Dengan penuh kesadaran, tekad untuk bangkit dari kerapuhan, maka yang membuat kebangsaan Indonesia rapuh harus diketahui bersama dan diambil langkah perbaikannya secara fundamental. Integritas ditegakkan sebagai fondasi dan nyawa kehidupan berbangsa. Setiap anak bangsa menolak praktik manipulasi, politik uang dengan membangun budaya kejujuran sejak keluarga hingga institusi publik. Kepemimpinan Indonesia yang diperoleh dari amanah rakyat harus dikembalikan ke rakyat. Pemimpin harus amanah terhadap rakyat. Kepemimpinan bukan hasil dari nafsu kekuasaan. Rakyat menuntut pemimpin untuk hidup sederhana, terbuka pada kritik, serta menjadikan pelayanan rakyat sebagai tujuan utama.
Demokrasi sebagai cara penyerahan amanat rakyat tidak dalam bentuk demokrasi palsu yang disandera oligarki. Demokrasi palsu harus ditolak demi tegaknya kedaulatan rakyat. Rakyat bersuara, rakyat mengawasi, dan rakyat memperjuangan demokrasi bersih dan bermartabat dengan sistem politik untuk rakyat bukan untuk kelompok kelompok dan individu individu yang berhasil mendapat amanah dari rakyat. Demokraksi palsu juga menghasilkan banyak kepalsuan kepalsuan dalam kepimimpinan bangsa.
Korupsi ditegaskan sebagai pengkhianatan bangsa yang harus diberantas tanpa kompromi, dan anak bangsa harus berani melaporkan, menolak, serta tidak membiarkan praktik kotor tersebut di lingkungan terdekat. Kekayaan alam dipastikan sebagai milik rakyat dan dikelola untuk kesejahteraan bersama, sehingga perlu dijaga dari eksploitasi rakus, diawasi dari perjanjian yang merugikan, serta diperjuangkan agar hasilnya kembali untuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat. Etika sosial bangsa berdasarkan prinsip jujur, sederhana, dan gotong royong harus dihidupkan kembali setelah ketergerusannya dalam dekadean Indonesia merdeka sebagai ruh kebangkitan melalui pendidikan karakter, teladan kepemimpinan, dan penguatan komunitas lokal.
Dengan manifesto kebangsaan yang ditindaklanjuti dapat membawa kembali Indonesia bangkit, Indonesia bermartabat. Rakyat anak bangsa tidak berhenti berjuang dengan manifesto kesadaran bersama terhadap kondisi kebangsaan Indonesia yang tidak sedang baik baik saja.
Kerapuhan Sistemik yang Menghantui
Indonesia sedang berada dalam fase tidak baik baik saja dalam menempuh perjalanan sejarahnya. Bukan hanya krisis politik atau ekonomi semata, melainkan krisis yang bersifat sistemik berupa kerapuhan integritas, lemahnya kepemimpinan, rapuhnya demokrasi, dan meluasnya korupsi di hampir setiap lini kehidupan. Apa yang dulu menjadi janji kemerdekaan berupa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang kini terasa semakin jauh dari genggaman.
Kerapuhan ini bukan fenomena baru. Sejak awal reformasi, tanda-tanda melemahnya kepercayaan rakyat terhadap negara sudah terlihat. Reformasi membuka ruang kebebasan, tetapi kebebasan itu tidak selalu diiringi oleh tanggung jawab moral. Elite politik lebih sibuk memperluas kekuasaan ketimbang memperbaiki kesejahteraan rakyat. Akibatnya, bangsa ini seperti rumah besar yang tampak megah dari luar, tetapi rapuh tiangnya di dalam.
Krisis Integritas di Semua Lini
Fondasi pertama yang retak adalah integritas. Integritas adalah nyawa bagi keberlangsungan negara, karena ia menjadi landasan kepercayaan antara rakyat dan pemimpinnya. Namun dalam kenyataannya, integritas seringkali dikorbankan demi kepentingan pragmatis. Politik uang menjadi lumrah, nepotisme dianggap wajar, dan kebohongan kerap dibungkus dengan retorika manis.
Tanpa integritas, kebijakan negara hanya akan menjadi alat untuk memanipulasi rakyat. Pemimpin kehilangan wibawa, dan rakyat kehilangan alasan untuk percaya. Kerapuhan integritas ini jelas terlihat dalam kasus-kasus hukum yang tidak konsisten, pernyataan pejabat yang sering berubah-ubah, serta praktik transaksional yang merusak sendi-sendi keadilan.
Kepemimpinan yang Kehilangan Ruh Amanah
Kelemahan berikutnya adalah krisis kepemimpinan. Jabatan publik yang seharusnya menjadi amanah sering kali diperlakukan sebagai hak istimewa. Pemimpin tampil sebagai penguasa, bukan pengabdi. Sering kali rakyat hanya dijadikan angka dalam survei dan suara dalam pemilu, sementara kebutuhan nyata mereka tidak pernah benar-benar didengarkan.
Padahal dalam tradisi bangsa ini, kepemimpinan selalu dimaknai sebagai ibadah sosial dengan sebuah pengorbanan untuk melayani rakyat. Sejarah membuktikan, pemimpin besar lahir bukan karena kekuasaan, melainkan karena keberanian untuk hidup sederhana, berkata benar, dan menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya. Indonesia membutuhkan kembali ruh kepemimpinan semacam itu, bukan sekadar kepemimpinan administratif yang kering dari jiwa.
Demokrasi Palsu hanya Panggung
Demokrasi di Indonesia memang berjalan secara prosedural, tetapi semakin kehilangan substansinya. Pemilu rutin digelar, partai politik tumbuh subur, dan media massa bebas bersuara. Namun, di balik semua itu, demokrasi justru disandera oleh oligarki. Uang menjadi bahasa utama dalam kompetisi politik, dan rakyat hanya menjadi penonton dalam panggung besar bernama demokrasi elektoral.
Demokrasi sejati mestinya menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Demokrasi sejati tidak boleh membiarkan suara rakyat diperjualbelikan. Demokrasi sejati adalah ruang kebebasan yang melahirkan keadilan, bukan sekadar prosedur yang menguntungkan elite. Maka, pertanyaan mendesak bagi kita: apakah kita sedang hidup dalam demokrasi yang nyata, atau sekadar dalam teater politik yang penuh kepalsuan?
Korupsi Merupakan Pengkhianatan yang Mengakar
Di atas segalanya, masalah terbesar bangsa ini adalah korupsi. Korupsi telah menjelma menjadi budaya yang sulit diberantas. Ia bukan lagi praktik sesekali, melainkan jaringan yang sistematis, dari level terendah hingga tertinggi. Dari urusan administrasi desa, proyek pembangunan, hingga tender besar negara, korupsi menyelinap di setiap celah.
Korupsi bukan sekadar pencurian uang rakyat. Ia adalah pengkhianatan terhadap cita-cita bangsa. Ia menggerogoti pendidikan dengan membuat sekolah kekurangan fasilitas. Ia merusak kesehatan dengan menjadikan obat-obatan mahal. Ia menghancurkan keadilan dengan membuat hukum bisa dibeli. Karena itu, melawan korupsi bukan hanya tugas KPK atau aparat hukum, melainkan tugas moral seluruh bangsa.
Kedaulatan yang Terjual Murah
Bangsa yang berdaulat adalah bangsa yang menguasai sumber dayanya sendiri. Namun, realitas hari ini menunjukkan bahwa kekayaan alam Indonesia justru banyak tergadai. Tambang, hutan, laut, dan energi dikelola bukan untuk rakyat, melainkan untuk segelintir orang yang berkolusi dengan modal asing.
Apa artinya merdeka bila tanah kita hanya menjadi lahan eksploitasi? Apa artinya berdaulat bila keputusan ekonomi bangsa ditentukan oleh kepentingan luar negeri? Kedaulatan ekonomi harus dikembalikan, bukan hanya demi kemakmuran, tetapi juga demi martabat bangsa. Generasi mendatang berhak mendapatkan warisan kekayaan yang utuh, bukan sekadar sisa-sisa dari generasi yang serakah.
Budaya yang Kehilangan Rasa Malu
Kerapuhan bangsa ini juga berakar pada runtuhnya etika sosial. Budaya bangsa yang dulu dikenal dengan gotong royong kini digantikan oleh individualisme yang kasar. Rasa malu untuk berkhianat hilang, keberanian untuk berkata benar lenyap, dan keserakahan dianggap sah asal menghasilkan keuntungan.
Padahal, kebudayaan adalah fondasi moral sebuah bangsa. Tanpa budaya yang sehat, pembangunan fisik hanya akan menghasilkan peradaban yang rapuh. Karena itu, kebangkitan bangsa harus dimulai dengan menghidupkan kembali nilai-nilai etika sosial yang didasari oleh kejujuran, kesederhanaan, kerja keras, dan gotong royong.
Rakyat Sebagai Sumber Kebangkitan
Pertanyaan besar pun muncul: siapa yang harus mengubah keadaan ini? Sejarah menunjukkan, perubahan tidak selalu lahir dari atas. Kesadaran rakyatlah yang sering kali menjadi sumber kebangkitan. Reformasi 1998 adalah bukti bahwa perubahan ini datang dari kesadaran rakyat untuk mengkoreksi kebangsaan yang salah arah. Ketika rakyat bersatu, perbaikan kebangaaan dapat dibangun, pengembalian sistem kekuasaan ke arah yang benar sesuai dengan amanat konstitusi dapat dilakukan.
Maka, kebangkitan bangsa tidak bisa hanya menunggu kebaikan hati dari elite. Kebangkitan harus lahir dari kesadaran kolektif rakyat, dari desa hingga kota, dari kelas bawah hingga menengah. Hanya dengan gerakan rakyat untuk mengkoreksi terhadap salah arah kepemimpinan dalam membawa bangsa serta ketidakadilan pada rakyat yg terjadi, maka bangsa ini bisa bangkit dari kerapuhannya.
Manifesto Kebangsaan Menyalakan Api Perubahan
Dari kesadaran itulah, kita memerlukan sebuah manifesto kebangsaan baru. Manifesto ini bukan sekadar teks, melainkan api yang harus dijaga, ditiup, dan diwariskan. Manifesto ini berisi janji kolektif untuk menegakkan integritas, mengembalikan kepemimpinan pada ruh amanah, meluruskan demokrasi, melawan korupsi, menjaga kedaulatan sumber daya, dan menghidupkan kembali etika sosial.
Manifesto kebangsaan ini adalah seruan moral, bukan program politik praktis. Ia adalah arah moral bangsa yang harus menjadi pegangan bagi siapa pun yang ingin menyelamatkan Indonesia. Tanpa arah moral semacam ini, bangsa hanya akan berjalan tanpa tujuan, terseret arus globalisasi yang mengikis jati diri.
Indonesia Bukan Bangsa Rapuh
Kita tidak boleh terjebak pada pesimisme. Indonesia memang sedang rapuh, tetapi Indonesia bukan bangsa yang ditakdirkan rapuh. Sejarah membuktikan, bangsa ini selalu mampu bangkit dari keterpurukan. Dari masa penjajahan, krisis 1965, hingga krisis moneter 1998, bangsa ini selalu menemukan cara untuk bertahan dan melangkah ke depan.
Namun kali ini, kebangkitan tidak bisa hanya bersifat politis atau ekonomis. Kebangkitan harus bersifat moral dan kebudayaan. Kita harus berani berkata bahwa korupsi adalah musuh bangsa, bahwa kepemimpinan tanpa integritas adalah pengkhianatan, dan bahwa demokrasi tanpa keadilan adalah kepalsuan.
Energi Kebangkitan
Kita mungkin kecewa dengan keadaan bangsa hari ini. Kita mungkin marah melihat pengkhianatan yang terus berulang. Tetapi kemarahan itu tidak boleh berubah menjadi keputusasaan. Kemarahan itu harus menjadi energi kebangkitan.
Manifesto kebangsaan ini adalah ajakan untuk kembali merebut arah sejarah bangsa. Sebuah ajakan agar Indonesia tidak hanyut dalam kepalsuan, tetapi bangkit sebagai bangsa yang bermartabat. Indonesia akan tetap tegak, selama rakyatnya tidak berhenti berjuang. Dan perjuangan itu harus dimulai sekarang, bukan besok
*Penulis: Yazid Bindar (Dosen dan Guru Besar Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung)