Langgam.id - Di antara riuh angin lembah yang menggoyang rumpun padi yang masih hijau di sawah yang menghampar luas, sekitar 30-an petani duduk bersila di lantai dasar pondok kecil di Pondok Agroekologi Sawah Lua, Kelurahan Kalumbuk, Kecamatan Kuranji, Kota Padang. Mereka bukan sekadar berkumpul. Selama empat hari, 14-17 Juli, mereka belajar ulang tentang tanah, benih, mikroba, hingga racikan pupuk cair organik dalam Pendidikan dan Pelatihan Agroekologi yang digagas Daulat Institute dengan dukungan Program Dana Nusantara.
“Bertani itu bukan cuma soal cangkul dan hujan. Tanah itu hidup, dan kita mesti paham ia maunya apa,” kata Gusnadi Abda, pemateri yang telah 25 tahun berkutat di laboratorium penyakit tanaman.
Dalam satu sesi pelatihan, Gusnadi menjelaskan pentingnya memahami pH tanah—tingkat keasaman yang menentukan apakah akar bisa menyerap nutrisi atau tidak. “Sebagus apapun tanahmu, kalau pH-nya salah, tanamanmu kelaparan,” ujarnya sambil menunjukkan cara pakai kertas lakmus dan pengukur elektrik.
Kembali ke Alam, Kembali Mandiri
Bagi Nafrizal (42), seorang petani dari Gurun Laweh, Nanggalo, pelatihan ini bukan sekadar tambahan ilmu—tapi cahaya baru di ujung lorong panjang kegagalan. Ia bertani di ladang kontrak setengah hektare di kawasan Surau Gadang, pinggir Batang Kuranji. “Saya tanam padi dan pario (pare), kadang mentimun. Tapi sekarang air batang air tinggal nama. Kering. Anomali cuaca bikin panen berkurang sampai 40 persen,” keluhnya.
Biasanya, dari satu hektare ia bisa dapat 60-70 karung padi. Tapi beberapa tahun belakangan, cuaca kering menurunkan hasilnya menjadi hanya 45-50 karung. “Biaya bertambah, membajak berkali-kali. Belum lagi harus disiangi karena rumput cepat tumbuh saat air sawah kosong,” ujarnya lirih.
Namun kini, ia belajar cara membuat pupuk kompos dan pupuk organik cair (POC) dari sisa dapur dan kotoran ternak, lengkap dengan fermentasinya dalam drum. Ia juga belajar bahwa daun bambu yang sulit terurai menyimpan mikroba kuat—pengetahuan yang tak diajarkan di sekolah, tapi bisa menyelamatkan sawahnya.
“Dulu cuma tahu pupuk kandang. Sekarang tahu kenapa pupuk kandang yang belum matang justru bisa bawa penyakit ke tanaman,” ujarnya dengan mata berbinar.
Selain soal tanah, pelatihan ini juga membongkar ilusi soal benih. “Petani kita diobok-obok oleh pengusaha benih,” ujar Gusnadi tegas. “Kenapa tidak kita buat sendiri? Kita bukan pemalas. Kita hanya belum diajarkan ilmunya.”
Para peserta diajak memahami bagaimana menyeleksi benih dari buah yang sehat, lalu membibitkan ulang hingga tujuh generasi agar stabil dan tahan hama. “Bibit bagus = makanan sehat = tubuh kuat. Itu rantainya,” katanya.
Seorang peserta pun bertanya, kenapa saat ia membibitkan kembali pario Panah Merah, warnanya malah berubah. Jawabannya: itu proses pemurnian benih hybrid. “Butuh waktu, tapi hasilnya petani tidak bergantung lagi ke toko.”
Di hari terakhir pelatihan, suasana lebih praktikal. Peserta diajak melihat praktik integrasi pertanian dan peternakan misal sawah dan itik. Di sela tumpukan jerami bekas panen, para peserta melihat langsung bagaimana itik dilepaskan ke sawah. Mereka memakan sisa bulir padi sekaligus memangsa keong-keong yang kerap memakan bibit padi.
“Biasanya menyisip padi dimakan keong, lamanya bisa 2-3 hari. Sekarang tinggal lepas itik, selesai,” kata Nafrizal sambil terkekeh.
Petani Adalah Profesor yang Lahir dari Lumpur
Pelatihan ini membuka mata banyak peserta bahwa pertanian bukan lagi soal produksi cepat dan besar, melainkan relasi yang selaras dengan alam. “Mikroba yang baik bisa memperbaiki tanah. Tapi rusaknya butuh waktu tiga tahun kalau sudah kena pestisida,” kata Gusnadi. “Petani itu profesor tanpa gelar. Hanya saja ilmunya belum dicatat dan dipatenkan.”
Program ini tidak hanya mengajarkan cara membuat pupuk organik atau membaca pH tanah, tapi juga mengembalikan keyakinan bahwa bertani bisa irit, sehat, dan berdaulat.
Bagi Nafrizal, masa depan bertani bukan soal melawan cuaca semata, tapi kembali pada cara yang ramah lingkungan. “Bertani selaras alam itu bukan romantika, tapi satu-satunya jalan agar kita tetap bisa makan.” (*/Yh)