang tebal.

 “Deforestasi di pulau kecil sangat berisiko, karena daya dukung lingkungannya terbatas, berbeda dengan pulau besar. Pulau kecil mau ke mana lagi? Contohnya bisa dilihat di Pulau Enggano, Bengkulu, pelabuhannya tidak bisa dimasuki kapal karena dipenuhi sedimen. Hal serupa juga terjadi di Mentawai. Dampaknya bisa diamati secara visual dalam 10–20 tahun terakhir. Jika ingin dibuktikan lebih detail, bisa diambil sampel air untuk penelitian. Salah satu ancaman nyata dari deforestasi ini adalah sedimentasi,” jelasnya.

Hal lain mempercepat banjir di kawasan hilir juga dipengaruhi sungai-sungai yang berukuran pendek, berkelok-kelok, dan sebagian besar bermuara di teluk, terutama di sisi timur pulau. Karakteristik ini membuat aliran sungai mudah dipengaruhi perubahan tutupan lahan.

Akibatnya, air sungai berubah keruh, muara cepat dangkal, dan daya tampung sungai menurun. Saat curah hujan tinggi datang, kondisi menjadi semakin parah. Tutupan hutan yang hilang membuat tanah kehilangan kemampuan menyerap air. Aliran permukaan (run off) meningkat drastis, membawa lumpur serta kerikil masuk ke badan sungai. Debit air pun melonjak hingga melebihi kapasitas sungai.

“Logikanya sederhana. Kalau sungai hanya mampu menampung 2 kubik air, sementara hujan membawa 10 kubik, maka ada 8 kubik air yang melimpah ke daratan. Itu yang kemudian menjadi banjir,” terang Khalid Syaifullah, mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumbar.

Bakhrial mengatakan, pada fase perencanaan proses PBPH, pihaknya memerhatikan dampak lingkungan dan risiko bencana. PT SPS, katanya, telah memulai kajian terkait analisis dampak lingkungan yang komprehensif, termasuk khususnya wilayah rawan bencana seperti daerah aliran sungai yang berpotensi terdampak.

“Kami akan terus melibatkan para ahli dan pihak terkait untuk memastikan bahwa aspek keselamatan dan kelestarian lingkungan menjadi prioritas utama,” ujarnya.

Lampiran Gambar

Pulau Sipora, satu dari empat pulau besar yang menghiasi geografis Mentawai. Tiga lainnya adalah Pulau Siberut, Pulau Pagai Utara dan Pulau Pagai Selatan. Pulau-pulau yang membentuk satu kesatuan Kepulauan Mentawai dikepung Samudera Hindia. Kepulauan ini termasuk pulau kecil terluar di ujung batas barat Indonesia. Keberadaannya sebagai sebuah kepulauan menjadikan kerentanan Mentawai melebih 18 kabupaten kota lain di Sumbar.

Status geografis Sipora demikian, maka menurut UU No. 1 Tahun 2014,  mestinya hanya ada 10 kegiatan yang diprioritaskan. Di antaranya, konservasi, penelitian, pertahanan. Untuk daerah terluar dikecurutkan lagi jadi 3 pemanfaatan yang diperbolehkan yakni; untuk keamanan, kebutuhan pangan skala lokal, konservasi pesisir.

Pada pulau kecil, vegetasi idealnya berfungsi sebagai penyangga hidup. Vegetasi bukan sekadar hiasan alam, melainkan benteng pertahanan terakhir bagi sistem hidrologi pulau.

Dalam kondisi normal, pohon-pohon di hutan Sipora menahan air hujan di kanopinya, memperlambat jatuhnya tetes-tetes air ke tanah. Akar-akar mereka membuka jalan bagi air untuk meresap perlahan, masuk ke pori-pori tanah, menjadi cadangan yang akan dilepaskan kembali pada musim kemarau. Begitulah vegetasi menjaga keseimbangan, sebuah siklus air yang memastikan sungai tetap mengalir tenang.

Namun, ketika hutan ditebang dan lahan dibuka tanpa kendali, sistem itu runtuh. Air hujan yang jatuh tidak lagi tertahan atau disaring, melainkan meluncur deras di atas tanah terbuka. Pulau kecil seperti Sipora tak memiliki cukup ruang untuk menampung limpasan itu. Sungai-sungai kecil yang mengiris tubuh pulau cepat meluap, membawa lumpur dan sedimen ke hilir. Desa-desa di sepanjang Trans Mentawai seperti Saureinu, Matobe, Nemnemleleu, menjadi saksi bagaimana banjir datang berulang, seakan menjadi tamu tak diundang yang kini betah menetap.

Proses Perizinan PT SPS Berangkat dari Andal Cacat Lingkungan

Dokumen AMDAL PT SPS yang tengah diproses pemerintah menimbulkan perdebatan. Tim validasi yang dibentuk Dinas Lingkungan Hidup Sumbar menemukan banyak catatan pada aspek fisik, lingkungan, hingga sosial budaya.

Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) yang paling disoroti oleh tim teknis Komisi AMDAL adalah risiko bencana terutama banjir dan bencana ekologis lainnya.

Mentawai, khususnya Sipora, kini lebih takut pada banjir daripada gempa. Hal itu dikatakan Firman Hidayat, salah seorang anggota tim validasi Komisi AMDAL. Tim penguji atau validasi AMDAL dibentuk Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumbar.

Dengan intensitas hujan tinggi dan puluhan tahun hutan dihabisi melalui izin HPH, daerah ini menjadi langganan banjir. Pemerintah pusat maupun daerah dituding gagal mengendalikan penebangan liar yang menggerogoti pulau kecil tersebut.

Ketika tim validasi AMDAL turun ke Sipora pada Juni 2025, ungkap Firman, kondisi lapangan langsung memperlihatkan masalah. Air sungai yang keruh dan penuh sedimen menjadi indikator adanya lahan terbuka di hulu.

“Air keruh itu tanda tanah ikut hanyut. Artinya, vegetasi di hulu sudah hilang,” ujar Firman Hidayat yang bekerja sehari-hari sebagai dosen di Fakultas Kehutanan Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat.

“Risiko saja sudah terlihat, tanpa izin pun kondisi kawasan sudah rusak. Bisa dibayangkan jika izin dikeluarkan, pembabatan hutan makin luas. Menanam kembali butuh puluhan tahun, sementara perusahaan pasti mengejar untung,” kata Firman.

Menurutnya, daerah yang diajukan izin PT SPS dulunya adalah bekas konsesi HPH sekitar 30 tahun lalu. Namun, pemulihan ekosistem tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hutan tidak kembali seperti yang diharapkan.

Lampiran Gambar

Bekas konsesi PT Bhara Union di kawasan Berkat, Desa Tuapeijat menyisakan jalan lansir kayu yang rusak parah, dengan hamparan tutupan hutan yang sudah porak poranda. Foto: Yose Hendra | Langgam.id

Hasil validasi dari 17 ahli lintas bidang telah diserahkan ke perusahaan untuk diperbaiki. Setelah itu, dokumen dikembalikan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk pengambilan keputusan akhir.

Namun, tim ahli di tingkat provinsi menilai, dengan kondisi lapangan yang ada, rencana usaha PT SPS tidak layak lingkungan. Karena itu, mereka mendorong Komisi Penilai AMDAL Pusat untuk tidak menerbitkan persetujuan lingkungan bagi perusahaan tersebut.

Firman Hidayat yang juga anggota Dewan Sumber Daya Air Sumatera Barat, menegaskan bahwa lembaganya tidak berwenang memutuskan status “layak” atau “tidak layak”. Tugas tim hanya sebatas memberikan penilaian berdasarkan bidang ilmu masing-masing. Dari perspektifnya sebagai akademisi kehutanan, Firman menilai masih banyak persoalan yang muncul, terutama pada faktor fisik, lingkungan, dan sosial budaya.

Lebih lanjut, Firman menjelaskan bahwa hasil validasi AMDAL dikembalikan ke Kementerian setelah pihak perusahaan memberikan jawaban atau perbaikan atas catatan yang diberikan para ahli. Dengan demikian, alur penilaian berjalan mulai dari masukan para ahli, kemudian perbaikan oleh perusahaan, dan akhirnya dikembalikan kepada Kementerian untuk menjadi bahan pengambilan keputusan akhir.

“Masih berproses (perbaikan dokumen oleh PT SPS). Jadi belum ada rekomendasi AMDAL,” ujar Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Sumatra Barat Tasliatul Fuaddi, Selasa (26/8/2025).

Artinya, usaha perhutanan di Pulau Sipora yang diajukan PT SPS, belum ada penolakan tegas dari pemerintah.

Fuaddi mengatakan, kekhawatiran soal banjir yang ditimbulkan dari penebangan kayu nantinya, dari sisi AMDAL tentunya mesti diantisipasi dengan tidak menjadikan areal DAS sebagai blok tebang, tetapi untuk usaha perlindungan dan dagang karbon atau karbon kredit.

“Atau dengan menaikan limit diameter tebangan dari 40 cm ke atas menjadi 50 cm ke atas dan jarak tebangan sempadan sungai menjadi kawasan lindung yang tidak boleh ditebang,” bilangnya.

Dan itu, kata Fuaddi, itu rencana kelola yang mesti dituliskan dalam dokumen AMDAL.

AMDAL berfungsi sebagai identifikasi dampak semua yang mungkin terjadi, kemudian apa solusi yang mereka buat untuk mengurangi dampak itu. AMDAL/UKL UPL adalah instrumen lingkungan yang diatur oleh UU 32 Tahun 2009.

“Setiap usaha dan kegiatan apapun pasti ada dampak negatif dan dampak positif istilahnya inventarisasi dampak penting. Itu yang dinilai oleh tenaga ahli dalam tim teknis Komisi Amdal yang membantu kami dari berbagai perguruan tinggi.

Bakhrial merespons risiko bencana yang menjadi catatan terpenting dalam AMDAL tersebut. Ia mengatakan, dalam tahap perencanaan ini, PT SPS telah memulai kajian terkait analisis dampak lingkungan yang komprehensif, termasuk khususnya wilayah rawan bencana sepertidaerah aliran sungai yang berpotensi terdampak.

“Kami akan terus melibatkan para ahli dan pihak terkait untuk memastikan bahwa aspek keselamatan dan kelestarian lingkungan menjadi prioritas utama,” tukasnya.

Selain risiko bencana, ada sejumlah hal yang mengganjal permohonan izin kegiatan PT SPS, antara lain, luas konsesi dan tumpang tindih dengan hutan adat, dugaan pemalsuan tanda tangan masyarakat terdampak di area konsesi.

 “Lokasi permohonan perijinan PBPH PT SPS di Pulau Sipora disinyalir juga tumpeng tindih (overlap) dengan permohonan Hutan Adat oleh dua komunitas yaitu Uma Sakerebau Mailepet dan Uma Sibagau. Luas overlap hasil telaah mencapai 6.937 Ha,” kata Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA) Kementerian Kehutanan Julmansyah.

Ia juga menegaskan Kemenhut melalui Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial (PS) sendiri memliki komitmen untuk mempercepat pengesahan Hutan Adat di seluruh Indonesia sesuai aturan yang berlaku. Hal tersebut menjadi pertimbangan juga dalam pengesahan permohonan PBPH PT SPS kedepan.

Sisi lain, hak dari delapan desa yang masuk ke dalam konsesi dalam dokumen ANDAL  tergolong berkategori risiko tinggi.

LBH Padang mengungkapkan adanya indikasi kecurangan dalam proses perizinan, seperti manipulasi data penggunaan lahan dalam dokumen AMDAL, tidak adanya konsultasi publik yang sah dan partisipatif dengan masyarakat terdampak, serta tanda tangan persetujuan yang diduga diperoleh tanpa informasi yang utuh dan di luar prosedur resmi.

“Proses perizinan PT SPS di Sipora menunjukkan adanya pengabaian terhadap prinsip partisipasi bermakna dan pengakuan hak ulayat. Warga tidak diberi informasi yang utuh, sementara sistem tenurial adat diabaikan. Di pulau kecil seperti Sipora, praktik semacam ini tidak hanya memicu konflik agraria, tetapi juga meningkatkan risiko bencana ekologis,” tegas Diki Rafiqi, Direktur LBH Padang.

Beberapa warga dari desa-desa dalam wilayah konsesi mengaku tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan dokumen lingkungan hidup dan bahkan tidak mengetahui adanya proyek PT SPS. Selain itu, ditemukan modus persetujuan pelepasan hak yang hanya meminta tanda tangan dari perwakilan desa, meskipun sistem tenurial adat Mentawai menganut kepemilikan komunal kaum, bukan individu.

LBH Padang dan Trend Asia juga mencatat bahwa pemetaan batas wilayah adat tidak dijadikan acuan utama dalam proses perizinan. Akibatnya, terjadi tumpang tindih antara wilayah konsesi dengan tanah ulayat masyarakat adat Mentawai.

Eksploitasi serupa juga ditemukan di gugusan pulau lainnya di Mentawai. Di Pagai Utara dan Pagai Selatan, PBPH PT Minas Pagai Lumber menguasai hampir seluruh wilayah kedua pulau tersebut. Sementara di Pulau Siberut, meski tergolong pulau besar, hampir setengah wilayahnya dikuasai izin PBPH PT Salaki Suma Sejahtera, PT Biomass Andalan Energi, dan yang terbaru, PT Landarmil Putra Wijaya yang masih dalam proses perizinan.

Padahal, seluruh Kepulauan Mentawai termasuk wilayah dengan tingkat kerentanan bencana yang tinggi. Data Inarisk BNPB menunjukkan bahwa 69% dari populasi di Mentawai telah terdampak oleh cuaca ekstrem. Analisis Trend Asia juga memperlihatkan bahwa daerah pesisir dan DAS di Sipora memiliki risiko banjir yang sangat tinggi.

“Pemerintah harus segera menghentikan penerbitan izin-izin industri ekstraktif di pulau-pulau kecil dan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap izin yang sudah ada. Suara masyarakat adat tidak boleh diabaikan, karena menyangkut perlindungan ekosistem dan keberlanjutan hidup mereka yang paling rentan,” pungkas Amalya Reza.

Menilik hal itu, Kementerian Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) menegaskan hingga saat ini PT SPS di Pulau Sipora belum memperoleh PBPH.

Sejauh ini, PT SPS sudah mengantongi Persetujuan Komitmen dalam proses pengajuan PBPH. Persetujuan Komitmen ini diterbitkan pada 28 Maret 2023 setelah mendapatkan rekomendasi Gubernur, serta melalui verifikasi administrasi dan teknis.

“Persetujuan komitmen tersebut bukan izin untuk melakukan kegiatan pemanfaatan hutan, melainkan kesempatan bagi pemohon untuk memenuhi kewajiban sebelum dapat dipertimbangkan pemberian PBPH,” terang rilis Kementerian Kehutanan yang ditanggungjawabi oleh Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerjasama Luar Negeri, Kementerian Kehutanan, Krisdianto.

Dijelaskan Kementerian Kehutanan, adapun kewajiban yang harus dipenuhi PT SPS meliputi: (1). Penyusunan koordinat geografis batas areal kerja, (2) Penyusunan dokumen AMDAL, dan (3) Pelunasan iuran PBPH.

"Apabila kewajiban tersebut tidak dipenuhi, maka bukan saja PBPH tidak akan diberikan, persetujuan komitmen pun juga dapat dibatalkan," ujar Saparis Soedarjanto, Sekretaris Ditjen Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Kehutanan.

Menanggapi berbagai aspirasi masyarakat serta informasi baru yang terus bermunculan, Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) memilih bersikap hati-hati. Sejumlah langkah strategis pun ditempuh agar proses berjalan transparan dan sesuai aturan.

Pertama, pemerintah mendorong agar seluruh aspirasi masyarakat tersalurkan dan memastikan publik benar-benar dilibatkan dalam mekanisme AMDAL secara terbuka. Kedua, Pemerintah Provinsi diminta mengawal ketat jalannya proses AMDAL di lapangan.

Selain itu, dilakukan verifikasi terhadap dugaan aktivitas pembukaan lahan di sekitar area permohonan. Hasil verifikasi tersebut nantinya akan dikoordinasikan bersama Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (GAKUM) Kementerian Kehutanan untuk memastikan tindak lanjut hukum jika pelanggaran terbukti.

Tidak hanya itu, pemerintah juga memutuskan untuk menghentikan sementara proses permohonan PBPH PT SPS. Langkah ini diambil hingga seluruh respons, kajian, dan telaah komprehensif benar-benar selesai dilakukan.

Jaga Sipora dari Potensi Kerusakan Ekosistem, Suara Penolakan Menguat

Gelombang penolakan rencana masuknya perusahaan kayu PT SPS di Pulau Sipora semakin meluas. Berbagai pihak, mulai dari pemerintah daerah, DPRD, DPR RI, hingga masyarakat sipil menegaskan sikapnya untuk menolak dengan beragam kekhawatiran terhadap ekosistem Pulau Sipora yang terhuyung.

Komunitas adat Uma Saureinu salah satu pihak yang kuat menolak kehadiran PT SPS, menegaskan hutan bukan hanya ruang hidup dan sumber penghidupan, tapi juga benteng alami yang melindungi desa dari bencana. “Kalau hutan adat masuk konsesi, masyarakat kehilangan ladang, obat-obatan tradisional, juga sungai akan tercemar. Yang paling kami takutkan, banjir makin besar,” kata Nulker Sababalat, anggota Uma Saureinu.

Lampiran Gambar
Anggota Uma Saureinu, Nulker Sababalat. Foto: Yose Hendra | Langgam.id

Ia menegaskan, masyarakat sudah merasakan dampak penebangan sebelumnya yang membuat banjir semakin sering dan besar. “Kami trauma. Kalau hutan habis, ancaman banjir akan jauh lebih parah,” tegasnya. Karena itu, pengurus Uma Saureinu bersama komunitas adat lain sepakat menolak kehadiran perusahaan yang akan membuka hutan adat mereka.

Sementara Bupati Kepulauan Mentawai Rinto Wardana Samaloisa, mengajak seluruh masyarakat Sipora bersatu menjaga tanah dan hutan dari ancaman korporasi.

"Saya menghimbau masyarakat untuk bersama pemerintah daerah menolak kehadiran PT SPS. Jangan lakukan langkah apapun sebelum izin ini jelas, dan mari kita berjuang agar izin ini dihentikan. Kampung dan hutan kita adalah warisan untuk anak cucu," tegas Rinto, di kawasan Mappadegat, awal bulan Agustus lalu kepada tim liputan kolaboratif inisiatif Depati Project.

Menurutnya, persoalan izin kehutanan memang pelik karena sepenuhnya berada di tangan pemerintah pusat. Meski demikian, ia sudah menyurati Menteri Kehutanan untuk meminta izin PT SPS ditinjau ulang. “Kalau perusahaan tidak membangun pengolahan kayu (sawmill) di sini, maka sikap saya tetap di garda terdepan menolak, kata Rinto.

Lampiran Gambar
Bekas log pond PT Bhara Union di Desa Nemnem Lelelu, Kecamatan Sipora Selatan, meninggalkan sejumlah kayu-kayu maha besar yang sudah melapuk. Foto: Yose Hendra | Langgam.id

Selain alasan lingkungan, ia juga menyoroti dampak sosial yang ditimbulkan. Izin PBPH ini memicu konflik di tengah masyarakat, karena ada sebagian yang tergiur menjual tanah, sementara yang lain menolak. Padahal, tanah di Mentawai adalah milik komunal yang dikelola berdasarkan suku.

Rinto menilai pengalaman masa lalu sudah cukup menjadi pelajaran. Perusahaan-perusahaan hutan yang pernah masuk ke Mentawai hanya meninggalkan jejak deforestasi tanpa memberi keuntungan bagi masyarakat. Karena itu, ia menegaskan konsolidasi masyarakat adalah kunci untuk menolak PT SPS.

Kendati demikian, Bupati Rinto akan mempertimbangkan rencana investasi PT SPS, jika perusahaan membangun sawmill atau pengolahan kayu).

“Karena dampaknya bisa lebih terkontrol. Kayu yang ditebang diolah, ada reboisasi, dan ekonomi lokal bergerak. Namun, jika tidak membangun sawmill, saya berada di garda terdepan untuk menolak,” tukasnya.

Menurutnya, kebanyakan perusahaan kayu sekarang hanya menebang, membawa kayu keluar, tanpa jejak tanggung jawab. “Itu yang saya tolak,” katanya.

Sekaitan dengan hukum administrasi, Pemkab Mentawai dihadapi pada dilema soal izin. Artinya, meskipun secara aturan ada larangan, jika izin sudah keluar, maka kegiatan perusahaan dianggap legal.

“Inilah masalahnya. Izin dari pusat bisa mengabaikan realitas di daerah. Karena itu, saya sudah menyurati Menteri Kehutanan untuk meminta agar izin ini tidak dilanjutkan, mengingat penolakan kuat dari masyarakat dan pemerintah daerah,” tandasnya.

Menanggapi keinginan Bupati Mentawai untuk membangun shawmill, Bakhrial mengatakan PT SPS akan membuat rencana kerja jangka panjang (RKU) yang menjadi dasar pengelolaan hutan lestari. “Pembangunan sawmill  merupakan bentuk komitmen kami untuk meningkatkan nilai tambah hasil hutan kayu, sehingga diharapkan dapat berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi lokal, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar,” terang Bakhrial yang juga terbilang sebagai pemegang saham PT SPS, dalam surat berbalas pertanyaan yang diajukan tim peliput kolaboratif inisiatif Depati Project.

Suara penolakan terhadap PBPH PT SPS juga datang dari Ketua DPRD Kepulauan Mentawai, Ibrani Sababalat. Ia menilai kehadiran perusahaan semacam ini tidak pernah memberi manfaat bagi masyarakat, justru meninggalkan persoalan.

"Sikap saya jelas menolak. Dari pengalaman sebelumnya, tidak ada keuntungan yang didapat masyarakat dari perusahaan pengelola hutan seperti ini," tegas Ibrani, bulan Juli lalu.

Ia menambahkan, proses izin yang dijalani PT SPS sudah memicu konflik sosial karena ada yang mendukung dan menolak. “Padahal tanah di Mentawai bersifat komunal, milik suku. Kehadiran perusahaan hanya memperuncing perselisihan," ujarnya, bulan Juli lalu.

"Mentawai terbuka dengan investasi karena akan meningkatkan perekonomian masyarakat. Namun investasi yang dibutuhkan Mentawai bukan konsep perusahaan seperti ini," tukasnya.

Kekhawatiran dampak ekologis turut disampaikan Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Alex Indra Lukman. Ia menyoroti fakta bahwa Pulau Sipora dengan luas 615 km² tergolong pulau kecil, di mana sepertiga lahannya justru diusulkan untuk izin pengelolaan hutan.

"Jika hutan terganggu, sumber air bersih bisa hilang. Dampaknya akan berantai, dari kekurangan air, banjir, hingga longsor. Selain itu, hutan adalah identitas budaya Mentawai. Tanpa hutan, budaya itu akan terpinggirkan," kata Alex.

Sebelumnya, bulan Juni 2025, Alex masuk rombongan Komisi IV DPR yang melakukan kunjungan kerja ke sejumlah kabupaten dan kota di Sumbar saat reses. Menurut dia, di Pulau Sipora tidak ada pegunungan sehingga ketersediaan air bersih bagi masyarakat hanya berasal dari kawasan hutan.

 "Jika kelestarian hutan terganggu, maka sumber air bersih bagi masyarakat akan berkurang bahkan bisa menghilang. Ini akan memberikan efek buruk bagi kehidupan masyarakat," ujar Alex.

Lampiran Gambar
Bandara Rokot di Kecamatan Sipora Selatan, menjadi pintu gerbang Pulau Sipora dari udara. Foto: Yose Hendra | Langgam.id

"Berkurangnya lahan hutan juga berpotensi mengakibatkan bencana banjir dan tanah longsor yang bisa lebih memperburuk kehidupan masyarakat Mentawai," tambahnya.

Alex mengatakan secara budaya masyarakat adat Mentawai memiliki keterikatan yang sangat erat dengan hutan. Tanpa hutan, lanjutnya, budaya Mentawai akan terpinggirkan.

 "Karena itu, kita dari Komisi IV DPR RI meminta Kementerian Kehutanan untuk meninjau kembali rencana pemberian izin pengelolaan hutan bagi perusahaan di Mentawai," tandasnya.

Sementara Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar menilai izin PBPH bertentangan dengan Undang-undang (UU) No. 1 Tahun 2014, perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K).

Menurut undang-undang itu, Sipora jelas-jelas masuk pulau kecil terluar. Dari sisi kecilnya, Sipora dengan luas 61 ribu Ha, masih jauh diambang batas kategori pulau kecil yakni di bawah 200 ribu Ha. Sementara dari ‘terluarnya’, Pulau Sipora berada di sisi barat Indonesia berbatasan langsung dengan perairan internasional di Samudera Hindia.

Tommy salah seorang juru bicara koalisi mengatakan, dari luasan 61 ribu Ha itu, 28.905 Ha adalah kawasan hutan produksi, 5.883 Ha hutan produksi konversi, dan 26.066 Ha APL.

Menurutnya, dalam konteks Pulau Sipora yang berlaku dalam pengelolaan hutan mengacu pada UU No. 1 Tahun 2014.

 “Seharusnya tidak boleh untuk kegiatan destruktif atau eksploitasi skala besar misal penebangan kayu, pengambilan karang yang mengakibatkan kerentanan pulau itu,” tukasnya.

Trend Asia menambahkan, kehadiran PT SPS di Pulau Sipora tidak sejalan dengan semangat UU PWP3K. Walaupun izin PBPH tidak secara tegas dilarang di pulau kecil seperti halnya tambang mineral, potensi kerusakan terhadap sistem tata air jelas bertentangan dengan Pasal 23 undang-undang tersebut

Pasal ini menyatakan bahwa pulau-pulau kecil diprioritaskan untuk konservasi, Pendidikan atau pelatihan, penelitian dan pengembangan, budi daya laut, pariwisata, perikanan/kelautan industri, pertanian organik, peternakan, serta pertahanan dan keamanan.

“Pulau Sipora seharusnya diprioritaskan untuk konservasi, bukan dieksploitasi,” ujar Amelya dari Trend Asia.

Di sisi lain, BPBD Mentawai menekankan perlunya pengaturan ketat jika penebangan tetap dilakukan. “Kami hanya bisa mengimbau agar jangan ada pembukaan lahan di daerah rawan banjir. Jika izin keluar, harus jelas batas-batas wilayah yang boleh dan tidak boleh diganggu,” ujar Amir dari BPBD Mentawai.

Banjir Tantangan Aksesibilitas Menuju Surga Selancar Dunia

Sipora, dengan seluruh kecantikannya yang digandrungi peselancar dunia, sejatinya hidup dalam kepungan risiko. Ia menyimpan ombak kelas dunia, tapi aksesibilitasnya melalui jalur darat selalu dalam ancaman banjir.

Celakanya, banjir besar di Pulau Sipora kebanyakan terjadi wilayah Sipora Selatan seperti Desa Saureinu, Matobe, Nemnemleleu. Desa-desa itu merupakan simpul terpenting ruas Trans Mentawai di Sipora yang merentang dari Tuapeijat hingga tujuan utama surfing yakni Katiet di Desa Bosua, ujung selatan Pulau Sipora.

Ruas Trans Mentawai sepanjang 50 km dari Tuapeijat – Bosua, kebanyakan sudah beraspal mulus. Sehingga menjadi pilihan utama bagi peselancar mengakses surga ombak di Katiet.

Pulau Sipora  punya banyak pilihan spot surfing, antara lain Telescope, Iceland, Scarecrows, Seven Palms (di bagian utara), serta Lance's Left dan Lance's Right, “HT's” atau Hollow Trees (di bagian selatan). Nah, Hollow Trees yang berada di Katiet dianggap salah satu ombak terbaik di dunia. Ombaknya berciri gelombang kanan berbentuk slinder, sangat konsisten, kuat, dan menantang, dengan kestabilan tinggi 4-7 meter.

Lampiran Gambar
Awal bulan Agustus 2025, pantai Katiet sisi barat disesaki para peselancar, baik pemula maupun profesional. Ombak di spot Katiet merupakan salah satu terbaik di Mentawai untuk diselancari. Foto: Yose Hendra | Langgam.id

“Ombak terbaik di Mentawai itu di Katiet dan Macaronis. Tapi dibanding Macaronis, Katiet punya kelebihan yakni bisa berpindah dari laut bagian timur Pulau Sipora dan bagian barat yang hanya memakan waktu 5-10 menit dengan motor,” ungkap pengelola wisata di Katiet, Dedi Manalu.

Maka itu, tak salah bila bulan Juli hingga akhir tahun, banyak wisatawan asing terutama peselancar berduyun-duyun ke Pulau Sipora.

Alurnya, para peselancar datang dari negara masing-masing dengan pesawat menuju Bandara Internasional Minangkabau (BIM), Kabupaten Padang Pariaman, Sumatra Barat. Selanjutnya meneruskan perjalanan ke Mentawai dengan kapal cepat seperti MV Mentawai Fast atau kapal ASDP seperti KM Gambolo dan KM Ambu-ambu. Untuk Mentawai Fast berangkat dari Pelabuhan Batang Arau. Sedangkan kapal ferry ASDP berangkat dari Pelabuhan Bungus. Kedua pelabuhan itu ada di Kota Padang.

Kapal tersebut mengarungi Samudera Hindia antara Padang dan Mentawai dengan radius sekitar 150 km. Untuk waktu tempu, Mentawai Fast berkisar 3,5 jam. Sementara kapal ferry sekitar 12 jam. Untuk Pulau Sipora, berlabuh di Pelabuhan Tuapeijat.

Jika sebelumnya, perjalanan menuju ke spor surfing dilakukan dengan kapal kecil atau long boat, maka beberapa waktu belakangan seiring selesainya pembangunan fisik jalan raya Trans Mentawai, maka pilihan berkendara dengan mobil menjadi pilihan realistis.

“Sesampainya di Mentawai seperti Pulau Sipora, kapal merapat di Pelabuhan Tuapeijat. Nah di sana kendaraan MPV sudah menanti untuk membawa mereka ke penginapan yang telah dipesan, lokasi sekitar sport surfing,” ungkap Dedi.

Menurut Dedi, untuk Pulau Sipora, melanjutkan perjalanan dengan mobil lebih murah dan nyaman ketimbang dengan kapal (long boat). 

“Kebanyakan yang punya mobil rental sifatnya kerjasama dengan pemilik resort atau cottage. Sekarang rental Rp.900-000-Rp.1000.000 sekali antar. Dulu Rp. 1,7 juta, kita jemput, dan antar. Atau dari sini antar ke bandara, jemput lagi ke Tuapeijat,” terang Dedi.

Bulan Juli hingga akhir tahun dikenalsebagai bulannya surfing di Mentawai. Artinya, para peselancar berjubel datang ke Mentawai karena rentang bulan tersebut, ombak sedang bagus-bagusnya untuk diselancari.

Ombak yang bagus dalam rentang itu juga bersamaan dengan cuaca yang kurang bagus. Seringkali hujan. Dan sejumlah desa yang dijalari Trans Mentawai sering banjir. Seperti kawasan Desa Saureinu dan Nemnemleleu pertengahan bulan Juli lalu.

Banjir di sana bukan saja melimpahkan air yang menenggelamkan ladang, rumah, namun juga jalan raya. Alhasil, banjir di desa-desa itu menganggu lalu lintas wisatawan terutama mancanegara menuju surga ombak buat selancar di Katiet sekitarnya, Desa Bosua, wilayah paling selatan Pulau Sipora.

Banjir pas berangkat, tahu-tahu dapat informasi sudah banjir di kawasan Saureinu. Jadinya tak bisa berangkat,” beber Dedi, mengisahkan banjir besar bulan Juli lalu.

Air bercampur lumpur bawaan banjir juga menjadi persoalan bagi titik lokasi surfing. Sebab, banjir yang berlabuh ke laut membentuk sedimen, dan membuat keruh permukaan laut. Hal ini menjadi persoalan tatkala sedimen banjir berada di kawasan surfing.

“Peselancar suka airnya tempat bermain bersih (clean). Dan untung di Katiet tak ada sungai. Beda dengan Mappadegat yang berawa, banjir membuat kondisi laut keruh. Sehingga kebanyakan peselancar hanya bertahan 3 hari di sana, dan biasanya pindah ke Katiet,” ungkap Dedi.

Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Kepulauan Mentawai, Aban Barnabas Sikaraja mengatakan, kalau akses terputus di ruas jalan Trans Mentawai antara Tuapeijat – Bosua (Katiet), tentu sangat menganggu wisatawan yang mau ke Katiet atau kembali ke Padang.

“Bisa ketinggalan kapal, apalagi kalau cuaca buruk. Padahal dalam pariwisata, kepastian akses itu kebutuhan dasar,” tegas Aban.

Dia berharap, jangan ada banjir menggagu ke lokasi wisata. Dalam dunia wisata, katanya,  transportasi harus lancar. Sebab, wisatawan pasti sudah menskedulkan untuk berwisata.

“Kapal tak berjalan juga kacau. Pariwisata, akses harus sesuartu yang pasti. Wisatawan yang datang kebanyakan peselancar sudah menskedulkan jadwal. Hari ini ke Mentawai, minggu depan ke Lombok, kiranya tak bisa keluar kapal badai. Kepastian transportasi dan akses aman adalah syarat mutlak untuk mengembangkan pariwisata Mentawai,” tambahnya.

Ia menjelaskan, para peselancar biasanya berkunjung ke empat pulau utama di Mentawai, dengan Sipora sebagai lokasi favorit. Spot selancar yang populer antara lain Katiet, Bintang, Lexud, Telescope, dan Ombak Tidur.

“Di Katiet, peselancar tidak perlu menyewa speedboat karena bisa ditempuh sekitar 2,5 jam dari Tuapeijat lewat jalur darat. Mereka bisa memakai mobil rental baik disediakan pihak penginapan maupun warga. Secara biaya, surfing di sini relatif lebih murah, meski resort-resortnya memang cukup mahal,” jelas Aban.

Lampiran Gambar
Pengelola resort di Katiet, Desa Bosua, Kecamatan Sipora Selatan, Mentawai, menyediakan mobil sebagai armada menjemput tamu ke pelabuhan dan mengantarnya kembali sepulang berlibur dan berselancar di perairan Katiet. Foto: Yose Hendra | Langgam.id

Ia juga menyampaikan bahwa sektor pariwisata, khususnya wisata selancar, terus menunjukkan tren positif.

Pada 2024, tercatat sekitar 9.000 wisatawan mancanegara (wisman) berkunjung ke Mentawai, mayoritas untuk berselancar. Dengan tarif surfing tax Rp2 juta untuk masa tinggal 15 hari, pemerintah daerah berhasil membukukan pendapatan Rp9,8 miliar. Jumlah ini meningkat dibandingkan 2023 yang hanya mencapai Rp7,4 miliar. Tahun ini, Dinas Pariwisata menargetkan pendapatan surfing tax bisa menembus Rp15 miliar.

Meski potensinya besar, infrastruktur pendukung pariwisata masih menghadapi tantangan. Salah satunya banjir yang kerap melanda sejumlah desa di ruas jalan Tuapeijat – Katiet (Bosua) seperti di Sairenuk dan Gosoinan.

Terkait pembangunan resort, Aban menekankan perlunya pengawasan berjenjang, mulai dari tingkat desa, kecamatan, hingga dinas. Hal ini karena izin pembangunan resort melibatkan banyak instansi, seperti IMB di PUPR dan Amdal di Dinas Lingkungan Hidup.

“Di Katiet, investasi harus diatur dengan baik agar tidak menimbulkan masalah ke depan. Kita membuka ruang selebar-lebarnya untuk investor, tapi tetap taat aturan dan mengurus izin sesuai ketentuan,” ujarnya.

Aban juga menyinggung soal pengawasan pemungutan surfing tax. Ia mengakui masih ada potensi kebocoran, namun Pemkab telah membentuk tim pengawasan.

“Petugas mendatangi resort, kapal, hingga dermaga untuk memeriksa bukti pembayaran. Wisatawan yang sudah membayar mendapat resi dan gelang khusus sebagai tanda. Semua pendapatan langsung masuk ke kas daerah,” terang Aban.

Ia menambahkan, wisatawan backpacker pun tetap dikenakan retribusi saat tiba di dermaga, melalui petugas di Tourism International Centre (TIC).

“Intinya, surfing tax ini bukan hanya pemasukan bagi daerah, tapi juga bagian dari tata kelola pariwisata yang lebih tertib dan berkelanjutan,” pungkasnya.

Sekaitan dengan rencana perusahaan kayu PT SPS berusaha di hutan Sipora, Aban menolak mengikuti sikap bupati.

Sandang menekankan pentingnya membangun ketangguhan berbasis keluarga. “Kalau kita hanya mengandalkan kelompok, seringkali komunikasi dan pelatihan tidak terserap merata. Keluarga justru menjadi basis paling efektif untuk memahami potensi bencana,” tambahnya.

Namun, Sandang mengakui ada sejumlah tantangan. Pertama, kesiapsiagaan sering kali bersifat reaktif, baru bergerak ketika bencana terjadi, ibarat pemadam kebakaran. Padahal, kesiapan harus dibangun sebelum bencana datang. Kedua, ego sektoral antar lembaga masih kuat. Ketiga, sektor swasta belum menempatkan kesiapsiagaan bencana sebagai kewajiban.

Ia mencontohkan kawasan wisata di Mentawai. “Banyak resort mengklaim ramah bencana, tapi mana jalur evakuasinya? Di Katiet misalnya, kita tidak melihat adanya jalur evakuasi. Padahal Mentawai ini kawasan wisata sekaligus kawasan bencana,” katanya.

Sandang menegaskan bahwa tata ruang dan pengelolaan wisata seharusnya terintegrasi dengan mitigasi bencana. Forum PRB Mentawai pun terus mendorong pemerintah dan swasta untuk menerapkan regulasi, termasuk mengoptimalkan Perda RPB (Rencana Penanggulangan Bencana) Mentawai yang sudah mencakup pembentukan forum PRB dan KSB (Kelompok Siaga Bencana).

"Wisata Mentawai tidak boleh dilepaskan dari aspek pengurangan risiko bencana. Ini bukan hanya soal keselamatan, tapi juga soal keberlanjutan daerah dan masyarakatnya," pungkas Sandang.

Menimbang Ulang Sipora: Pulau Kecil di Tengah Tarik-Menarik Kepentingan

Pulau Sipora jelas-jelas tergolong pulau kecil dan rentan bencana. Tapi kok bisa-bisanya sebuah perusahaan kayu menjalani proses perizinan usaha ekstraktif yang masih berjalan sampai sekarang?

Mungkin bisa dilihat dulu bagaimana kronologisnya berjalan. Ada silang pendapat, surat berbalas surat terkait perbedaan perspektif mengenai pengelolaan Pulau Sipora.

Kisah panjang pengajuan izin PBPH PT SPS bermula pada 7 Maret 2016, ketika PT SPS melayangkan surat bernomor 025/Dir-002/JKT/III/2016. Surat itu berisi permintaan rekomendasi kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Barat untuk mendapatkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Alam (IUPHHK-HA).

Permintaan tersebut mendapat respons cepat. 29 Maret 2016, Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Barat menerbitkan surat bernomor 522.1/635/PH-2016 yang memuat kajian teknis atas permohonan IUPHHK-HA dengan luasan 31.049,37 hektare.

Tidak lama berselang, 25 April 2016, Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu mengirimkan surat bernomor 522.1/81/Periz/BKPM&PPT/IV/2016 kepada Menteri LHK c.q. Kepala BKPM RI. Surat ini merupakan tindak lanjut dari permohonan PT SPS. Namun, rekomendasi yang diberikan lebih kecil dari yang diajukan: hanya 25.325,34 hektare. Dari luasan tersebut, sekitar 22.901,20 hektare bahkan belum memiliki arah pemanfaatan yang jelas dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Enam tahun kemudian, polemik kembali mengemuka. Dalam rapat yang digelar di Hotel Mandarin, Jakarta Pusat, pada 12 Juli 2022, para pejabat lintas kementerian duduk bersama. Rapat yang dipimpin Direktur Bina Usaha Pemanfaatan Hutan KLHK itu melibatkan Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil KKP, perwakilan eselon I KLHK, serta Dinas Kehutanan Sumbar. Kesimpulan rapat tegas: Pulau Sipora adalah pulau kecil yang rentan secara ekologi, sehingga tidak layak diberikan izin usaha untuk pemanfaatan hasil hutan kayu yang bersifat eksploitatif. Jika pun izin diberikan, bentuknya hanya boleh sebatas pemanfaatan jasa lingkungan.

Namun, arah kebijakan itu tampak bergeser. 19 Juli 2022, Direktur Bina Usaha Pemanfaatan Hutan KLHK menerbitkan surat bernomor S.114/BPUH/UPHW1/HPL.2/7/2022 yang ditujukan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan. Surat ini justru meminta pertimbangan kawasan pulau kecil dan pesisir untuk keperluan perizinan pemanfaatan hutan, meski rapat sebelumnya telah merekomendasikan larangan izin eksploitasi kayu di Pulau Sipora.

Lampiran Gambar
Ekosistem kehidupan di Pulau Sipora terpatri dari pemukiman berdekatan dengan sungai dan di zona penyanggah hutan. Foto: Yose Hendra | Langgam.id

Pada 27 Juli 2022, Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan berkirim surat kepada Direktur Bina Usaha Pemanfaatan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, perihal Pertimbangan Pemanfaatan Pulau Sipora, Kabupaten Mentawai untuk Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan.

Pada 30 Agustus 2022, PT Sumber Permata Sipora (SPS) mengajukan permohonan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) seluas 27.516 hektare di Pulau Sipora. Rencana usaha mencakup pemanfaatan kayu hutan alam serta jasa lingkungan wisata alam.

Tahap perizinan berlanjut dengan keluarnya Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) pada 24 Januari 2023. Dokumen ini diterbitkan atas nama Menteri ATR/BPN dan Menteri Investasi/BKPM. Namun, terjadi ketidaksesuaian: dalam PKKPR disebut kegiatan adalah pemanfaatan kayu hutan tanaman (KBLI 02111), sementara dalam dokumen AMDAL yang diproses di DLH Sumbar justru tercantum pemanfaatan kayu hutan alam (KBLI 02121) serta hasil hutan bukan kayu (KBLI 02209). Bahkan, titik koordinat lokasi yang diajukan sempat mengacu ke wilayah Ciwaringin, Bogor, bukan di Pulau Sipora.

Meski demikian, pada 28 Maret 2023, Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, atas nama Menteri LHK, menerbitkan Surat Persetujuan Komitmen untuk areal hutan produksi seluas 20.706 hektare. PT SPS diwajibkan memenuhi komitmen berupa penetapan koordinat batas areal, penyusunan dokumen lingkungan hidup, serta pelunasan iuran PBPH.

Proses berlanjut hingga 2024 dengan penyerahan dokumen lingkungan, konsultasi publik, serta pembahasan dalam rapat Komisi Penilai AMDAL. Pada 2025, berbagai instansi mengeluarkan rekomendasi teknis, termasuk analisis dampak lalu lintas dan mutu emisi.

Namun, di tengah proses administratif, penolakan masyarakat adat dan sipil semakin menguat. Pada 16 Mei 2025, Suku Saumagerat menegaskan penolakan atas izin PT SPS di lahan adat mereka. 20 Mei 2025, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Pulau Sipora juga menyatakan keberatan resmi. Sehari kemudian, Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat menegaskan sikap serupa dan menyiapkan advokasi.

Puncaknya, dalam rapat Komisi Penilai AMDAL pada 22 Mei 2025, rencana usaha PBPH PT SPS dinyatakan layak oleh sebagian pihak. Namun, Perkumpulan Qbar Indonesia Madani menegaskan bahwa rencana ini tidak layak lingkungan, dan sikap penolakan tersebut dikirimkan langsung kepada Menteri Lingkungan Hidup agar tidak menerbitkan persetujuan lingkungan.

Kronologi ini memperlihatkan tarik-menarik kepentingan antara prosedur administratif perizinan dan penolakan kuat masyarakat adat serta kelompok sipil yang menilai rencana usaha PT SPS lebih banyak membawa risiko daripada manfaat.

Rentetan alur panjang usaha PT SPS menapak di kawasan hutan di Sipora, cukup menarik pada 27 Juli 2022, sekaitan bersuratnya Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan kepada Direktur Bina Usaha Pemanfaatan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, perihal Pertimbangan Pemanfaatan Pulau Sipora, Kabupaten Mentawai untuk Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan.

Secara eksplisit, Badan Informasi Geospasial (BIG) mencatat Pulau Sipora memiliki luas sekitar 593 km². Dari total daratan itu, lebih dari separuhnya atau 57,42% berstatus kawasan hutan dengan rincian Hutan Lindung (HL) seluas 6,6 km², Hutan Produksi (HP) seluas 315,5 km², serta Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 17,7 km². Sementara itu, 42,58% sisanya atau 251,93 km² masuk dalam kategori Area Penggunaan Lain (APL).

Dijelaskan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Pasal 23 ayat (3) menegaskan bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil hanya dapat dilakukan jika memenuhi sejumlah syarat penting, yakni pengelolaan lingkungan yang baik, menjaga kelestarian tata air setempat, serta menggunakan teknologi ramah lingkungan.

Lebih jauh, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 53 Tahun 2020 Pasal 4 juga mengatur bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya harus memperhatikan keberlanjutan sumber daya hayati, kelestarian ekosistem, daya dukung lingkungan, hingga kondisi sosial-ekonomi-budaya masyarakat. Selain itu, keberadaan situs budaya tradisional, jenis teknologi yang digunakan, serta potensi dampak lingkungan juga wajib menjadi pertimbangan utama.

Surat atas nama Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Muhammad Yusuf itu menjelaskan, kewenangan perizinan berusaha pemanfaatan hutan, khususnya terkait pemanfaatan hasil hutan kayu di kawasan hutan Pulau Sipora, berada di bawah tanggung jawab Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Dengan mempertimbangkan berbagai aspek tersebut, kami berpendapat bahwa pemanfaatan kawasan hutan di Pulau Sipora hanya dapat dilakukan secara selektif dan harus berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” terangnya dalam surat tersebut.

Sekaitan dengan penerbitan Surat Nomor B.1347/DJPRL.3/PRL.240/VII/2022 itu, Direktur Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Djirektorat Jenderal Pengelolaan Laut, Ahmad Aris menegaskan penerbitan surat tersebut bukan tanpa dasar. Pertama, surat itu merespons permintaan resmi dari Direktorat Bina Usaha Pemanfaatan Hutan KLHK (Surat Nomor: S.114/BPUH/UPHW1/HPL.2/7/2022 tanggal 19 Juli 2022). Kedua, DJPRL memiliki tugas dan fungsi dalam pengelolaan pesisir serta pulau-pulau kecil, sesuai mandat Permen KP No. 48/2020.

Lampiran Gambar
Suasana temaram di salah satu sudut Tuapeijat, Pulau Sipora, awal Agustus 2025. Foto: Yose Hendra | Langgam.id

“Adapun hasil rapat 12 Juli 2022 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Karena itu, keputusan harus dikembalikan pada payung hukum yang berlaku, baik Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil maupun aturan kehutanan. Dengan kata lain, selama Pulau Sipora berstatus kawasan hutan, segala perizinan tetap tunduk pada kewenangan KLHK dengan tetap memperhatikan prinsip perlindungan pulau kecil,” terangnya.

Menurutnya, istilah “selektif” yang digunakan KKP merujuk pada sistem tebang pilih, sebuah metode silvikultur dalam pemanfaatan hasil hutan kayu sebagaimana diatur dalam Permenhut No. P.11/Menhut-II/2009 dan revisinya (P.65/Menhut-II/2014). Skema ini diyakini lebih ramah karena menekankan pemeliharaan ekosistem.

Namun, KKP mengingatkan bahwa pelaksanaan sistem ini tidak boleh melanggar prinsip perlindungan pulau kecil. Surat DJPRL No.1347/DJPRL.3/PRL.240/VII/2022 secara tegas menekankan bahwa pemanfaatan hutan di Sipora tidak boleh bertentangan dengan Pasal 23 ayat (3) UU No.1/2014, yang mewajibkan pemanfaatan pulau kecil harus memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan; menjaga kelestarian sistem tata air setempat; dan menggunakan teknologi ramah lingkungan.

Selain itu, Permen KP No.53/2020 juga mempertegas bahwa setiap pemanfaatan pulau kecil wajib memperhatikan daya dukung lingkungan, kerentanan ekosistem, kondisi sosial budaya masyarakat, hingga keberadaan situs budaya tradisional.

“Dengan kata lain, setiap izin di Sipora harus ditempatkan dalam kerangka kehati-hatian karena pulau kecil memiliki kerentanan ekologis yang tinggi,” pungkasnya.

KKP juga menegaskan selama pemanfaatan dilakukan di kawasan hutan, ketentuan hukum kehutanan tetap berlaku. Namun, penegasan perlindungan pulau kecil tetap menjadi prinsip utama yang tidak bisa dinegosiasikan.

Menyikapi rencana investasi PT SPS dengan skema PBPH di kawasan hutan yang menyasar kayu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Abdul Muhari mengingatkan prinsip; kita jaga alam. Alam jaga kita.

*Karya jurnalistik ini hasil liputan investigasi kolaborasi yang diinisiasi Depati Project - SIEJ, dengan melibatkan Langgam.id, Tempo, KBR, Law Justice, Mentawai Kita, Ekutorial

Baca Juga

Tim Operasi pencarian dan pertolongan atau SAR Mentawai mengevakuasi korban sampan terbalik di perairan Dusun Mapinang, Mentawai.
Tim SAR Gabungan Evakuasi Korban Kecelakaan Sampan Terbalik di Mentawai
Kemenhut Tegaskan Proses Permohonan PBPH PT SPS Belum Disetujui
Kemenhut Tegaskan Proses Permohonan PBPH PT SPS Belum Disetujui
Tim SAR masih melakukan operasi pencarian terhadap seorang warga yang dilaporkan hilang di kawasan hutan Dusun Makoddiai, Kepulauan Mentawai.
Tim SAR Gabungan Lakukan Pencarian Warga Hilang di Hutan Mentawai
Ketua DPRD Kepulauan Mentawai Ibrani Sababalat
DPRD Mentawai Minta Pemerintah Tinjau Ulang PBPH di Pulau Sipora
Tim SAR
SAR Mentawai Evakuasi Nelayan Hilang di Perairan Mapadegat
PBPH PT SPS di Pulau Sipora Bakal Mempersempit Ruang Hidup Orang Mentawai
PBPH PT SPS di Pulau Sipora Bakal Mempersempit Ruang Hidup Orang Mentawai