Mencermati berbagai wacana yang berseliweran khususnya di media sosial tentang insiden umat beragama, tampaknya banyak kalangan yang seolah menganggap kerukunan beragama adalah persoalan mudah. Begitu juga menyelesaikan konfliknya hanya hal ringan, sepertinya tinggal memakai solusi yang sudah ada di teori-teori. Seakan-akan dengan merujuk hasil riset yang sudah publish di jurnal-jurnal bereputasi, lalu “sim salabim, abra kadabra” kondisi kembali normal.
Beragam narasi yang simplisit seperti ini, selain menunjukkan kedangkalan analisis, bisa jadi juga karena nihilnya pengalaman riil dalam praktek kerukunan. Padahal mengelola keragaman dan perbedaan, terlebih-lebih agama, tidak sesederhana yang diasumsikan. Selain fundamental dan krusial, agama juga selalu aktual sekaligus sensitif. Tulisan singkat ini mengulik sisi-sisi realitas agama sebagai gambaran betapa problematisnya persoalan kerukunan beragama.
Wajah Ganda Agama
Secara teoritis konseptual, agama sejatinya adalah sumber kebaikan dan kedamaian seperti termaktub pada kitab-kitab suci. Tetapi, pada tataran praktis implementatif “ajaran langit” ini hampir sepanjang sejarah dihadirkan pemeluknya dalam wajah ganda yang kontradiktif. Ambivalensi agama pada ranah sosial mewujud di satu sisi sebagai perekat dan pembangun integrasi. Individu maupun komunitas berbagai penjuru dunia, bisa menyatu padu dalam satu tarikan nafas normativitas. Namun, pada waktu bersamaan justru bermetamorfosis menjadi faktor pemecahbelah dan pemicu konflik. Karen Armstrong dalam Holy War (1988) dan The Battle of God (2000), menggambarkan “agama” yang telah menyejarah dalam kubangan darah dan air mata. Dengan kata lain, pada dimensi historis agama bak sekeping mata uang yang memiliki dua sisi yakni potensi integratif dan konflik. Artinya, agama di tangan pemeluknya menjelma menjadi anugerah sekaligus bencana.
Wajah ganda agama ini dalam perspektif sosiologis bisa dipahami dari eksistensinya sebagai “identitas sosial”. Dalam konteks ini, agama dimaknai tidak hanya sekedar sistem kepercayaan, tetapi lebih dari itu juga sebagai identitas. Maksudnya, individu maupun kelompok mengidentifikasi dan memaknai siapa dirinya di tengah masyarakat berdasar agama. Identitas yang terbentuk lewat afiliasi komunitas, simbol, praktik keagamaan, serta interaksi ini pada saatnya akan menciptakan rasa “kami” dan “mereka”, bahkan akhirnya dunia sosial terpilah secara diametral pada dua kategori “in-group” dan “out-group”. Polarisasi ini meski bisa saja bernilai positif untuk membangun solidaritas dan etika sosial, tetapi sangat berdampak negatif lantaran memunculkan eksklusivitas bahkan prejudice terhadap mereka yang berbeda agama.
Dalam isu mayorias-minoritas, identitas sosial bisa memunculkan ketegangan ketika agama dijadikan standar kepantasan sosial di ruang-ruang publik. Mayoritas menganggap ekspresi beragama harus ditata sesuai kepantasan “kami”, sehingga minoritas yang berada pada posisi “mereka”, merasa tidak berada pada kedudukan setara. Ini sangat problematik, karena dalam konteks demokrasi, ruang publik bukanlah milik kelompok tertentu.
Lebih kompleks lagi jika kepantasan sosial ini terbangun lantaran kecurigaan kolektif terkait sensitivitas relasi antar agama, semisal isu-isu penyebaran agama. Ini menjadi lebih serius bagi komunitas yang sangat kokoh mempertahankan identitas agama. Dampaknya, alih-alih dianggap bagian dari kebersamaan, “mereka” justru dipersepsikan layaknya “tamu” yang mengganggu eksistensi “tuan rumah”.
Ekspresi Beragama; Forum Internum dan Eksternum
Mengkristalnya polarisasi “kami” dan “mereka” bahkan meledak menjadi konflik terbuka ketika faktor pemicu (triggering factor) meletupkannya, tentu saja tidak terbangun di ruang hampa. Selain faktor truth claim (klaim kebenaran sepihak) dan salvation claim (klaim keselamatan sepihak), polarisasi juga menguat akibat isu-isu sensitif lintas umat beragama, khususnya kalangan agama misi yang concern dalam penyebaran agama. Isu seperti konversi agama, pemurtadan, polemik rumah ibadah, perkawinan lintas iman, dan sebagainya, seringkali menjadi cerita tertutup yang tetap menjalar secara internal, sehingga menjadi memori kolektif, dan bahkan terus menghantui lintas generasi.
Problematika mendasar lain adalah perbedaan pandangan yang cukup tajam tentang konsep kebebasan beragama. Dualisme terjadi antara kalangan yang memegang prinsip kebebasan penuh dalam beragama, vis a vis dengan yang setuju pembatasan ekspresi beragama di ruang publik. Pihak pertama berpijak pada nilai universal bahwa agama semata hak mutlak individual dan berada pada wilayah privacy, sehingga tidak ada pihak manapun yang bisa mengintervensi. Sementara pihak kedua melihat kebebasan itu secara sosiologis akan terbatasi oleh kebebasan orang lain yang berbeda, sehingga mutlak perlu regulasi.
Dalam perspektif hukum dan norma HAM, dua pendapat itu terkait dengan dimensi penting dalam kebebasan beragama, yakni forum internum dan forum eksternum. Yang pertama, yakni forum internum berada pada ruang batin dan privat individu dalam menjalankan keyakinan agama secara internal, menyangkut hak absolut memeluk, mempertahankan, bahkan mengganti agama atau kepercayaannya. Ini sepenuhnya bersifat personal dan tidak bisa dibatasi atau dikurangi oleh siapapun. Sedangkan forum eksternum berada di ruang publik, terkait ekspresi praktek agama atau keyakinan secara lahiriah dan berinteraksi dengan pihak lain, seperti ibadah di muka umum, penggunaan simbol, penyebaran agama, hingga pendirian rumah ibadah. Inilah yang bisa dibatasi aturan negara, yakni terkait freedom to act, bukan freedom to be.
Dalam konteks forum eksternum, negara hadir mengatur kehidupan beragama untuk melindungi warganya dengan dua syarat ketat, yakni tersedianya undang-undang, dan alasan pembatasan semata demi melindungi kepentingan umum. Lingkupnya adalah kesehatan umum, keselamatan umum, ketertiban umum, moral umum, atau hak-hak dan kebebasan dasar orang lain (Pratiwi, 2024).
Terkait ketertiban umum misalnya diterbitkan regulasi izin mendirikan tempat ibadah. Begitu pula dalam lingkup melindungi hak-hak atau kebebasan dasar orang lain, maka dibuat aturan dan sanksi hukum terhadap aktivitas penyebaran agama yang melanggar ketentuan, demi untuk melindungi kebebasan beragama orang lain dari gangguan. Meski demikian, norma kebebasan beragama ini tidak diamini semua pihak. Penyikapan berbeda bahkan pro-kontra muncul, yang berakibat sulitnya mengelola keragaman agama. Tak sampai di situ, problematika kerukunan umat beragama akan semakin kompleks dan rumit, ketika berjalin berkelindan dengan isu lain seperti ekonomi dan politik. Singkat kata, persoalan kerukunan umat beragama tidak sesederhana yang dibayangkan banyak orang.
Wallahu a’lam
*(Dosen UIN Imam Bonjol Padang)