Pesantren: Masih Relevankah di Masa Modernisasi Sekarang?

Pesantren: Masih Relevankah di Masa Modernisasi Sekarang?

Ilustrasi pesantren (chatgpt) dan penulis (boks)

Oleh: Fauzul Ikhsan Dafiq

Di tengah derasnya arus modernisasi, globalisasi digital, dan fragmentasi nilai-nilai tradisi, pesantren berdiri sebagai institusi yang mempertahankan otoritas keilmuan Islam sekaligus nilai-nilai spiritualitas. Relevansi pesantren tidak ditentukan oleh usia lembaganya, melainkan oleh kemampuannya membaca zaman. Muncul sebuah pertanyaan didalam fikiran kita, apakah pesantren bisa menyerap modernitas tanpa kehilangan ruh etik dan nilai konservatifnya?

Dalam praktiknya, pesantren terbagi menjadi dua kutub utama yaitu, pesantren tradisional (salafiyah) dan pesantren modern (khalafiyah). Salafiyah masih sangat berpegang pada kitab kuning dan metode talaqqi klasik seperti pesantren Mustafawiyah purba baru Sumatera Utara, sementara khalafiyah sudah mengintegrasikan kurikulum formal dari negara, bahkan membuka jurusan sains, teknologi, hingga diplomasi. Pesantren seperti Gontor, Al-Falah, dan Daar al- Ulum Asahan kisaran adalah contoh institusi yang tidak hanya mempertahankan basis keagamaan kuat, tetapi juga mengadopsi metodologi pembelajaran abad ke-21.

Namun, transformasi ke arah modernisasi tidak berjalan tanpa rintangan. Konflik internal, kekerasan, afiliasi ideologis ekstrem, dan penyalahgunaan kekuasaan kyai menjadi sebuah fenomena yang tidak bisa diabaikan.

Konflik Kepemimpinan dan Otoritas Kyai
Struktur kepemimpinan pesantren yang berpusat pada figur kyai menimbulkan persoalan saat terjadi suksesi. Banyak pesantren yang belum memiliki struktur manajemen yang mapan ketika kyai wafat, konflik antar anak atau menantu sering terjadi. Menurut studi di pesantren Sukabumi yang saya kutip dari jurnal.unas.ac.id, penyelesaian konflik dilakukan melalui mekanisme nonformal seperti tabayyun atau islah, tetapi kerap tidak efektif karena minimnya transparansi dan tidak adanya lembaga kontrol internal.

Kekerasan Fisik dan Bullying
Dalam banyak pesantren, budaya senioritas masih menjadi norma yang dilegitimasi. Santri baru dianggap harus ngembleng diri melalui ujian fisik dan mental. Namun, praktik ini telah berulang kali menelan korban. Kasus tragis sebagaimana yang saya kutip dari majalah tempo.co seperti kematian Bintang Maulana di Ponpes Tartilul Qur’an Kediri dan tragedi pondok pesantren darul Arafah Sumatera Utara menunjukkan bahwa kekerasan fisik masih membayangi pendidikan pesantren. Ironisnya, dalam beberapa kasus, pimpinan pesantren lebih memilih meredam kasus daripada menyerahkannya kepada hukum positif yang mana itu akan menjadi sebuah hal yang dianggap sepele dan dianggap budaya yang baik oleh oknum yang melakukan perbuatan tersebut.

Ideologi Radikal dan Ketertutupan
Studi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagaimana dirilis situs resmi kementerian agama (2022), mencatat 198 pesantren di Indonesia terindikasi terpapar radikalisme. Dalam sejumlah kasus, santri tidak mendapatkan paham radikal dalam proses pendidikan formalnya, melainkan direkrut setelah mereka lulus. Ini menunjukkan lemahnya pengawasan pasca pendidikan dan lemahnya moderasi pemahaman agama dalam beberapa lingkungan pesantren.

Contoh lainnya, adanya kelompok yang mempromosikan ide khilafah dan menolak sistem negara Pancasila secara terselubung. Pemerintah sempat membubarkan sejumlah pesantren mereka karena menyelenggarakan program pendidikan tanpa izin dan menyebarkan ideologi yang tidak sesuai dengan konstitusi negara.

Kekerasan Seksual dan Pengabaian Hak Santri
Salah satu sisi tergelap di dunia pesantren adalah kekerasan seksual. Masih ada budaya diam atau bahkan normalisasi terhadap perlakuan seksual menyimpang oleh ustaz atau pengasuh. Contohnya, kasus viral di Blitar memperlihatkan bagaimana seorang ustadz melempar santri 14 tahun dengan kayu berpaku hingga meninggal dunia. Bahkan, di beberapa pesantren, santriwati mengalami pencabulan sistematis bertahun-tahun oleh pengurus hingga mereka kabur melalui jendela asrama.

Dari beberapa kejadian itu dapat kita lihat bahwasanya masih adanya pelaku yang menunjukkan lemahnya pengawasan dan nihilnya sistem perlindungan korban di banyak pesantren. Status kyai yang setara "ulama karismatik" menjadikan korban kerap tidak didengar dan bahkan disalahkan.

Relevansi: Bertahan atau Menyesuaikan?
Dalam konteks ini, relevansi pesantren bukan sekadar pertanyaan eksistensi, melainkan pertanyaan kapasitas institusional:

Mampukah pesantren melindungi santrinya?
Mampukah ia bertransformasi secara epistemologis, tanpa melepaskan nilai etik sufistiknya?
Dapatkah ia menjadi benteng melawan ekstremisme, atau alih-alih menjadi ladangnya?

Modernisasi pesantren seharusnya tidak hanya berarti digitalisasi kelas atau pembukaan jurusan IT. Ia harus mencakup beberapa aspek contohnya, reformasi manajemen berbasis akuntabilitas, kode etik perlindungan anak dan perempuan, Kurikulum moderasi beragama, keterbukaan terhadap evaluasi eksternal, dan penegakan hukum atas pelanggaran internal. Tanpa hal-hal ini, pesantren hanya menjadi lembaga pendidikan yang memelihara masa lalu bukan institusi yang mendidik manusia untuk masa depan.

Penutup dari saya sebagai penulis dan hal yang perlu kita ingat bersama adalah pesantren akan tetap bisa menjadi sebuah oase spiritual dan benteng moral bangsa, jika mereka mau berefleksi dan berubah. Jika tidak, mereka hanya akan dikenang sebagai institusi sakral yang ditinggalkan zaman yang mana dihormati tapi tidak diteladani. Relevansi bukan sebuah warisan ia harus diperjuangkan, diperbaharui, dan dipertanggungjawabkan terutama di hadapan mereka yang mempercayakan hidup dan masa depan anak-anak mereka kepada lembaga yang disebut pondok pesantren.

Orang tua juga harus ingat, pondok pesantren juga bukan hanya sekedar tempat penitipan anak, akan tetapi sebuah lembaga tempat belajar yang sakral. Banyak orang tua ketika anaknya bandel, tidak bisa diatur mereka memilih memasukkan anaknya kedalam pondok pesantren dengan sebuah harapan anaknya akan berubah menjadi baik. Padahal, harus kita sadari mau bagaimana pun sebuah pendidikan di luar sana tetap pendidikan yang paling utama adalah dari sebuah keluarga. (*)

Fauzul Ikhsan Dafiq, mahasiswa UIN Bukittinggi

Tag:

Baca Juga

Kemenag Terbitkan Panduan Masa Ta’aruf Santri Baru, Kenalkan Pesantren Secara Optimal
Kemenag Terbitkan Panduan Masa Ta’aruf Santri Baru, Kenalkan Pesantren Secara Optimal
GALI Geliatkan Pemahaman Alquran Secara Utuh
GALI Geliatkan Pemahaman Alquran Secara Utuh
Langgam.id-Wamentan
Kunjungi Sumbar, Wamentan Dorong Korporatisasi Pertanian Berbasis Pesantren
sekolah tatap muka
Kemenag Terbitkan Panduan Belajar Tatap Muka di Pesantren dan Madrasah
Gubernur Sumbar Motivasi Lulusan Pesantren Kuliah ke Timur Tengah
Gubernur Sumbar Motivasi Lulusan Pesantren Kuliah ke Timur Tengah
Manajemen Ponpes MTI Canduang, Kabupaten Agam, memberikan tanggapan terkait dugaan kasus asusila yang melibatkan oknum
Sodomi Santri, Pengasuh Pesantren di Solok Imingi Korban dengan Game